Kamis, 18 Desember 2014

SEJARAH INTELEKTUAL "LIBERALISME"






LIBERALISME (KONTRA)

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Intelektual
Dosen Pengampuh Dr. Suranto, M.Pd






Oleh
EVIE EKA YULIATI (120210302105)
Kelas B

                                                                                                                   




PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2014

KATA PENGANTAR


Dengan mengucap puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya, tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada pembimbing yang telah bersedia membimbing kami dalam penyusunan makalah ini, sehingga penyusunan makalah dengan judul “LIBERALISME (KONTRA) dapat berjalan dengan lancar tanpa ada halangan suatu apapun. Perencanaan, pelaksanaan dan penyelesaian makalah sebagai salah satu tugas matakuliah Sejarah Intelektual.
Penulisan makalah ini berdasarkan literatur yang ada. Penyusun menyadari akan kemampuan yang sangat terbatas sehingga dalam penyusunan makalah ini banyak kekurangannya. Namun, makalah yang disajikan sedikit banyak bermanfaat bagi penyusun khususnya dan mahasiswa lain pada umumnya.
Penyusun juga menyadari penulisan makalah ini masih jauh dari sempurna, maka dengan hati terbuka penyusun menerima segala kritik dan saran yang sifatnya membangun demi kesempurnaan makalah tersebut.


Jember, Oktober 2014



Penulis







DAFTAR ISI

Halaman Judul ............................................................................................  i
Kata Pengantar ............................................................................................  ii
Daftar Isi .....................................................................................................  iii
BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................................  1
1.1 Latar Belakang....................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................  2
1.3 Tujuan ...................................................................................................  2
BAB 2 PEMBAHASAN ...........................................................................  4
2.1 Konsep Dasar Liberalisme..................................................................... 4
2.2 Perkembangan Liberalisme.................................................................... 6
2.3 Perkembangan Liberalisme di Indonesia............................................... 19
2.4 Tidak Setuju atau Kontra terhadap Liberalisme.................................... 25
BAB III PENUTUP ..................................................................................  26
3.1 Kesimpulan ...........................................................................................  26
3.2 Saran .....................................................................................................  26
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................  27




BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Dalam ilmu-ilmu sosial dikenal dua pengertian mengenai ideologi, yaitu ideologi secara fungsional dan secara struktural. Ideologi secara fungsional diartikan sebagai seperangkat gagasan tentang kebaikan bersama; atau tentang masyarakat dan negara yang dianggap paling baik, sedangkan ideologi secara struktural diartikan sebagai sistem pembenaran, seperti gagasan dan formula politik atas setiap kebijakan dan tindakan yang diambil oleh penguasa. Menurut pendekatan struktural konflik, kelas yang memiliki sarana produksi materiil dengan sendirinya memiliki sarana produksi mental, seperti gagasan, budaya dan hukum. Gagasan kelas yang berkuasa di manapun dan kapanpun merupakan gagasan yang dominan. Gagasan, budaya, hukum dan sebagainya sadar atau tidak merupakan pembenaran atas kepentingan materiil pihak yang memiliki gagasan yang dominan. Sistem pembenaran ini disebut ideologi. Sedangkan liberal adalah suatu kebebasan setiap individu atu perorangan dalam melakukan kegiatannya, seperti di contohkan bebas memilih agama, pendidikan, dan hal yang menyangkut dalam kesehariannya seperti makan minum berolahraga dan lainnya, tetapi selain itu tetap ada peraturan–peraturan yang mengekang mereka agar tidak melewati batas dan juga untuk kebaikan mereka sendiri.
Perkembangan paham-paham di Eropa semakin hari semakin mengalamikemajuan yang pesat. Dalam hal ini adalah Liberalisme dan Kapitalisme.Liberalisme mempunyai makna positif dan negative tergantung dalam kontek apamenempatkannya. Perkembangan Liberalisme di Prancis dan Inggris tidaklahsama,masing-masing dengan konteks historisme sendiri-sendiri. Liberalisme pada awalnya muncul saat dunia barat memasuki enlightment ages atau abad pencerahan (sekitar abad ke 16 sampai awal abad 19). Pada saa titu, mulai muncul industri dan perdagangan dalam skala besar yang berbasisteknologi baru. Untuk mengelola kedua hal tersebut muncullah kebutuhan-kebutuhan baru seperti buruh yang bebas dalam jumlah banyak, ruang gerak yangleluasa, mobilitas yang tinggi, dan kebebasan berkreasi. Namun kebutuhan-kebutuhan ini terbentur oleh peraturan-peraturan yangdibuat oleh pemerintahan yang feodal. Maka golongan intelektual yangmengedepankan rasionalitas memunculkan faham liberal, yang menjalankanfaham liberal disebut liberalisme.
Golongan intelektual ini merasakan keresahanilmiah (rasa ingin tahu dan keinginan untuk mencari pengetahuan yang baru) danartistic umum pada zaman itu.Dalam bidang sosial (menyangkut individu), liberalisme klasik menciptakanmasyrakat yang atomistis yang terdiri dari individu-individu yang tidak mempunyai hubungan satu dengan yang lain. Dalam bidang ekonomi, Liberalismeklasik menciptakan pengusaha dan perusahaan raksasa. Keahlian berkembangmenjadi semacam ideology, sehingga amat menentukan kehidupan Negara.
Dalam perkembangannya liberalisme klasik menuai  badai yang ditaburkannya, prakteknya kontra produktif, kebebasan individu yang ingin dilindungi justrudigerogoti sendiri. Sejarah akhirnya memaksa liberalisme klasik harus dibongkar menjadi liberalisme demokratis yaitu liberalisme yang mampu melindungiindividualitas setiap orang dan memanusiakan manusia.Selain hal-hal di atas, liberalisme juga dilatar belakangi oleh terjadinyaReformasi Gereja yang memuncak pada 31 Oktober 1517. Reformasi Gereja inimembawa dampak pada munculnya paham sekularisme yang akan berujung padarevolusi dalam segala bidang, termasuk di dalamnya adalah bidang politik. Selainoleh Reformasi Gereja, faham Liberalisme juga dilatarbelakangi dengan terjadinyaRevolusi Industri dan Glorious Revolution di Inggris.

1.2 Rumusan Masalah
a)      Bagaimanakah Konsep Dasar dari Liberalisme?
b)      Bagaimanakah Proses perkembangan Liberalisme?
c)      Bagaimanakah Proses Perkembangan Liberalisme di Indonesia?
d)     Setuju apa tidakkah terhadap penerapan dari ideologi Liberalisme?

1.3 Tujuan
a)      Untuk mengetahui dan memahami Konsep Dasar dari Liberalisme.
b)      Untuk mengetahui Proses perkembangan Liberalisme.
c)      Untuk mengetahui Proses Perkembangan Liberalisme di Indonesia.
d)     Untuk menganalisis ideologi Liberalisme cocok atau tidak cocok bila diterapkan di suatu negara..







