KAPITALISME
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Intelektual
Dosen Pengampuh Dr. Suranto, M.Pd
Oleh
EVIE
EKA YULIATI (120210302105)
Kelas B
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2014
KATA PENGANTAR
Dengan mengucap puji syukur
kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya, tidak lupa kami
mengucapkan terima kasih kepada pembimbing yang telah bersedia membimbing kami
dalam penyusunan makalah ini, sehingga penyusunan makalah dengan judul “KAPITALISME
(PRO)” dapat berjalan dengan lancar tanpa
ada halangan suatu apapun. Perencanaan, pelaksanaan dan
penyelesaian makalah sebagai salah satu tugas matakuliah Sejarah
Intelektual.
Penulisan makalah ini berdasarkan
literatur yang ada. Penyusun menyadari akan kemampuan yang sangat terbatas
sehingga dalam penyusunan makalah ini banyak kekurangannya. Namun, makalah yang
disajikan sedikit banyak bermanfaat bagi penyusun khususnya dan mahasiswa lain
pada umumnya.
Penyusun juga menyadari penulisan
makalah ini masih jauh dari sempurna, maka dengan hati terbuka penyusun
menerima segala kritik dan saran yang sifatnya membangun demi kesempurnaan
makalah tersebut.
Jember, Oktober
2014
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman Judul ............................................................................................ i
Kata Pengantar ............................................................................................ ii
Daftar Isi ..................................................................................................... iii
BAB 1
PENDAHULUAN ........................................................................ 1
1.1 Latar Belakang.......................................................................................
1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................. 1
1.3 Tujuan ................................................................................................... 1
BAB 2
PEMBAHASAN ........................................................................... 3
2.1 Konsep Dasar Kapitalisme.....................................................................
3
2.2 Perkembangan Kapitalisme....................................................................
7
2.3 Perkembangan Kapitallisme di Indonesia..............................................
22
2.4 Setuju atau Pro terhadap Kapitalisme....................................................
25
BAB III
PENUTUP .................................................................................. 27
3.1 Kesimpulan ........................................................................................... 27
3.2 Saran ..................................................................................................... 27
DAFTAR
PUSTAKA .............................................................................. 28
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kapitalisme sebenarnya bukanlah hal
yang baru untuk untuk di perbincangkan, tetapi melihat pengaruhnya yang masih
begitu kuat terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat dunia umumnya dan
Indonesia khususnya membuat kapitalisme tak pernah berhenti untuk
diperbincangkan. Oleh karena itu tiada salah bila kita sekali lagi mengenal
sedikit tentang kapitalisme dan sejarah perkembangannya. Kapitalisme jika
dilihat dari segi etimologi yaitu berasal dari dua kata “Capital (modal) dan
Isme (paham atau cara pandang). Namun jika kita telusuri makna dari kapitalisme
sendiri yait berasal dari bahasa latin caput yang berarti “kepala”. Arti ini
menjadi jelas, misalnya dalam istilah “pendapatan per kapita” atau pendapatan
per kepala. Apa hubungannya dengan “capital” yang lain yang sering kita
terjemahkan sebagai “modal”? Konon kekayaan penduduk Romawi kuno diukur oleh
berapa kepala hewan ternak yang ia miliki. Semakin banyak caput-nya, semakin
sejahtera. Tidak mengherankan, jika kemudian mereka “mengumpulkan”
sebanyak-banyaknya caput. Sekarang jelas sudah, mengapa kita menterjemahkan
capital sebagai “modal”. Sementara” Isme” sendiri mengacu kepada paham,
“ideologi” cara pandang atau cara hidup yang diterima oleh sekelompok luas
masyarakat dan karenanya menjadi konvensi, karea dapat saja ditolak oleh
kelompok masyarakat yang lainnya, sehingga kapitalisme adalah modal –isme atau
paham yang berdasarkan modal (pemilik modal).
1.2 Rumusan Masalah
a)
Bagaimanakah
Konsep Dasar dari Kapitalisme?
b)
Bagaimanakah
Proses perkembangan Kapitalisme?
c)
Bagaimanakah
Proses Perkembangan Kapitalisme di Indonesia?
d)
Setuju atau
tidak terhadap penerapan dari ideologi Kapitalisme?
1.3 Tujuan
a)
Untuk mengetahui
dan memahami Konsep Dasar dari Kapitalisme.
b)
Untuk mengetahui
Proses perkembangan Kapitalisme.
c)
Untuk mengetahui
Proses Perkembangan Kapitalisme di
Indonesia.
d)
Untuk menganalisis
ideologi Kapitalisme cocok atau tidak cocok bila diterapkan di suatu negara..
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Konsep
Dasar Kapitalisme
Kapitalisme
berasal dari capital yang berarti
modal, dengan yang dimaksud modal adalah alat produksi seperti tanah, uang dan
lain sebagainya. Dan kata isme berarti suatu paham atau ajaran. Jadi arti
kapitalisme itu sendiri adalah suatu ajaran atau paham tentang modal atau
segala sesuatu dihargai dan diukur dengan uang paham kapitalisme ini
meyakini bahwa pemilik modal bisa melakukan usahanya untuk meraih keuntungan
sebesar-besarnya. Demi prinsip tersebut, maka pemerintah tidak dapat melakukan
intervensi pasar guna keuntungan bersama. Paham ini berazas atas pengembangan hak milik pribadi dan pemeliharaannya
serta perluasan faham kebebasan. Sehingga dalam prakteknya menciptakan
kesenjangnan social yang tinggi antara si kaya dan si miskin. Yang kaya semakin
kaya dan yang msikin semakin miskin.