BAB II PEMBAHASAN

2.1 Konsep Dasar Liberalisme
Kata liberalisme berasal dari bahasa Latin liber artinya bebas dan bukan budak atau suatu keadaan dimana seseorang itu bebas dari kepemilikan orang lain. Dan isme yang berati paham. Makna bebas kemudian menjadi sebuah sikap kelas masyarakat terpelajar di Barat yang membuka pintu kebebasan berfikir (The old Liberalism). Dari makna kebebasan berfikir inilah kata liberal berkembang sehingga mempunyai berbagai makna. Menurut Oxford English Dictionary menerangkan bahwa perkataan liberal telah lama ada dalam bahasa Inggris dengan makna sesuai untuk orang bebas, besar, murah hati dalam seni liberal. Pada awalnya, liberalisme bermaksud bebas dari batasan bersuara atau perilaku, seperti bebas menggunakan dan memiliki harta, atau lidah yang bebas, dan selalu berkaitan dengan sikap yang tidak tahu malu.
Liberalisme adalah suatu paham yang menghendaki adanya kebebasan individu dalam segala bidang. Menurut paham ini titik pusat dalam hidup ini adalah individu.Karena ada individu maka masyarakat dapat tersusun dan karena individu pula negara dapat terbentuk. Oleh karena itu, masyarakat atau negara harus selalu menghormati dan melindungi kebebasan kemerdekaan individu. Setiap individu harus memiliki kebebasan kemerdekaan, seperti dalam bidang politik, ekonomi, dan agama.
Liberalisme adalah ideologi yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan adalah nilai polittik yang utama. Nilai inti dari liberalisme adalah individualisme, rasionalisme, kebebasan, keadilan dan toleransi. Liberal percaya bahwa manusia adalah yang pertama dan utama, individual, membantu dengan alasan, menyuatakan bahwa setiap individu akan menikmati kemungkinan kebebasan maksimum yang tetap dengan merdeka. Walaupun individu dilahirkan sederajat dalam arti moral yang sama, dan harus menikmati kesempatan yang sama, tetapi mereka harus di beri penghargaan sesuai level talenta atau kemampuan bekerja, yang merupakan prinsip ”meritokrasi”.
Prinsip dasar liberalisme adalah keabsolutan dan kebebasan yang tidak terbatas dalam pemikiran, agama, suara hati, keyakinan, ucapan, pers dan politik. Di samping itu, liberalismme juga membawa dampak yang besar bagi sistem masyarakat Barat, di antaranya adalah mengesampingkan hak Tuhan dan setiap kekuasaan yang berasal dari Tuhan; pemindahan agama dari ruang publik menjadi sekedar urusan individu; pengabaian total terhadap agama Kristen dan gereja atas statusnya sebagai lembaga publik, lembaga legal dan lembaga sosial.
Masyarakat liberal dikarakteristikan oleh perbedaan dan pluralisme diorganisasikan secara politik pada dua keuntungan yang sama dari consent dan constitualisme, digabungkan dalam bentuk demokrasi liberal. Perbedaan yang signifikan antara liberlisme klasik dan liberalisme modern. liberalisme klasik menekan bahwa manusia mementingkan diri sendiri, dan memenuhi diri sendiri, orang harus bertanggung jawab atas hidupnya sendiri. Sebagai doktrin ekonomi, liberalisme klasik pada hakikatnya merupakan suyatu ideologi yang membenarkan penguasaan otoriter terhadap seluruh masyarakat yang kaya. Dibanding dengan ideologi yang mendahuluinya, tak disangsikan bahwa ia merupakan suatu langkah awal yang kita sebut demokrasi. Libaralisme klasik memuji keuntungan dari pengaturan diri sendiripasar, dimana pencampura tanganan pemerintah dipandang sebagai keburukan dan akibatnya. Liberalisme klasik diekspresikan dalam teori keadilan alam, utilitarianisme. Liberalisme modern mengarah pada tujuan yang lebih simpatik pada negara, lahir dari paham bahwa kapitalisme yang tak teratur menghasilkan ketidak adilan. Campurtangan negara dapat meluaskan kebebasan dengan melindungi individu dari kejahatan sosial yang merusak keberadaan orang banyak. Dengan kata lain, liberalisme klasik memahami kebebasan sebgai istilah yang negatif, sebagai tidak adanya pembatas pada individu. Liberalisme modern menjembatani kebebaasan pada perkembangan perorangan dan realisasi diri sendiri.
Liberalisme menjadi ideologi yang kuat pada tradisi Barat. Beberapa gambaran, liberalisme sebagai ideologi pada industrialisasi barat dan diidentifikasikan dengan masyarakat Barat secara umum. Liberalisme awal mencerminkan aspirasi dari munculnya kelas industri menengah dan bentuk awal liberalisme adalah doktrin politik. Liberalisme menyerang absolutisme dan hak istimewa kaum feodal, termasuk membela konstitusional dan akhirnya menghadirkan pemerintahan. Pada abad 19, liberalisme klasik dalam bentuk liberalisme ekonomi memuji kebaikan dari laissez-faire kapitalisme dan menghapus segala bentuk campurtangan negara. Pada abad 19 bentuk dari liberalisme sosial dimunculkan sebagai karakteristik dari liberalisme modern yang menguntungkan pada kesejahteraan dan ekonomi.
Hal-hal yang menarik dari liberalisme adalah komitmennya pada kebebasasn individual, dan seimbang dengan perbedaan. Liberalisme tidak hanya ideologi tetepi ’meta-ideologi’ dengan kata lain, liberalisme nekerja keras untuk mencapai kondisi dimana orang dan kelompok dapat mendapat kehidupan yang baik. Liberalisme mendapat kritikan dari beberapa paham. Marxist mempermasalahkan dalm mempertahankan kapitalisme, liberalisme mencoba melegitimasi ketidak samaan kelas kekuatan dan konstitusi dalam bentuk ideologi buorgoise. Feminisme radikal memaksudkan pada hubungan antara liberalisme dan patriarki yang diakarkan pada tafsiran memaksa wanita untuk menjadi seperti pria dalam memenuhi kehidupan. Komunis mendakwa liberalisme pada kegagalan memajukan moral sosial, mengatakan bahwa liberalisme adalah resep untuk egoisme dan keserakahan yang tidak berakhir.

2.2 Perkembangan Liberalisme
Secara historis, Liberalisme muncul sebagai reaksi perlawanan terhadap sikap penganut paham Merkantilis pada pertengahan abad XVIII. Di Perancis, ahli ekonomi menyebut gerakan ini sebagai gerakan physiocrats yang menuntut kebebasan produksi dan berdagang. Di Inggris, ahli ekonomi Adam Smith menjelaskan dalam bukunya (the Wealth of Nations 1776) mengenai keuntungan untuk menghapus pembatasan-pembatasan dalam perdagangan. Berdasarkan the New Lexicon Websters’s Dictionary of the English Language, liberalisme berasal dari kata liberal yang bermakna menganggap baik kebebasan individu, reformasi sosial, dan penghapusan atas pembatasan-pembatasan dalam ekonomi. Dengan demikian, liberalisme telah dipandang sebagai sebuah ideologi atau pandangan filsafat yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan adalah nilai politik yang utama dan menerapkan sistem pasar yang bebas dan terbuka.
Sejarahnya paham liberalisme ini berasal dari Yunani kuno, salah satu elemen terpenting peradaban Barat. Namun, perkembangan awalnya terjadi sekitar tahun 1215, ketika Raja John di Inggris mengeluarkan Magna Charta, dokumen yang mencatat beberapa hak yang diberikan raja kepada bangsawan bawahan. Charta ini secara otomatis telah membatasi kekuasaan Raja John sendiri dan dianggap sebagai bentuk liberalisme awal (early liberalism).
Perkembangan liberalisme selanjutnya ditandai oleh revolusi tak berdarah yang terjadi pada tahun 1688 yang kemudian dikenal dengan sebutan The Glorious Revolution of 1688. Revolusi ini berhasil menurunkan Raja James II dari England dan Ireland (James VII) dari Scotland) serta mengangkat William II dan Mary II sebagai raja. Setahun setelah revolusi ini, parlemen Inggris menyetujui sebuah undang-undang hak rakyat (Bill of Right) yang memuat penghapusan beberapa kekuasaan raja dan jaminan terhadap hak-hak dasar dan kebebasan masyarakat Inggris.  Pada saat bersamaan, seorang filosof Inggris, John Locke, mengajarkan bahwa setiap orang terlahir dengan hak-hak dasar (natural right) yang tidak boleh dirampas. Hak-hak dasar itu meliputi hak untuk hidup, hak untuk memiliki sesuatu, kebebasan membuat opini, beragama, dan berbicara. Di dalam bukunya, Two Treatises of Government (1690), John Locke menyatakan, pemerintah memiliki tugas utama untuk menjamin hak-hak dasar tersebut, dan jika ia tidak menjaga hak-hak dasar itu, rakyat memiliki hak untuk melakukan revolusi.
Liberalisme sebagai suatu ideologi pragmatis yang muncul pada abad pertengahan di kalangan masyarakat Eropa itu secara garis besar terbagi atas dua, yakni kaum aristokrat dan para petani. Kaum aristokrat diperkenankan untuk memiliki tanah, golongan feodal ini pula yang menguasai proses politik dan ekonomi, sedangkan para petani berkedudukan sebagai penggarap tanah yang dimiliki oleh patronnya, yang harus membayar pajak dan menyumbangkan tenaga bagi sang patron. Bahkan di beberapa tempat di Eropa, para petani tidak diperkenankan pindah ke tempat lain yang dikehendaki tanpa persetujuan sang patron (bangsawan). Akibatnya, mereka tidak lebih sebagai milik pribadi sang patron. Sebaliknya, kesejahteraan para penggarap itu seharusnya ditanggung oleh sang patron. Industri dikelola dalam bentuk gilde-gilde yang mengatur secara ketat, bagaimana suatu barang diproduksi, berapa jumlah dan distribusinya. Kegiatan itu dimonopoli oleh kaum aristokrat. Maksudnya, pemilikan tanah oleh kaum bangsawan, hak-hak istimewa gereja, peranan politik raja dan kaum bangsawan, dan kekuasaan gilde-gilde dalam ekonomi merupakan bentuk-bentuk dominasi yang melembaga atas individu.
Dalam konteks perkembangan masyarakat itu muncul industri dan perdagangan dalam skala besar, setelah ditemukan beberapa teknologi baru. Untuk mengelola industri dan perdagangan dalam skala besar-besaran ini jelas diperlukan buruh yang bebas dan dalam jumlah yang banyak, ruang gerak yang leluasa, mobilitas yang tinggi dan kebebasan berkreasi. Kebutuhan-kebutuhan baru itu terbentur pada aturan-aturan yang diberlakukan secara melembaga oleh golongan feodal. Yang membantu golongan ekonomi baru terlepas dari kesukaran itu ialah munculnya paham liberal.
Ada dua macam Liberalisme, yakni Liberalisme Klasik dan Liberallisme Modern. Liberalisme Klasik timbul pada awal abad ke 16. Sedangkan Liberalisme Modern mulai muncul sejak abad ke-20. Namun, bukan berarti setelah ada Liberalisme Modern, Liberalisme Klasik akan hilang begitu saja atau tergantikan oleh Liberalisme Modern, karena hingga kini, nilai-nilai dari Liberalisme Klasik itu masih ada. Liberalisme Modern tidak mengubah hal-hal yang mendasar, hanya mengubah hal-hal lainnya atau dengan kata lain, nilai intinya (core values) tidak berubah hanya ada tambahan-tanbahan saja dalam versi yang baru. Jadi sesungguhnya, masa Liberalisme Klasik itu tidak pernah berakhir (Sukarna, 1981).
Dalam Liberalisme Klasik, keberadaan individu dan kebebasannya sangatlah diagungkan. Setiap individu memiliki kebebasan berpikir masing-masing yang akan menghasilkan paham baru. Ada dua paham, yakni demokrasi (politik) dan kapitalisme (ekonomi). Meskipun begitu, bukan berarti kebebasan yang dimiliki individu itu adalah kebebasan yang mutlak, karena kebebasan itu adalah kebebasan yang harus dipertanggungjawabkan (Sukarna, 1981). Jadi, tetap ada keteraturan di dalam ideologi ini, atau dengan kata lain, bukan bebas yang sebebas-bebasnya.
Pemikiran liberal mempunyai akar sejarah sangat panjang dalam sejarah peradaban Barat yang Kristen. Munculnya ideologi ini disebabkan karena ketatnya peraturan sehingga membuat kekuasaan bersifat otoriter, tanpa memberikan kebebasan berpikir kepada rakyatnya. Salah satu yang menganut ideologi liberalisme adalah Amerika. Kebebasan telah muncul sejak adanya manusia di dunia, karena pada hakikatnya manusia selalu mencari kebebasan bagi dirinya sendiri. Bentuk kebebasan dalam politik pada zaman dahulu adalah penerapan demokrasi di Athena dan Roma. Tetapi, kemunculan liberalisme sebagai sebuah paham  pada abad akhir abad 17, berhubungan dengan runtuhnya feodalisme di Eropa dan dimulainya zaman Renaissance, lalu diikuti dengan gerakan politik masa Revolusi Prancis.
Pada tiga abad pertama Masehi, agama Kristen mengalami penindasan di bawah Imperium Romawi sejak berkuasanya Kaisar Nero (tahun 65). Kaisar Nero bahkan memproklamirkan agama Kristen sebagai suatu kejahatan (Idris, 1991:74). Menurut Abdulah Nashih Ulwan (1996:71), pada era awal ini pengamalan agama Kristen sejalan dengan Injil Matius yang menyatakan,”Berikanlah kepada Kaisar apa yang menjadi milik Kaisar dan berikanlah kepada Tuhan apa yang menjadi milik Tuhan.” (Matius, 22:21).