Walaupun demikian, kapitalisme sebenarnya
tidak memiliki definisi universal yang bisa diterima secara luas. Beberapa ahli
mendefinisikan kapitalisme sebagai sebuah sistem yang mulai berlaku di Eropa
pada abad ke-16 hingga abad ke-19, yaitu pada masa perkembangan perbankan komersial Eropa
di mana sekelompok individu maupun kelompok dapat bertindak sebagai suatu badan
tertentu yang dapat memiliki maupun melakukan perdagangan benda milik pribadi,
terutama barang modal, seperti tanah
dan manusia guna proses perubahan dari barang
modal ke barang jadi. Untuk mendapatkan modal-modal tersebut, para kapitalis
harus mendapatkan bahan baku dan mesin dahulu, baru buruh sebagai operator
mesin dan juga untuk mendapatkan nilai lebih dari bahan baku tersebut.
Kapitalisme merupakan sistem perekonomian
yang menekankan peran Capital (modal), yakni kekayaan dalam segala jenisnya,
termasuk barang-barang yang digunakan dalam produksi barang lainnya. Beberapa
ahli mendefinisikan kapitalisme sepertihalnya Ebenstein, menyebut kapitalisme
sebagai sistem sosial yang menyeluruh, lebih dari sekedar sistem perekonomian.
Ia mengaitkan perkembangan kapitalisme sebagai bagian dari gerakan
individualisme. Sedangkan Hayek, memandang kapitalisme sebagai perwujudan
liberalisme dalam ekonomi. Menurut Ayn Rand, kapitalisme adalah “a social
system based on the recognition of individual rights, including property
rights, in which all property is privately owned”. (Suatu sistem sosial yang
berbasiskan pada pengakuan atas hak-hak individu, termasuk hak milik di mana
semua pemilikan adalah milik privat). Heilbroner, secara dinamis menyebut
kapitalisme sebagai formasi sosial yang memiliki hakekat tertentu dan logika
yang historis-unik. Logika formasi sosial yang dimaksud mengacu pada gerakan-gerakan
dan perubahan-perubahan dalam proses-proses kehidupan dan
konfigurasi-konfigurasi kelembagaan dari suatu masyarakat. Istilah “formasi
sosial” yang diperkenalkan oleh Karl Marx ini juga dipakai oleh Jurgen
Habermas. Dalam Legitimation Crisis (1988), Habermas menyebut kapitalisme
sebagai salah satu empat formasi sosial (primitif, tradisional, kapitalisme,
post-kapitalisme).
Keadaan kemudian berubah ketika gelombang
industrialisasi melanda negara-negara Eropa Barat. Di dalam masyarakat
tradisional tersebut terjadi perubahan, dimana sistem ekonomi bersekala kecil
mulai diguncang oleh adanya industrialisasi sebagai sistem ekonomi bersekala
besar. Sebenarnya industrialisasi itu muncul karena pengaruh zaman Renaissance
yang melanda Eropa pada abad ke-15 hingga abad 19, yaitu pada masa perkembangan
perbankkan komersial di eropa ada zaman dahulu. Dimana sekelompok individu
maupun kelompok luas dapat bertindak sebagai badan tertentu yang dapat memiliki
maupun melakukan perdagangan benda milik
pribadi, terutama barang modal, seperti tanah dan manusia guna proses perubahan
dari barang modal menjadi barang jadi. Untuk mendapatkan modal-moda tersebut
maka para kapitalis tersebut harus mendapatkan bahan baku dan mesin terlebih
dahulu. Baru setelah itu buruh menjadi operator atau tenaga produktif agar para
kapitalis bisa mendapatkan nilai lebih dari bahan baku tersebut.
Kapitalisme memiliki sejarah yang panjang,
yaitu sejak ditemukannya sistem perniagaan yang dilakukan oleh pihak
swasta. Di Eropa, hal ini dikenal dengan sebutan guild sebagai cikal bakal
kapitalisme. Saat ini, kapitalisme tidak hanya dipandang sebagai suatu
pandangan hidup yang menginginkan keuntungan belaka. Peleburan kapitalisme
dengan sosialisme tanpa adanya pengubahan
menjadikan kapitalisme lebih lunak daripada dua atau tiga abad yang lalu.
Istilah
kapitalisme, dalam arti modern,
sering dikaitkan dengan Karl Marx. Dalam
magnum opus Das Kapital, Marx
menulis tentang "cara produksi kapitalis" dengan menggunakan metode
pemahaman yang sekarang dikenal sebagai Marxisme. Namun, sementara Marx jarang
menggunakan istilah "kapitalisme", namun digunakan dua kali dalam
interpretasi karyanya yang lebih politik, terutama ditulis oleh kolaborator Friedrich Engels. Pada abad ke-20 pembela
sistem kapitalis sering menggantikan kapitalisme jangka panjang dengan frase
seperti perusahaan bebas dan perusahaan swasta dan diganti dengan
kapitalis rente dan investor sebagai
reaksi terhadap konotasi negatif yang terkait dengan kapitalisme.
Ekonomi kapitalisme merupakan satu
sistem ekonomi yang berasaskan kepada ekonomi bebas. Ini bermakna setiap
individu atau mana-mana syarikat yang memiliki harta atau modal bebas
menjalankan kegiatan ekonomi atau perdagangan. Matlamat utama di dalam sistem
ekonomi kapitalisme ialah keuntungan yang maksimal.