Namun kondisi tersebut berubah pada tahun 313, ketika Kaisar Konstantin mengeluarkan dekrit Edict of Milan untuk melindungi agama Nasrani. Selanjutnya pada tahun 392 keluar Edict of Theodosius yang menjadikan agama Nasrani sebagai agama negara (state-religion) bagi Imperium Romawi. (Husaini, 2005:31). Pada tahun 476 Kerajaan Romawi Barat runtuh dan dimulailah Abad Pertengahan (Medieval Ages) atau Abad Kegelapan (Dark Ages). Sejak itu Gereja Kristen mulai menjadi institusi dominan. Dengan disusunnya sistem kepausan (papacy power) oleh Gregory I (540-609 M), Paus pun dijadikan sumber kekuasaan agama dan kekuasaan dunia dengan otoritas mutlak tanpa batas dalam seluruh sendi kehidupan, khususnya aspek politik, sosial, dan pemikiran. (Idris, 1991:75-80; Ulwan, 1996:73).
Abad Pertengahan itu ternyata penuh dengan penyimpangan dan penindasan oleh kolaborasi Gereja dan raja/kaisar, seperti kemandegan ilmu pengetahuan dan merajalelanya surat pengampunan dosa. Maka Abad Pertengahan pun meredup dengan adanya upaya koreksi atas Gereja yang disebut gerakan Reformasi Gereja (1294-1517), dengan tokohnya semisal Marthin Luther (1546), Zwingly (1531), dan John Calvin (1564). Gerakan ini disertai dengan munculnya para pemikir Renaissans pada abad XVI seperti Machiaveli (1528) dan Michael Montaigne (1592), yang menentang dominasi Gereja, menghendaki disingkirkannya agama dari kehidupan, dan menuntut kebebasan.
Selanjutnya pada era Pencerahan (Enlightenment) abad XVII-XVIII, seruan untuk memisahkan agama dari kehidupan semakin mengkristal dengan tokohnya Montesquieu (1755), Voltaire (1778), dan Rousseau (1778). Puncak penentangan terhadap Gereja ini adalah Revolusi Perancis tahun 1789 yang secara total akhirnya memisahkan Gereja dari masyarakat, negara, dan politik.
Dimana hal tersebut berawal dari kaum Borjuis, Prancis pada abad ke-18 sebagai reaksi protes terhadap kepincangan yang telah berakar lama di Prancis. Sebagai akibat warisan sejarah masa lampau, di Prancis terdapat pemisahan dan perbedaan yang tajam sekali antara golongan I dan II yang memiliki berbagai hak tanpa kewajiban dan golongan III yang tanpa hak dan penuh dengan kewajiban. Golongan Borjuis mengajak seluruh rakyat untuk menentang kekuasaan raja yang bertindak sewenang-wenang dan kaum bangsawan dengan berbagai hak istimewanya guna mendapatkan kebebasan berpolitik, berusaha, dan beragama. Gerakan ini diilhami oleh pendapat Voltaire, Montesquieu, dan J.J. Rousseau. Gerakan liberalisme akhirnya meningkat menjadi gerakan politik dengan meletusnya Revolusi Prancis.
Liberalisme tidak diciptakan oleh golongan pedagang dan industri, melainkan diciptakan oleh golongan intelektual yang digerakkan oleh keresahan ilmiah dan artistik umum pada zaman itu. Keresahan intelektual tersebut disambut oleh golongan pedagang dan industri, bahkan hal itu digunakan untuk membenarkan tuntutan politik yang membatasi kekuasaan bangsawan, gereja dan gilde-gilde. Mereka tidak bertujuan semata-mata untuk dapat menjalankan kegiatan ekonomi secara bebas, tetapi juga mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Masyarakat yang terbaik (rezim terbaik), menurut paham liberal adalah yang memungkinkan individu mengembangkan kemampuan-kemampuan individu sepenuhnya.
Dalam masyarakat yang baik, semua individu harus dapat mengembangkan pikiran dan bakat-bakatnya. Hal ini mengharuskan para individu untuk bertanggung jawab pada segala tindakannya baik itu merupakan sesuatu untuknya atau seseorang. Seseorang yang bertindak atas tanggung jawab sendiri dapat mengembangkan kemampuan bertindak. Menurut asumsi liberalisme inilah, John Stuart Mill mengajukan argumen yang lebih mendukung pemerintahan berdasarkan demokrasi liberal. Dia mengemukakan tujuan utama politik ialah mendorong setiap anggota masyarakat untuk bertanggung jawab dan menjadi dewasa. Hal ini hanya dapat terjadi manakalah mereka ikut serta dalam pembuatan keputusan yang menyangkut hidup mereka. Oleh karena itu, walaupun seorang raja yang bijaksana dan baik hati, mungkin dapat membuat putusan yang lebih baik atas nama rakyat dari pada rakyat itu sendiri, bagaimana pun juga demokrasi jauh lebih baik karena dalam demokrasi rakyat membuat sendiri keputusan bagi diri mereka, terlepas dari baik buruknya keputusan tersebut. Jadi, ciri-ciri ideologi liberal sebagai berikut :
a)       Pertama, demokrasi merupakan bentuk pemerintahan yang lebih baik.
b)       Kedua, anggota masyarakat memiliki kebebasan intelektual penuh, termasuk kebebasan berbicara, kebebasan beragama dan kebebasan pers.
c)       Ketiga, pemerintah hanya mengatur kehidupan masyarakat secara terbatas. Keputusan yang dibuat hanya sedikit untuk rakyat sehingga rakyat dapat belajar membuat keputusan untuk diri sendiri.
d)       Keempat, kekuasaan dari seseorang terhadap orang lain merupakan hal yang buruk. Oleh karena itu, pemerintahan dijalankan sedemikian rupa sehingga penyalahgunaan kekuasaan dapat dicegah. Pendek kata, kekuasaan dicurigai sebagai hal yang cenderung disalahgunakan, dan karena itu, sejauh mungkin dibatasi.
e)       Kelima, suatu masyarakat dikatakan berbahagia apabila setiap individu atau sebagian besar individu berbahagia. Walau masyarakat secara keseluruhan berbahagia, kebahagian sebagian besar individu belum tentu maksimal. Dengan demikian, kebaikan suatu masyarakat atau rezim diukur dari seberapa tinggi indivivu berhasil mengembangkan kemampuan-kemampuan dan bakat-bakatnya. Ideologi liberalisme ini dianut di Inggris dan koloni-koloninya termasuk Amerika Serikat.
Pemikiran liberal (liberalisme) berkembang sejak masa Reformasi Gereja dan Renaissans yang menandai berakhirnya Abad Pertengahan (abad V-XV). Disebut liberal, yang secara harfiah berarti bebas dari batasan (free from restraint), karena liberalisme menawarkan konsep kehidupan yang bebas dari pengawasan gereja dan raja. Ini berkebalikan total dengan kehidupan Barat Abad Pertengahan ketika gereja dan raja mendominasi seluruh segi kehidupan manusia.
Secara umum, liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi para individu. Paham liberalisme menolak adanya pembatasan, khususnya dari pemerintah dan agama. Liberalisme menghendaki adanya, pertukaran gagasan yang bebas, ekonomi pasar yang mendukung usaha pribadi (private enterprise) yang relatif bebas, dan suatu sistem pemerintahan yang transparan, dan menolak adanya pembatasan terhadap pemilikan individu. Oleh karena itu paham liberalisme lebih lanjut menjadi dasar bagi tumbuhnya kapitalisme.
Dalam masyarakat modern, liberalisme akan dapat tumbuh dalam sistem demokrasi, hal ini dikarenakan keduanya sama-sama mendasarkan kebebasan mayoritas. Bandingkan Oxford Manifesto dari Liberal International: “Hak-hak dan kondisi ini hanya dapat diperoleh melalui demokrasi yang sejati. Demokrasi sejati tidak terpisahkan dari kebebasan politik dan didasarkan pada persetujuan yang dilakukan dengan sadar, bebas, dan yang diketahui benar (enlightened) dari kelompok mayoritas, yang diungkapkan melalui surat suara yang bebas dan rahasia, dengan menghargai kebebasan dan pandangan-pandangan kaum minoritas.