Secara sosiologis paham
kapitalisme berawal dari perjuangan terhadap kaum feodal, salah satu
tokoh yang terkenal Max Weber dalam karyanya The Protestan Ethic of Spirit
Capitalism, mengungkapkan bahwa kemunculan kapitalisme erat sekali dengan
dengan semangat religius terutama kaum protestan. Pendapat Weber ini didukung
Marthin Luther King yang mengatakan bahwa lewat perbuatan dan karya yang lebih
baik manusia dapat menyelamatkan diri dari kutukan abadi. Tokoh lain yang
mendukung adalah Benjamin Franklin dengan mottonya yang sangat terkenal yaitu
“Time Is Money”, bahwa manusia hidup untuk bekerja keras dan memupuk kekayaan.
Perkembangan kapitalisme tidak bisa
lepas Dari sang maestro, yaitu Adam Smith dimana ia mengemukakan 5 teori dasar
dari kapitalisme :
- Pengakuan
hak milik pribadi tanpa batas – batas tertentu.
- Pengakuan
hak pribadi untuk melakukan kegiatan ekonomi demi meningkatkan status
sosial ekonomi.
- Pengakuan
adanya motivasi ekonomi dalam bentuk semangat meraih keuntungan
semaksimal mungkin.
- Kebebasan
melakukan kompetisi.
- Mengakui
hokum ekonomi pasar bebas/mekanisme pasar.
Bentuk
Kapitalisme
- Kapitalisme perdagangan yg muncul pada abad ke-16
setelah dihapusnya sistem feodal. Dalam sistem ini seorang pengusaha
mengangkat hasil produksinya dari satu tempat ke tempat lain sesuai dgn
kebutuhan pasar. Dengan demikian ia berfungsi sebagai perantara antara
produsen dan konsumenKapitalisme
industri yg lahir krn ditopang oleh kemajuan industri dgn penemuan
mesin uap oleh James Watt tahun 1765 dan mesin tenun tahun 1733. Semua itu
telah membangkitkan revolusi industri di Inggris dan Eropa menjelang abad
ke-19. Kapitalisme industri ini tegak di atas dasar pemisahan antara modal
dan buruh yakni antara manusia dan mesin.
- Sistem Kartel yaitu kesepakatan
perusahaan-perusahaan besar dalam membagi pasaran internasional. Sistem
ini memberi kesempatan utk memonopoli pasar dan pemerasan seluas-luasnya.
Aliran ini tersebvar di Jerman dan Jepang.
- Sistem Trust yaitu sebuah sistem yang
membentuk satu perusahaan dari berbagai perusahaan yang bersaing agar
perusahaan tersebut lbh mampu berproduksi dan lebih kuat untuk mengontrol
dan menguasai pasar.
Prinsip-prinsip
Kapitalisme
- Mencari
keuntungan dengan berbagai cara dan sarana kecuali yang
terang-terangan dilarang negara krn merusak masyarakat seperti heroin dan
semacamnya.
- Mendewakan
hak milik pribadi dengan membuka jalan selebar-lebarnya agar tiap
orang mengerahkan kemampuan dan potensi yang ada untuk meningkatkan
kekayaan dan memeliharanya serta tidak ada yang menjahatinya. Karena itu
dibuatlah peraturan-peraturan yang cocok utk meningkatkan dan melancarkan
usaha dan tidak ada campur tangan negara dalam kehidupan ekonomi kecuali
dalam batas-batas yang sangat diperlukan oleh peraturan umum dalam
rangka mengokohkan keamanan.
- Perfect
Competition.
- Price
system sesuai dgn tuntutan permintaan dan kebutuhan dan bersandar pada
peraturan harga yang diturunkan dalam rangka mengendalikan komoditas dan
penjualannya.
Konsep Kapitalisme yaitu:
- Pengumpulan
modal
- Kebebasan
ekonomi
- Hak
milik perseorangan
- Kebebasan
pasaran dan perniagaan
- Menggalakkan
penambahan kekayaan dan pelaburan
- Kaum
buruh dibayar upah
- Melibatkan
sistem pengeluaran, pengedaran dan pertukaran secara besar-besaran.
- Tujuan
untuk mendapatkan keuntungan
Ciri-ciri dari
Kapitalisme adalah:
- Wujud
aktiviti perdagangan dan perniagaan
- Pembayaran
gaji untuk pekerja oleh majikan
- Sistem
ekonomi dikuasai oleh golongan yang mempunyai modal besar.
- Untuk
kepentingan sendiri
- Ekonomi
dagangan bebas
- Mengutamakan
harta persendirian
2.2 Perkembangan
Kapitalisme
Secara historis
perkembangan kapitalisme merupakan bagian dari gerakan individualisme. Gerakan ini juga menimbulkan dampak dalam bidang
yang lain. Dalam bidang keagamaan gerakan ini menimbulkan reformasi. Dalam hal
penalaran melahirkan ilmu pengetahuan alam. Dalam hubungan masyarakat
memunculkan ilmu-ilmu sosial. Dalam bidang ekonomi melahirkan sistem
kapitalisme. Oleh karena itu peradaban kapitalis sah (legitimate) adanya. Di dalamnya terkandung pengertian bahwa
kapitalisme adalah sebuah sistem sosial yang menyeluruh, lebih dari sekedar
tipe tertentu dalam perekonomian. Sistem ini berkembang di Inggris pada abad 18
masehi dan kemudian menyebar luas ke kawasan Eropa Barat Laut dan Amerika Utara
(Ebenstein & Fogelman, 1994: 148).
Perjalan
sejarah kapitalisme tidak dapat dilepaskan dari bumi Eropa, tempat lahir dan
berkembangnya kapitalisme. Tahun 1648 (tahun tercapainya perjanjian Westphalia) dipandang sebagai tahun
lahirnya sistem negara modern. Perjanjian itu mengakhiri Perang Tiga Puluh
Tahun (antara Katholik dan Protestan di Eropa) dan menetapkan sistem negara
merdeka yang didasarkan pada konsep kedaulatan dan menolak ketundukan pada
otoritas politik Paus dan Gereja Katholik Roma (Papp, 1988: 17). Inilah awal
munculnya sekularisme. Sejak
itu aturan main kehidupan dilepaskan dari gereja (yang merupakan wakil Tuhan),
dengan anggapan bahwa negara itu sendiri yang paling tahu kebutuhan dan
kepentingan warganya sehingga negaralah yang layak membuat aturan untuk
kehidupannya, sementara Tuhan (agama) diakui keberadaannya tetapi dibatasi
hanya di gereja (hubungan manusia dengan Tuhannya).
Prinsip dasar
sekular tersebut adalah menempatkan manusia (negara/kerajaan) sebagai pembuat
peraturan atau hukum. Permasalahan berikutnya adalah siapa atau apa yang
berwenang membuat aturan yang menjamin terciptanya kehidupan yang damai,
tentram dan stabil. Kenyataannya, Eropa sampai abad ke-19 merupakan
kerajaan-kerajaan yang diperintah oleh kaisar, raja dan para bangsawan
(aristokrat). Sampai masa itu, peran politik rakyat sangatlah minim bahkan
tidak ada. Rakyat secara pasif patuh pada raja dan undang-undang yang dibuat
oleh raja, tanpa melibatkan diri dalam proses politik (pembuatan keputusan).
Dan ternyata raja selalu tidak bisa memenuhi kepentingan dan kebutuhan warganya
secara adil dan menyeluruh.
Selanjutnya
terdapat tiga perkembangan penting yang mempengaruhi perubahan situasi di
Eropa, yaitu: revolusi industri (1760 - 1860), revolusi Perancis (1775 - 1799)
dan tingkat melek huruf (literasi) (abad ke-19). Ketiga peristiwa tersebut
telah mendorong munculnya keterlibatan rakyat (di luar raja dan kaum bangsawan)
di dalam politik (pengaturan urusan rakyat) (Robert & Lovecy, 1984: 7) .
Revolusi industri telah memunculkan kelas menengah yang mempunyai kekuatan
ekonomi, sehingga dengan kekuatannya tersebut mereka menuntut derajat kekuatan
politik yang berimbang. Revolusi Perancis telah mendorong tuntutan akan nasionalisme (ide bahwa rakyat bisa
memerintah dirinya sendiri, bukan diperintah oleh yang lain), libelarisme (ide bahwa otoritas
politik harus disahkan lebih dahulu secara konsensus dan tidak secara
turun temurun, serta dibatasi oleh hukum dan konstitusi) dan equalitas (ide bahwa partisipasi
politik tidak hanya di tingkat elit aristokrat saja, tetapi terbuka untuk semua
penduduk). Sedangkan meningkatnya derajat melek huruf di kalangan rakyat telah
menyebabkan mereka dapat membaca peristiwa-peristiwa dan pemikiran-pemikiran
yang berkembang di Eropa dan sekaligus mempengaruhi mereka.
Kemajuan sosial (social progress),
yang berupa sejumlah perbaikan kondisi ekonomi, intelektualitas, sosial budaya
dan politik yang terjadi di Eropa Barat antara abad ke-18 sampai abad ke-19,
dapat dilihat sebagai penyebab berkembangnya demokrasi, di mana demokrasi
membatasi kesewenangan dan mendorong manusia menjadi lebih sempurna dan
adil dalam mengatur kehidupannya (Palma, 1990: 17) . Dari sini kita bisa
menyebut bahwa pada abad ke-19 telah terjadi transisi politik di Eropa Barat
dari bentuk otokrasi dinasti
tradisional menjadi demokrasi
liberal modern.
Meskipun
demikian, ada kesamaan dalam dua kondisi tersebut, yaitu sekularime.
Konsekuensi dari Tuhan (agama) tidak boleh campur tangan dalam pengaturan
urusan kehidupan manusia adalah pembuatan aturan main (keputusan/hukum) oleh
manusia. Ketika keputusan/hukum dibuat oleh seseorang secara otoriter, dan
terbukti tidak mampu menangkap kepentingan dan kebutuhan rakyatnya, maka
dituntutlah keikutsertaan rakyat seluruh rakyat dalam membuat keputusan. Dengan
demikian diharapkan mampu menciptakan aturan main yang lebih bisa memenuhi
keinginan dan kepentingan rakyat banyak.
Sedangkan mengenai penamaan ideologi ini dengan nama Kapitalisme, An-Nabhani
dalam kitabnya Nidzom Al-Islam
(1953) memberikan pendapat dan uraian sebagai berikut: bahwa munculnya
kapitalisme berawal pada kaisar dan raja-raja di Eropa dan Rusia yang
menjadikan agama sebagai alat pemeras, penganiaya dan penghisap darah rakyat.