Masyarakat yang terbaik (rezim terbaik), menurut paham liberalisme adalah yang memungkinkan individu mengembangkan kemampuan-kemampuan individu sepenuhnya. Dalam masyarakat yang baik semua individu harus dapat mengembangkan pikiran dan bakat-bakatnya. Hal ini mengharuskan para individu untuk bertanggung jawab atas tindakannya, dan tidak menyuruh seseorang melakukan sesuatu untuknya atau seseorang untuk mengatakan apa yang harus dilakukan.
Singkatnya pada abad ke 20 setelah berakhirnya perang dunia pertama pada tahun 1918, beberapa negara Eropa menerapkan prinsip pemerintahan demokrasi. Hak kaum perempuan untuk menyampaikan pendapat dan aspirasi di dalam pemerintahan diberikan. Menjelang tahun 1930-an, liberalisme mulai berkembang tidak hanya meliputi kebebasan berpolitik saja, tetapi juga mencakup kebebasan-kebebasan di bidang lainnya; misalnya ekonomi, sosial, dan lain sebagainya. Tahun 1941, Presiden Franklin D. Roosevelt mendeklarasikan empat kebebasan, yakni kebebasan untuk berbicara dan menyatakan pendapat (freedom of speech), kebebasan beragama (freedom of religion), kebebasan dari kemelaratan (freedom from want), dan kebebasan dari ketakutan (freedom from fear). Pada tahun 1948, PBB mengeluarkan Universal Declaration of Human Rights yang menetapkan sejumlah hak ekonomi dan sosial, di samping hak politik.
Jika ditilik dari perkembangannya liberalisme secara umum memiliki dua aliran utama  yang saling bersaing dalam menggunakan sebutan liberal. Yang pertama adalah liberal klasik atau early liberalism yang kemudian menjadi liberal ekonomi yang menekankan pada kebebasan dalam usaha individu, dalam hak memiliki kekayaan, dalam kebijakan ekonomi dan kebebasan melakukan kontrak serta menentang sistim welfare state. Yang kedua adalah liberal sosial. Aliran ini menekankan peran negara yang lebih besar untuk membela hak-hak individu (dalam pengertian yang luas), seringkali dalam bentuk hukum anti-diskriminasi.
Selain kedua tren liberalisme diatas yang menekankan pada hak-hak ekonomi dan politik dan sosial terdapat liberalisme dalam bidang pemikiran termasuk pemikiran keagamaan. Liberal dalam konteks kebebasan intelektual berarti independen secara intelektual, berfikiran luas, terus terang, dan terbuka. Kebebasan intelektual adalah aspek yang paling mendasar dari liberalisme sosial dan politik atau dapat pula disebut sisi lain dari liberalisme sosial dan politik. Kelahiran dan perkembangannya di Barat terjadi pada akhir abad ke 18, namun akar-akarnya dapat dilacak seabad sebelumnya (abad ke 17). Di saat itu dunia Barat terobsesi untuk membebaskan diri mereka dalam bidang intelektual, keagamaan, politik dan ekonomi dari tatanan moral, supernatural dan bahkan Tuhan.
Pada saat terjadi Revolusi Perancis tahun (1789)  kebebasan mutlak dalam pemikiran, agama, etika, kepecayaan, berbicara, pers dan politik sudah dicanangkan. Prinsip-prinsip Revolusi Perancis itu bahkan dianggap sebagai Magna Charta liberalisme. Konsekuensinya adalah penghapusan Hak-hak Tuhan dan segala otoritas yang diperoleh dari Tuhan;  penyingkiran agama dari kehidupan publik dan menjadinya bersifat individual. Selain itu agama Kristen dan Gereja harus dihindarkan agar tidak menjadi lembaga hukum ataupun sosial.  Ciri liberalisme pemikiran dan keagamaan yang paling menonjol adalah pengingkaran terhadap semua otoritas yang sesungguhnya, sebab otoritas dalam pandangan liberal menunjukkan adanya kekuatan diluar dan diatas manusia yang mengikatnya secara moral. Ini sejalan dengan doktrin nihilisme yang merupakan ciri khas pandangan hidup Barat postmodern yang telah disebutkan diatas.
Dalam perkembangan ekonomi modern, perspektif liberalisme mulai bercampur dengan asas-asas demokrasi yang pada akhirnya memunculkan teori neoliberalisme yang dipelopori oleh Friedrich von Hayek (1899 –1992). Walaupun perkembangan neoliberalisme telah menduduki perekonomian internasional, esensi-esensi historis liberal tetap menjadi pemegang kendali kehidupan ekonomi politik saat ini. Mengutip pernyataan John Madison yang berbunyi : “jika manusia adalah malaikat, maka pemerintahan dan demokrasi tidak diperlukan”. Pernyataan tersebut mengingatkan sesuatu bahwa sebagai manusia yang tidak sempurna secara utuh, maka kebebasan dan toleransi perlu dijunjung tinggi. Sama halnya dengan ungkapan yang dikemukakan oleh Rizal Malarangeng : ”Kalau ingin mempengaruhi orang, gunakan akal pikiranmu, gunakan persuasi, dalam sebuah konteks besar yang dinamakan free market of ideas. Hal itu pula yang harus diterapkan dalam sosial, politik ekonomi, dan agama”
Dari dua pernyataan tersebut, jelas menunjukkan bahwa eksistensi paham liberalisme dalam mempengaruhi ekonomi politik internasional begitu melesat semenjak Perang Dunia II. Hal ini dibuktikan dengan kesuksesan India membuka pintunya bagi penetrasi dan mengubah ekonomi genetiknya ke arah ekonomi pasar. Demikian pula apa yang terjadi di Cina, yang menyadari bahwa kondisi lebih mengerikan akan terjadi jika ekonomi pasar diganti dengan ekonomi yang sentralistik. Dampak yang ditimbulkan bukan hanya merujuk pada kegagalan ekonomi, tapi juga diikuti dengan tragedi manusia yang luar biasa.
Selain itu, pengaruh dan peran liberalisme terhadap ekonomi politik internasional dapat terlihat pada. Dampak lain dari model liberalisasi ekonomi sebagaimana menjadi gagasan negara-negara maju adalah terlalu dominannya peranan lembaga-lembaga keuangan, yang sebagian besar bergerak disektor distribusi. Lembaga keuangan, dalam konteks ekonomi tradisional, sebenarnya tidak lebih dari para pedagang, yang bekerja lebih berdasarkan spekulasi daripada pertimbangan ekonomi murni. Para lembaga keuangan adalah pemain utama di berbagai pasar bursa dunia. Hal yang menarik dalam memahami lembaga keuangan ini adalah “mereka membeli tetapi bukan konsumen, dan mereka menjual tetapi bukan produsen”. Akibatnya, perekonomian dunia bergerak berdasarkan pertimbangan-pertimbangan spekuatif, dengan melihat aspek-aspek non ekonomi dari setiap transaksi.
Lembaga-lembaga keuangan seperti Lehman Brothers dan Merrill Lynch telah membawa kekuatan ekonomi sekaligus politik. Walaupun mereka bergerak berdasarkan prinsip-prinsip liberalisme ekonomi, namun terdapat gejala hipokrisi dalam aktivitas ini. Sejak lama, para analis ekonomi dan politik internasional meyakini adanya hubungan saling menguntungkan antara kalangan swasta (yang didominasi oleh lembaga keuangan dunia) dengan elit politik di negara-negara maju untuk mempengaruhi kebijakan ekonomi dan juga politik suatu negara untuk mendukung perekonomian dunia yang liberal.