Para pemuka agama pada waktu itu dijadikan sebagai perisai untuk memenuhi
keinginan mereka. Dari kondisi seperti itu, maka berikutnya menimbulkan
pergolakan yang sengit, yang kemudian membawa kebangkitan bagi para filosof dan
cendikiawan. Sebagian dari mereka mengingkari adanya agama secara mutlak,
sedangkan sebagian yang lain mengakui adanya agama tetapi menyerukan agar
dipisahkan dari kehidupan dunia. Sampai akhirnya pendapat mayoritas dari
kalangan filosof dan cendekiawan itu lebih cenderung memilih ide yang
memisahkan agama dari kehidupan, yang kemudian menghasilkan usaha pemisahan
antara agama dengan negara. Disepakati pula pendapat untuk tidak
mempermasalahkan agama, dilihat dari segi apakah diakuai atau ditolak, sebab
yang menjadi masalah adalah agama itu harus dipisahkan dari kehidupan
(An-Nabhani, 1953: 25).
Ide pemisahan agama dari negara tersebut dianggap sebagi jalan kompromi antara
pemuka agama yang menghendaki segala sesuatunya harus tunduk kepada mereka
(yang mengatasnamakan agama) dengan para filosof dan cendekiawan yang
mengingkari adanya agama dan dominasi para pemuka agama. Dengan demikian ide
sekularisme ini sama sekali tidak mengingkari adanya agama, akan tetapi juga
tidak menjadikannya berperan dalam kehidupan. Yang mereka lakukan tidak lain
adalah memisahkannya dari kehidupan (An-Nabhani, 1953: 25).
Atas landasan pandangan hidup seperti di atas, mereka berpendapat bahwa manusia
sendirilah yang berhak untuk membuat peraturan hidupnya. Mereka juga
mengharuskan pula untuk mempertahankan kebebasan
manusia yang terdiri dari kebebasan beragama, kebebasan berpendapat
(berbicara), kebebasan individu (pribadi) dan kebebasan kepemilikan (hak
milik). Dari kebebasan hak kepemilikan itulah dihasilkan sistem ekonomi kapitalis, yang
merupakan hal yang paling menonjol pada ideologi ini. Oleh karena itu ideologi
ini dinamakan kapitalisme,
sebuah nama yang diambil dari aspek yang paling menonjol dalam ideologi ini
(An-Nabhani, 1953: 24).
Demokrasi sebagaimana telah diuraikan di atas, sebenarnya juga berasal dari
ideologi ini, akan tetapi masih dianggap kurang menonjol dibanding dengan
sistem ekonominya. Hal itu dapat dibuktikan bahwa sistem ekonomi kapitalis di
Barat ternyata sangat mempengaruhi elite kekuasaan sehingga mereka tunduk
kepada para kapitalis (pemilik modal, konglomerat). Bahkan hampir-hampir dapat
dikatakan bahwa para Kapitalislah yang menjadi penguasa sebenarnya di
negara-negara yang menganut ideologi ini. Di samping itu demokrasi bukanlah
menjadi ciri khas dari ideologi ini, sebab sosialispun ternyata juga
menyuarakan dan menyatakan bahwa kekuasan berada di tangan rakyat. Oleh karena
itu lebih tepat jika ideologi ini dinamakan ideologi Kapitalisme (An-Nabhani, 1953: 24-25).
Oleh karena itu kapitalisme saat ini sudah tidak bisa disebut sebagai
hanya sebuah "isme" biasa atau sebuah
pemikiran filsafat belaka, bahkan tidak bisa juga
hanya dikatakan sebagai sebuah teori ekonomi . Akan tetapi
kapitalisme telah menjadi sebuah ideologi dunia yang mencengkeram dan
mengatur semua sendi-sendi kehidupan manusia secara
menyeluruh dan sistemik. Lester C. Thurow dalam bukunya The Future of Capitalism (1996) menggambarkan tentang perjalanan
kapitalisme sebagai berikut: Since the
onset of the industrial revolution, when success came to be defined as rising
material standards of living, no economic system other than capitalism has been
made to work anywhere. No one knows how to run successful economies on any
other principles. The market, and the market alone, rules. No one doubts it.
Capitalism alone taps into modern beliefs about individuality and exploits what
some would consider the baser human motives, greed and self-interest, to
produce rising standards of living. When it comes to catering to the wants and
desires of every individual, no matter how trivial those wants seem to others,
no system does it even half so well. Capitalism’s nineteenth and
twentieth-century competitors - fascism, sosialism and comunism - are all gone (Thurow,
1996: 1).
Eropa pernah diperintah kerajaan
Romawi yg telah mewariskan sistem feodalistik. Dalam rentang waktu antara abad
ke-14 sampai abad ke-16 muncul apa yang disebut kelas bourgeois mengiring tahap feodal dimana keduanya saling mengisi.
Kemudian sejak awal abad ke-16 secara bertahap fase borjuis disusul degan fase
kapitalisme.