Liberalisme : Prospek Ideal Ekonomi Politik Internasional? Dalam perkembangannya tersebut liberalisme masih memiliki titik kelemahan yang tertutupi oleh pemikiran dektruktif kreatif. Pertama, penerapan liberalisme dalam perekonomian dunia dapat membuat dunia ke dalam tatanan yang cenderung tidak adil. Liberalisasi berbagai sektor perekonomian akan menciptakan persaingan bebas dalam pasar dunia. Artinya, disaat persaingan bebas terjadi maka negara-negara yang memiliki tingkat perekonomiannya relatif tinggi akan semakin kuat sedangkan yang memiliki tingkat perekonomiannya relatif rendah akan semakin lemah. Misalnya dalam hal impor ketika kebijakan liberalisasi diterapkan maka produk-produk dalam negeri akan terancam keberadaannya. Harga produk-produk impor yang lebih murah akan diiringi dengan meningkatnya permintaan terhadap produk-produk tersebut. Sehingga permintaan produk-produk dalam negeri cenderung menurun  bahkan tidak lagi dapat berproduksi alias “bangkrut”. Kebangkrutan produksi ini akan menyebabkan semakin banyaknya pengangguran yang dapat menimbulkan gejolak sosial.
Kedua, liberalisme akan menciptakan suatu hubungan ketergantungan antara negara yang kaya dengan negara yang miskin. Salah satu contohnya adalah kebijakan privatisasi BUMN suatu negara yang dibeli oleh negara asing sebagai suatu konsekuensi dari liberalisasi. Karena negara “menganggap” dirinya tidak mampu lagi mengelola dan membiayai proses produksi BUMN tersebut. Padahal BUMN umumnya merupakan badan atau perusahaan-perusahaan yang berkaitan erat dengan hajat hidup orang banyak. Sehingga tidak menutup kemungkinan pengaruh negara asing akan sangat kuat terhadap negara tersebut. Lebih dari itu, kecenderungan penjajahan dalam bentuk baru bisa saja terjadi.
Ketiga, di dalam sistem mekanisme pasar akan timbul kekuatan monopoli yang merugikan. Dalam mekanisme pasar tidak selalu terjadi persaingan sempurna di mana harga dan jumlah barang ditentukan oleh permintaan pembeli dan penawaran penjual yang banyak jumlahnya. Keempat, sistem perekonomian liberal cenderung membawa ketidakstabilan. Ketidakpastian harga maupun nilai kurs yang cenderung tidak teratur memperbesar ketidakpastian dalam ekonomi.  Jika kita melihat fenomena krisis finansial global yang terjadi pada Amerika Serikat, telah menunjukkan adanya krisis perkembangan liberalisme sebagai prospek ideal ekonomi politik internasional. Sebuah tragedi AS yang semakin memusnahkan politik hegemoninya ini bersumber pada keyakinan akan ekonomi tanpa regulasi dan internasionalisasi persaingan ekonomi. Ekonomi yang semakin memperingati kebebasannya malah berbalik memohon ampun pada negara agar segera memperbaiki perekonomian nasional.
Dalam politik, liberalisme dimaknai sebagai sistem dan kecenderungan yang berlawanan dengan dan menentang sentralisasi dan absolutisme kekuasaan. Dibidang ekonomi, liberalisme merujuk pada sistem pasar bebas dimana intervensi pemerintah dalam perekonomian dibatasi atau bahkan tidak diperbolehkan sama sekali. Dalam hal ini dan pada batasan tertentu liberalisme identik dengan kapitalisme. Di wilayah sosial, liberalisme berarti kebebasan menganut, meyakini, dan megamalkan apa saja sesuai kecenderungan, kehendak dan selera masing-masing. Bahkan lebih jauh dari itu liberalisme mereduksi agama menjadi menjadi urusan privat.
Sebagaimana diungkapan oleh H. Gruber, prinsip liberalisme yang paling mendasar ialah pernyataan bahwa tunduk kepada otoritas apapun namanya adalah bertentangan dengan hak asasi, kebebasan dan harga diri manusia, yakni otoritas yang akarnya, aturannya, ukurannya, dan ketetapan ada diluar dirinya.
Pada awalnya liberalisme berkembang di kalangan Protestan saja. Namun belakangan wabah liberalisme menyebar di kalangan Khatolik juga. Tokoh-tokoh liberal seperti  Benjamin Constant anatar lain menginginkan  agar pola hubungan antara institusi gereja, pemerintah, dan masyarakat ditinjau ulang dan diatur lagi. Mereka juga menuntut reformasi terhadap doktrin-doktrin dan disiplin yang dibuat oleh gereja katholik  di roma, agar disesuaikan dengan semangat zaman yang sedang dan terus berubah, agar sejalan dengan prinsip-prinsip liberal dan tidak bertentangan dengan sains yang meskipun anti Tuhan namun dianggap benar.
Dalam liberalisme tidak dapat menerima ajaran dogmatisme (Refuse Dogatism). Hal ini disebabkan karena pandangan filsafat dari John Locke (1632 – 1704) yang menyatakan bahwa semua pengetahuan itu didasarkan pada pengalaman. Dalam pandangan ini, kebenaran itu adalah berubah.
Negara-negara yang menganut paham liberal di benua Amerika adalah Amerika SerikatArgentinaBolivia, Brasil, Chili, Kuba, Kolombia, Ekuador, Honduras,  Kanada, Meksiko, Nikaragua, Panama, Paraguay, Peru, Uruguay, dan Venezuela. Sekarang ini Kurang lebih paham Liberalisme dianut oleh sebagian besar wilayah negara di Amerika.
Sebagai aksi dan reaksi penentangan komunisme, Eropa membuat suatu paham yang berterminologi politis (termasuk "sosialisme" dan " demokrasi sosial"). Tapi, mereka tidak bisa memilih AS dengan pahamnya tersebut, dikarenakan pada saat itu Eropa belum begitu mengenal liberalisme yang dianut oleh AS. Tapi beberapa tahun kemudian barulah Eropa menyadari bahwa liberalisme yang dianut oleh AS. Hal itu mendorong Eropa ke suatu kebebasan individu tersendiri yang akhirnya memperbaiki keadaan ekonomi mereka tersendiri. Liberalisme di Eropa mempunyai suatu tradisi yang kuat. Di negara-negara Eropa, kaum liberal cenderung menyebut diri mereka sendiri sebagai kaum liberal, atau sebagai radical centristsyang democratic.
Negara-negara penganut paham liberal yakni diantaranya adalah Albania, Armenia, Austria, Belgia, Bulgaria, Kroasia, Cyprus, Republik Cekoslovakia, Denmark, Estonia, Finlandia, Perancis, Jerman, Yunani, Hungaria, Islandia, Italia, Latvia, Lithuania, Luxembourg, Macedonia, Moldova, Belanda, Norwegia, Polandia, Portugal, Romania, Rusia, Serbia, Montenegro, Slovakia, Slovenia, Spanyol, Swedia, Switzerland, Ukraina dan United Kingdom.
Negara-negara yang menganut paham liberal di Asia antara lain adalah India, Iran, Israel, Jepang, Korea Selatan, Filipina, Taiwan, Thailand, dan Turki. Saat ini banyak negara-negara di Asia yang mulai berpaham liberal, antara lain adalah Myanmar, Kamboja, Hong Kong, Malaysia dan Singapura.
Sistem ekonomi liberal terbilang masih baru di Afrika. Pada dasarnya, liberalisme hanya dianut oleh mereka yang tinggal di Mesir,Senegal dan Afrika Selatan. Sekarang ini, kurang lebih liberalisme sudah dipahami oleh negara AljazairAngolaBeninBurkina, Faso, Mantol Verde, Cote D’lvoire, Equatorial, Guinea, Gambia, Ghana, Kenya, Malawi, Maroko, Mozambik, Seychelles, Tanzania, Tunisia, Zambia Zimbabwe dan Republik Kongo.