Secara umum perkembangan kapitalisme
dibagi menjadi 3 yaitu: kapitalisme awal,
a. Kapitalisme Awal
a. Merkantilisme
Kapitalisme
mempunyai sejarah panjang yang mana sejak ditemukannya sistem perniagaan yang
dilakukan oleh pihak swasta. Di Eropa, hal ini dikenal dengan sebutan guild
sebagai cikal bakal kapitalisme. Kapitalisme merupakan cara pandang dalam
menjalani kegiatan ekonominya. Hal tersebut bisa dilihat pada Merkantilisme
berkembang pada abat ke-15 sampai abad 18, dan berasal dari kata merchand yang
artinya pedagang. Walaupun para ahli masih meragukan apakah merkantilisme benar
merupan suatu aliran/madzhab atau bukan, namun aliran ini memiliki dampak yang
besar dalam perkembangan teori ekonomi. Aliran ini timbul pada masa ketika
perdagangan antar negara semakin berkembang pesat. Kalau di masa sebelumnya
masyarakat dapat mencukupi kebutuhannya dengan dengan memproduksi sendiri, pada
masa merkantilisme ini berkembang paham bahwa jika sebuah negara hendak maju,
maka negara tersebut harus melakukan perdagangan dengan negara lain, surplus
perdagangan berupa emas dan perak yang diterima merupakan sumber kekayaan
negara.
Dalam
bukunya yang berjudul “England Treasure by Foreign Trade” Thomas Mun menulis tentang manfaat
perdagangan luar negeri. Ia menjelaskan bahwaperdagangan luar negeri akan
memperkaya negara jika menghasilkan surplus dalam bentuk emas dan perak.
Keseimbangan perdagangan hanyalah perbedaan antara apa yang di ekspor dan apa
yang di impor. Ketika negara mengalami surplus perdagangan, ini berarti ekspor
lebih besar daripada impor. Lebih lanjut Thomas Mun menjelaskan bahwa
perdagangan domestik tidak dapat membuat negara lebih makmur, karena perolehan
logam mulia dari seorang warga negara adalah sama dengan hilangnya logam mulia
dari warga negara yang lain. Dengan meningkatkan persedian uang domestik
sebagai hasil dari surplus perdagangan ternyata dapat juga memunculkan bahaya
karena orang akan terpancing untuk membeli lebih banyak barang-barang mewah.
Hal ini menyebabkan harga barang dalam negeri akan naik dan pada akhirnya akan
mengurangi ekspor karena barang-barang yang diproduksi di dalam negeri
akan terlalu mahal bila dijual di luar negeri. Konsekuensi ini bisa dihindari
yaitu dengan melakukan investasi kembali. Reinvestasi ini akan menciptakan
lebih banyak barang untuk diekspor. Thomas Mun mengakui bahwa betapa pentingnya
investasi modal dan Ia memandang keseimbangan perdagangan merupakan sebuah cara
untuk mengumpulkan modal produktif.
Ajaran
merkantilisme dominan sekali diajarkan di seluruh sekolah Eropa pada awal
periode modern (dari abad ke-15 sampai ke-18, era dimana kesadaran bernegara
sudah mulai timbul). Peristiwa ini memicu, untuk pertama kalinya, intervensi
suatu negara dalam mengatur perekonomiannya yang akhirnya pada zaman ini pula
sistem kapitalisme mulai
lahir. Kebutuhan akan pasar yang diajarkan oleh teori merkantilisme akhirnya
mendorong terjadinya banyak peperangan dikalangan negara Eropa dan era
imperialisme Eropa akhirnya dimulai. Sistem ekonomi merkantilisme mulai
menghilang pada akhir abad ke-18, seiring dengan munculnya teori ekonomi baru
yang diajukan oleh Adam Smith dalam
bukunya The Wealth of Nations, ketika sistem ekonomi baru
diadopsi oleh Inggris, yang notabene saat itu adalah negara industri terbesar
di dunia.
b. Kolonialisme
Merkantilis
merupakan model kebijakan ekonomi dengan campur tangan pemerintah yang dominan,
proteksionisme serta politik kolonial, ditujukan dengan neraca perdagangan luar
negeri yang menguntungkan. Kebijakan ekonomi lebih bersifat makro, hal ini
berhubungan dengan tujuan proteksi industri di dalam negeri, dan menjaga
rencana perdagangan yang menguntungkan, hal ini dilakukan dalam usaha
meningkatkan peranannya dalam perdagangan internasional dan perluasan-perluasan
kolonialisme, yang mana Kolonialisme sendiri merupakan suatu sistem dimana
suatu negara menguasai rakyat dan sumber daya negara lain tetapi masih tetap
berhubungan dengan negeri asal dan tujuannya untuk menguras sumber-sumber
kekayaan daerah koloni demi perkembangan industri dan memenuhi kekayaan negara
yang melaksanakan politik kolonial tersebut. Pada zaman kolonialisme ini
akumulasi modal yang terkonsentrasi di Eropa (Inggris) didistribusikan ke
penjuru dunia, yang menghadirkan segenap kemiskinan di wilayah jajahannya.