2.3 Perkembangan Liberalisme di Idonesia
Perkembangan zaman dan globalisasi sebagai salah satu pengaruh yang menyebabkan perkembangan liberalisme masuk yang mampu mempengaruhi sektor-sektor yang ada di Indonesia. Hal ini memiliki unsur yang berkaitan dengan penjajahan dan kolonialisme. Terlebih lagi hal-hal itu juga berkaitan dengan adanya perang dunia maka terjadinya paham baru yang bernama liberalisme juga ada unsur berkaitan dengan perang dunia. Kemajuan paham-paham yang ada di dunia ini merupakan salah satu bukti pemikiran manusia yang kadang tertekan dengan paham atau aliran yang telah ada lebih dulu di banding dengan aliran baru ini.
Aliran liberalisme merupakan aliran yang tumbuh akibat dari tekanan dari dogma agama yang senantiasa mempengaruhi masyarakat pada masa itu. Masyarakat mulai tidak nyaman dengan adanya peraturan yang mengutamakan agama dan gereja padahal jika di telaah namanya juga kehidupan dan itu akan membuahkan pemikiran-pemikiran yang baru. Munculnya banyak filsuf juga salah satu bukti akan memunculan paham liberalisme ini. Liberalisme adalah aliran yang lahir dari tekanan dogma agama dan geraja. “Liberalisme aliran Adam Smith ialah satu-satunya tugas negara yakni memelihara ketertiban umum dan menegakkan hukum agar kehidupan ekonomi bisa berjalan dengan lancar” (Notosusanto. 2010: 374).
Pengaruh liberalisme juga sedikit banyak telah berkembang di Indonesia bahkan itu terjadi pada masa kolonialisme. Hal ini terlihat dari beberapa bidang yang dijadikan sentral dalam masa kolonialisme tersebut. Banyak kegiatan- kegiatan bidang tertentu yang telah mengarahkan kondisi Indonesia pada asas yang menekankan aliran liberalisme. Terlebih lagi jika dilihat dari sejarah negara Belanda, Belanda merupakan salah satu negara yang menerapkan asas liberalisme dalam kehidupannya.Itu yang menjadi pengaruh besar terhadap perkembangan liberalisme di Indonesia. Perkembangan liberalisme di mulai sejak masa kolonialisme. Apalagi ditambah dengan politik baru yang diterapkan di Indonesia yakni demokratis juga memberikan warna baru dalam berkembangnya liberalisme. Dalam (Notosusanto. 2010: 371) mengatakan bahwa “sistem ekonomi kolonial antara tahun- tahun 1870 dan 1900 pada umumnya di sebut sistem liberalisme, maksudnya pada masa tersebut untuk pertama kalinya sejarah kolonial paham liberalisme di terapkan dalam bidang ekonomi dalam sektor permodalan dan perkebunan”.
a.       Dalam Bidang Ekonomi
Belanda pertama datang ke Indonesia pada tahun 1596, yang diawali dengan ekspedisi, yang dilakukan oleh Cornelis de Hotman dengan tujuan mencari rempah-rempah dan melakukan penjelajahan.Kolonisasi yang dilakukan bangsa Belanda di Indonesia dimulai sejak VOC dibubarkan pada tanggal 31 Desember 1799, wilayah jajahan VOC diambil oleh pemerintah kolonial Belanda. Sehingga untuk menjalankan roda pemerintahan di Indonesia, pemerintah Perancis (yang waktu itu menguasai Belanda) mengirimkan Deandles di Indonesia dengan tugas:
1.      Mempertahankan pulau Jawa dari serangan Inggris.
2.      Memperbaiki pemerintahan di Indonesia.
Untuk merealisasi tugas tersebut Deandeles melakukan langkah sebagai berikut:
1.      Untuk pertahanan pulau Jawa dibuat jalan Anyer-Panarukan dengan menggerakkan kerja paksa.
2.      Dibangun pabrik persenjataan di Gresik (Surabaya) dan Semarang.
3.      Dibangun pankalan angkatan laut di Ujungkulon.
b.      Dalam bidang Ekonomi
1.      Melanjutkan pelaksanaan contingenten (pajak in natural) dan sistem penyerahan wajib tanah wajib kopi di Periangan.
2.      Penjualan tanah yang luas kepada partikuler
3.      Dikeluarkanya uang kertas
Daendles pada masa pemerintahannya dikenal sebagai penguasa pemerintahan yang sangat disiplin, keras dan kejam. Oleh karena itu, Ia disebut sebagai gubernur jendral bertangan besi.Akan tetapi dalam tugas perintahnya Daendles melakukan kesalahan, menjual tanah milik negara kepada pengusaha asing dimana dia tanpa sengaja telah melanggar undang-undang negara. Oleh karena itu, pemerintah Belanda memanggil kembali Daendles ke negeri Belanda. Daendles berkuasa di Indonesia pada tahun 1808-1811”(Suwanto, dkk, 1997: 25).
Dalam paham liberalisme merupakan salah satu aliran yang dijadikan suatu acuan dalam mengembangkan sektor ekonomi secara individu tanpa campur tangan atau kaitan dengan pemerintah. “Liberalisme atau Liberal adalah sebuah ideologi, pandangan filsafat, dan tradisi politik yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan dan persamaan hak adalah nilai politik yang utama” (Ensiklopedia bebas). Secara umum, liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi para individu. Paham liberalisme menolak adanya pembatasan, khususnya dari pemerintah dan agama. Dalam masyarakat modern, liberalisme akan dapat tumbuh dalam sistem demokrasi, hal ini dikarenakan keduanya sama-sama didasarkan pada kebebasan mayoritas. Liberalisme terlihat jelas dalam masa pemerintahan Belanda terutama pada sektor ekonomi yang berkembang.
Sesuai dengan tuntutan kaum liberal, maka pemerintah kolonial segera memberikan peluang kepada usaha dan modal swasta untuk sepenuhnya menanamkan modal mereka dalam berbagai usaha dan kegiatan di Indonesia, terutama di daerah perkebunan besar di Jawa maupun di luar Jawa.“Dengan dikeluarkannya Undang-undang Agraria tahun 1870, Indonesia memasuki zaman penjajahan baru. Sejak tahun 1870 di Indonesia telah diterapkan opendeur politiek, yaitu politik pintu terbuka terhadap modal-modal swasta asing. Selama periode tahun 1870 dan 1900 Indonesia terbuka bagi modal swasta Barat, karena itulah maka masa ini sering disebut zaman liberalisme” (Marwati Djoened. 1993). Hal itu berarti Indonesia dijadikan tempat untuk berbagai kepentingan, anatara lain berikut ini:
1.      Tempat mendapatkan bahan mentah atau bahan baku industri di Eropa.
2.      Tempat mendapatkan tenaga kerja yang murah.
3.      Menjadi tempat pemasaran barang-barang produksi Eropa.
4.      Menjadi tempat penanaman modal asing.
Di samping modal swasta Belanda sendiri, modal swasta asing lain juga masuk ke Indonesia, misalnya modal dari Inggris, Amerika, Jepang, dan Belgia. Modal-modal asing tersebut tertanam pada sector-sektor pertanian dan pertambangan, antara lain karet, teh, kopi, tembakau, tebu, timah dan minyak.Akibatnya perkebunan-perkebunan dibangun secara luas dan meningkat pesat.Misalnya, “perkebunan tebu sejak tahun 1870 mengalami perluasan dan kenaikan produksi yang pesat, khususnya di Jawa.Demikian pula perkebuunan teh dan tembakau mengalami perkembangan yang pesat.Sejak semula tembakau telah ditanam di daerah Yogyakarta dan Surakarta.Sejak tahun 1870 perkebunan itu diperluas sampai ke daerah Besuki (Jawa Timur) dan daerah Deli (Sumatra Timur).Hasil-hasil bumi penting yang lainnya adalah kina, kakao, kapas, minyak sawit, gambir, minyak serai, karet, dll.lalu dibuka pula pertambangan mas, timah, dan minyak” (Pane, Sanusi. 1980)
Selama perang Jawa berlangsung pihak Belanda memikirkan berbagai rencana. Semuannya memiliki sasaran umum, yaitu bagaimana Belanda memperoleh keuntungan dari daerah tropis dalam jumlah dan harga yang tepat. Pemikiran orang Belanda sejak pemikirannya ketika akan melakukan pelayaran. Dengan sistem azas liberal yang telah di miliki oleh Belanda, dengan mudah menepatkan koloninya dengan azas yang sama pula. “Pada tahun tahun 1829 Johannes van den Bosch (1780-1844) menyampaikan kepada raja Belanda mengenai usulan-usulan yang dikenal dengan simten culturestelsel (sistem penanaman). Bulan Januari 1830 van de Bosch tiba di Jawa sebagi Gubernur Jenderal yang baru. Rencana van de Bosch bahwa setiap desa harus menyisihkan sebagian dari tanahnya guna komoditi ekspor untuk dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang pasti dan menguntungkan bagi kolonial” (Ricklefs. 1981). Dalam teorinya setiap pihak akan memperoleh keuntungan dari sistem ini. Desa masih memiliki tanah yang cukup luas untuk kegunaannya sendiri dan akan mendapatkan penghasilan dalam bentuk tunai.
Dampak cultuurstelsel terhadap orang-orang Jawa dan Sunda di seluruh Jawa sangat beraneka ragam, sedangkan bagi kaum elit bangsawan di seluruh Jawa zaman ini benar-benar menguntungkan. Kedudukan mereka menjadi aman dan penggantian secara turun temurun untuk jabatan-jabatan resmi menjadi norma, tetapi mereka tergantung secara langsung kepada kekuasan Belanda untuk kedudukan dan penghasilan mereka. Upaya menentang Cultuurstelsel kini muncul di negeri Belanda.Pemerintah mulai menjadi bimbang apakah sisitem ini masih dapat dipertahankan lebih lama lagi.Pada tahun 1848 untuk pertama kalinya konstitusi liberal memberikan parlemen Belanda (Staten-Generaal) peranan yang berpengaruh dalam urusan-urusan penjajahan. Mereka mendesak di adakannya suatu pembaharuan liberal: pengurangan peranan pemerintah dalam perekonomian kolonial secara drastis, pembebasan terhadap pembatasan-pembatasan perusahaan swasta di Jawa dan Sunda. Pada tahun 1860 Eduard Douwes Dekker menerbitkan buku berjudul Max Havelaar.Akan tetapi, kaum Liberal menghadapi suatu dilema, mereka ingin dibebaskan dari cultuurstelsel tetapi bukan dari keuntungan-keuntungan yang di peroleh bangsa Belanda dari Jawa.Akhirnya diputuskan untuk dihapuskannya cultuurstelsel dari sedikit demi sedikit.Penghapusan di mulai dari komuditi yang paling sedikit mendatangkan keuntungan yaitu lada, kemudian cengkih, nila, teh, dan seterusnya.
c.       Dalam Bidang Politik
Penjajahan merupakan salah satu awal munculnya aliran atau paham baru yang ada di Indonesia. Hal itu di bawa secara paksa melalui kolonialisme khususnya oleh pemerintah kolonial Belanda. “Prinsip negara telah muncul dalam UUD (undang-undang dasar) Belnda pada taun 1855 ayat 119 yang menyatakan bahwa pemerintah bersikap netral erhadap agama, artinya tidak memihal satu atau bahkan mencapuri urusan agama itu sendiri. Hal ini juga di kenal dengan paham sekular yang menjadi akar kemunculan paham liberalisme” (Noer. 1991). Bahkan prinsip dari sekular itu dapat dilihat melalui rekomendasi Snouck Hurgronje kepada pemerintah kolonial melalui Islam Politik, yakni kebijakan pemerintah kolonial dalam menangani masalah islam di Indonesia. “Kebijakan ini menindas islam sebagai ekspresi politik, inti islam politik” (Pieor. 1924 dalam Suhelmi 2007)  ialah:
1.      Dalam bidang ibadah murni, pemerintah hendaknya memberikan kebebasan, sepanjang tidak menganggu kekuasaan pemerintah Belanda
2.      Dalam bidang kemasyarakatan,  pemerintah hendaknya memanfaatkan adat istiadat atau kebiasaan rakyat agar rakyat bisa mendekati Belanda.
3.      Dalam bidang politik atau kenegaraan, pemerintah harus mencegah setiap upaya yang akan membawa rakyat pada fanatisme
Dengan berjalannya politik etis di Indonesia yang di laksanakan oleh pemerintah kolonial Belanda di awal abad XX semakin menekankan liberalisme di Indonesia. “Salah satu bentuk kebijakan yang di terapkan oleh kolonial Belanda ialah unifikasi, upaya mengikat negeri jajahan atau koloninya dengan penjajahnya, jadi bisa di pastikan negara koloni itu terikat oleh negara jajahan dengan menyampaikan kebudayaan Barat kepada orang Indonesia. Pendidikan, sebagaimana menjadi cara yang tepat agar  rakyat Indonesia dengan pemikiran penjajah memiliki perspektif yang cenderung sama” (Noer. 1991: 183). Bahkan dengan kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 seharusnay menjadi momentum yang tepat untuk menghapus penjajahan secara total, termasuk mancabut pemikiran sekular-liberal yang ditanamkan oleh penjajah. Namun entah kenapa kemerdekaan ini hanya di jadikan sebagai pergantian rezim yang berkuasa, bukan mengganti sistem atau ideologi penjajah itu sendiri. Pemerintahan memang berganti, tapi ideologi tetap sekular-liberal.
“Ketersesatan sejarah Indonesia itu terjadi karena saat menjelang proklamasi (seperti dalam sidang BPUPKI), kelompok sekular dengan tokohnya Soekarno, Hatta, Ahmad Soebarjoe dan M. Yamin telah menangkan kompetensi politik melawan kelompok islam dengan tokoh Abdul Kahar Muzakhir, H. Agus Salim, Abdul Wahid Hasyim dan Abikoesno Tjokrosoejoso” (Anshari. 1997: 42). Hal ini yang berdampak terhadap perkembangan bidang-bidang di Indonesia selanjutnya. Kemenangan yang di ciptakan oleh para tokoh merupakan awal dari salah satu perkenalan paham liberal setelah Indonesia selesai di jajah oleh para kolonialisme. Kejadian itu semakin membuat politik Indonesia lebih bersifat liberal. “Dalam politik, liberalisme ini nampak dalam sistem demokrasi liberal yang memisahkan agama dari negara sebagai titik tolak pandangan dan selalu mengagungkan kebebasan individu itu sendiri” (Audi. 2002 dalam Suhelmi 2007).
Pemikiran liberal (liberalisme) adalah satu nama di antara nama-nama untuk menyebut ideologi Dunia Barat yang berkembang sejak masa Reformasi Gereja dan Renaissans yang menandai berakhirnya Abad Pertengahan (abad V-XV). Disebut liberal, yang secara harfiah berarti “bebas dari batasan” (free from restraint), karena liberalisme menawarkan konsep kehidupan yang bebas dari pengawasan gereja dan raja. (Adams, 2004:20). Ini berkebalikan total dengan kehidupan Barat Abad Pertengahan ketika gereja dan raja mendominasi seluruh segi kehidupan manusia.