Kelahiran
kapitalisme dimasa merkantilisme dan kolonialisme dibidani oleh tiga tokoh
besar, yaitu Martin Luther yang memberi dasar-dasar teosofik, Benjamin Franklin
yang memberi dasar-dasar filosofik dan Adam Smith yang memberikan dasar-dasar
ekonominya. Martin Luther yang memberi dasar-dasar teosofik adalah seorang
Jerman yang melakukan gerakan monumentalnya, 31 Oktober 1571 dengan menempelkan
tulisan protesnya di seluruh penjuru Roma. Ia tidak menerima kenyataan praktik
pengampunan dosa yang diberlakukan Gereja Roma. Kemudian ia meletakkan ajaran
dasarnya, yaitu: “Manusia menurut kodratnya menjadi suram karena dosa-dosanya
dan semata-mata lewat perbuatan dan karya yang lebih baik saja mereka dapat
menyelamatkan dirinya dari kutukan abadi”. Sedangkan bagi Benjamin Franklin
yang memberi dasar-dasar filosofik, mengajak orang untuk bekerja keras
mengakumulasi modal atas usahanya sendiri. Kemudian Franklin mengamanatkan
“Waktu adalah Uang”. Bagi Adam Smith yang memberikan dasar-dasar ekonominya dan
tarcantum dalam buku An Inquiry into The Nature and Causes of The Wealth
Nations, Adam Smith lebih mengkongkretkan spirit kapitalismenya dalam sebuah
konsep sebagai mekanisme pasar. Basis folologisnya adalah laissez-faire,
laissez-passer. Ia mengatakan bahwa barang langka akan menyebabkan harga barang
tersebut menjadi mahal sehingga menjadi sulit didapatkan terutama oleh mereka
yang berpenghasilan rendah. Tetapi menurut Smith bahwa yang harus dilihat
adalah perilaku produsen. Ketika harga barang mahal, maka keuntungan akan
meningkat. Ketika keuntungan yang dijanjikan atas barang tersebut tinggi, maka
banyak produsen yang memproduksinya. Sehingga dengan demikian kelangkaan barang
tersebut akan terpenuhi dan menjadi murah dan kebutuhan masyarakat akan
terpenuhi. Sehingga masalah yang terjadi di masyarakat akan diselesaikan oleh
the invisible hands.
b. Kapitalisme
Klasik
a. Revolusi
Industri
Pada fase
ini terjadi pergeseran perilaku para kapitalis yang semula hanya perdagangan
publik, ke wilayah yang mempunyai jangkauan lebih luas yaitu industri. Pada
masa Revolusi Industri yaitu merupakan perubahan radiakal struktur masyarakat
agraris ke industri serta perubahan penggunaan sarana produksi dari tenaga
manusia ke tenaga mesin. Transformasi dari dominasi modal perdagangan ke
dominasi modal industri yang seperti itu merupakan ciri Revolusi Industri di
Inggris. Perubahan dalam cara menentukan pilihan tekhnologi dan cara
berorganisasi berhasil memindahkan industri dari pedesaan ke sentra-sentra
perdagangan lama di perkotaan selama Revolusi Industri. Akumulasi kapital yang
terus menerus membengkak selama dua atau tiga abad mulai menunjukkan hasil yang
baik pada abad 18. Penerapan praktis dari ilmu pengetahuan teknis yang tumbuh
selama berabad-abad dapat sedikit demi sedikit dilakukan. Kapitalisme mulai
menjadi penggerak bagi perubahan teknologi karena akumulasi modal memungkinkan
penggunaan berbagai inovasi.
Tepat pada
fase ini kapitalisme mulai meletakkan dasarnya yaitu laissez-faire,
laissez-passer sebagai doktrin mutlak Adam Smith. Dillar menerangkan bahwa
perkembangan kapitalisme pada fase kedua ini semata-mata menggunakan
argumentasi ekonomis. Perkembangan ini tentu saja menjadi parameter
keberhasilan bagi kaum borjuis dalam struktur sosial masyarakat. Kesuksesan
ekonomis berimbas pada kesuksesan di bidang politik, yaitu hubungan antara
kapitalis dan Negara. Proses ini menguntungkan kapitalisme terutama dalam
penentuan gaya eksplorasi, eksploitasi dan perluasan daerah kekuasaan sebagai
lahan distribusi produksi. Periode kapitalisme klasik erat kaitannya dengan
karya Adam Smith An Inquiry into The Nature and Causes of The Wealth Nations
(1776) melalaui karya ini terdapat analisa bahwa kapitalisme kuno sudah
berakhir dan bergeser menjadi kapitalisme klasik.
c. Kapitalisme
Lanjut
Kapitalisme
lanjut dijelaskan mulai berkembang sejak abad 19, tepatnya tahun 1914, Perang
Dunia I sebagai momentum utama. Abad 20 ditandai oleh perkembangan kapitalisme
yang sudah tidak lagi bisa disebut sebagai kapitalisme tradisional. Kapitalisme
fase lanjut sebagai peristiwa penting ini ditandai paling tidak oleh tiga
momentum. Pertama, pergeseran dominasi modal dari Eropa ke Amerika. Kedua,
bangkitnya kesadaran bangsa-bangsa di Asia dan Afrika terhadap kolonialisme
Eropa sebagai ekses dari kapitalisme klasik, yang kemudian memanifestasikan
kesadaran itu dengan perlawanan. Ketiga, Revolusi Bolzhevik Rusia yang
berhasrat meluluhlantakkan institusi fundamental kapitalisme yang berupa
pemilikan kapital secara individu atas penguasaan sarana produksi, struktur
kelas sosial, bentuk pemerintahan dan kemapanan agama. Dari sana kemudian
muncul ideologi tandingan, yaitu komunisme.
Kapitalisme
abad 20 berhasil tampil meliuk-liuk dengan performance yang selalu bergerak
mengadaptasikan kebutuhan umat manusia pada zaman dan situasi lingkungannya.