2.4 Tidak Setuju (Kontra) Terhadap Liberalisme
   Liberalisme adalah suatu paham yang menghendaki adanya kebebasan individu dalam segala bidang. Menurut paham ini titik pusat dalam hidup ini adalah individu.Karena ada individu maka masyarakat dapat tersusun dan karena individu pula negara dapat terbentuk. Oleh karena itu, masyarakat atau negara harus selalu menghormati dan melindungi kebebasan kemerdekaan individu. Setiap individu harus memiliki kebebasan kemerdekaan, seperti dalam bidang politik, ekonomi, dan agama.
            Alasan tidak setuju atau kontra terhadap paham Liberalisme yaitu karena adanya kebebasan individu dalam segala bidang akan menimbukan beberapa kesenjangan dan kelemahan yaitu diantaranya: 1. Sulit melakukan pemerataan pendapatan. Karena persaingan bersifat bebas, pendapatan jatuh kepada pemilik modal atau majikan. Sedangkan golongan pekerja hanya menerimasebagian kecil dari pendapatan. 2. Pemilik sumber daya produksi mengeksploitasi golongan pekerja, sehingga yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. 3. Sering muncul monopoli yang merugikan masyarakat. 4.Sering terjadi gejolak dalam perekonomian karena kesalahan alokasi budaya oleh individu yang sering terjadi


BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Liberalisme berawal dan bermula dari abad pertengahan di Eropa yang di munculkan oleh golongan aristokrat atau golongan bangsawan di Eropa, ideologi ini dimunculkan karena adanya keinginan dalam kebebasan individu. Ada tiga hal yang mendasar dari Ideologi Liberalisme yakni Kehidupan, Kebebasan dan Hak Milik (Life, Liberty and Property).  Walaupun didalam Ideologi Liberalisme tercantum hal kebebasan dalam setiap individu tetapi untuk kepentingan bersama dan untuk mengatur jalannya system yang digunakan maka di buatkannya undang-undang yang mengatur akan Ideologi tersebut.




DAFTAR PUSTAKA

http://berkat-nias.blogspot.com/2014/01/makalah-liberalisme-dan-neoliberalise.html







Tidak ada komentar:

Posting Komentar