Fleksibilitas ini sukses membawa kapitalisme sebagai akhir ideologi (The End of
Ideology) yang mengantarkan umat manusia tidak hanya menuju gerbang yang penuh
pesona ekstasi melainkan juga pada gerbang yang berpeluang besar untuk
kehancuran umat manusia. Produk lain yang ditunjukkan oleh kapitalisme lanjut
adalah sedemikian menjamurnya korporasi-korporasi modern. Korporasi sudah tidak
lagi bergerak di bidang industri manufaktur, melainkan jasa dan informasi. Ia
berusaha mendominasi dunia dengan kecanggihan tekhnologi serta orientasi
menghadapi ekonomi global. Ia lazim berbentuk MNC/TNC (MultiNational
Corporation/Trans National Corporation). Kehadirannya semakin mempertegas bahwa
pelaku aktifitas ekonomi sesungguhnya bukanlah institusi Negara, melainkan para
pengusaha bermodal besar. Sebab hanya dengan modal mereka bisa melakukan
kegiatan ekonomi apa dan di mana saja.
Dengan
semakin pentingnya modal, peranan Negara menjadi tereduksi, tapi juga hilang
sama sekali. Negara hanya sekedar menjadi aktor pelengkap (Complement Actor)
saja dalam percaturan ekonomi dunia, meski dalam beberapa kasus peran Negara
tetap dibutuhkan sebagai fasilitator untuk mendukung roda ekonomi yang sedang
diputar kapitalis. Inilah yang dinubuat Galbraith dengan mengatakan bahwa
korporasi modern menerapkan kekuasaan melalui pemerintahan. Para kapitalis ini
tetap membutuhkan keterlibatan Negara untuk memfasilitasi setiap produk yang
dipasarkan. Hubungan simbiosis mutualisme ini selanjutnya menjadi karakter dasar
dari kapitalisme lanjut. Peristiwa ini menyebabkan para pakar menyebut bahwa
kapitalisme lanjut adalah kapitalisme monopoli atau kapitalisme kroni (crony
capitalism).
Sementara
menurut pandangan Clauss Offe dalam Habermas, sejauh kegiatan Negara diarahkan pada
stabilitas dan pertumbuhan ekonomi, politik selalu menampilkan sifat negatif
yang khas. Politik diarahkan untuk mengatasi disfungsionalitas dan menghindari
resiko-resiko yang membahayakan sistem. Politik tidak diupayakan untuk
merealisasikan tujuan-tujuan, melainkan pada pemecahan masalah-masalah teknis.
Kegiatan Negara dibatasi hanya pada persoalan-persoalan teknis yang bisa
dipecahkan secara administratif sehingga dimensi praksisnya hilang. Hubungan
faktor politik-kapitalis dengan melakukan kolaborasi adalah cara pandang
Keynes, dan persoalan itu susah untuk dihindarkan. Keynes sangat tertarik pada
keseluruhan adegan sosial dan politik yang diproduksi secara bersamaan. Ia
memandang teori ekonomi sebagai suatu alat kebijakan politik. Ia membelokkan apa
yang disebut metode ilmu ekonomi klasik yang bebas nilai untuk melayani tujuan
dan target mental, dan untuk itu ia membuat ilmu ekonomi menjadi persoalan
politik dengan cara yang berbeda.
Akumulasi
modal sekarang tidak sekedar menjadi kebiasaan. Ia telah menjadi sebuah hukum,
di balik nuansa ini, tersimpan keniscayaan akan adanya alienasi bagi mereka,
para kelompok mayoritas seperti buruh, petani dan perempuan. Kita menyadari
bahwa kapitalisme model baru menyimpan keniscayaan atas penindasan kelompok mayoritas.
Segitiga konspirasi ala O’Donnel sampai hari ini masih relevan dalam
menjelaskan mekanisme ketertindasan struktural rakyat. Secara empiris
konspirasi itu dapat dilihat dari bagaimana kebijakan-kebijakan Negara
terbentuk atas pengaruh kepentingan TNC. Tiga pilar neo klasik, TNC/MNC, World
Bank/IMF, dan WTO berjalan linier, sevisi, setujuan menuju kepentingan yang
sama, yakni liberalisasi pasar. Di samping itu ketiga institusi itu adalah
kekuatan terbesar dunia abad ini. Sehingga kita tidak pernah menemukan
kebijakan internasional yang tanpa memuat kepentingan ketiganya. Kita memang
bisa menyadari bahwa kapitalisme lanjut tidak hanya dipahami sesederhana itu.
Jika hujatan terpedas hari ini pada kapitalisme diserangkan oleh kelompok Marx
dengan asumsi konflik kelas, sesungguhnya saat ini kita juga menyaksikan
bagaimana kapitalisme menghadapinya dengan dada terbuka. Cita-cita Marx yang
tertuang dalam kata-kata msayarakat tanpa kelas, justru secara mengejutkan,
bukan terjadi dalam masyarakat komunisme, melainkan dalam masyarakat
kapitalisme. Konsep pilihan publik (public choice) yang mencoba mengagregasikan
kebutuhan-kebutuhan individu berhadapan dengan Negara, justru pada akhirnya
mampu menciptakan masyarakat tanpa kelas. Maka pada saat kapitalisme, dalam kaitannya
dengan Negara, mampu memelihara Negara dengan mengupayakan reinventing
government, bukan barang mustahil apabila masyarakat tanpa kelas adalah milik
kapitalisme, bukan komunisme. Masyarakat tanpa kelas ternyata gagal
dipraktekkan oleh komunisme. Barangkali inilah yang disebut sebagai akhir
sejarah itu, threshold capitalism.
a. Developmentalisme
Globalisasi
kegiatan ekonomi dan persoalan pengelolaannya sering dianggap baru muncul
setelah Perang Dunia II, khususnya pada tahun 1960-an. Masa sesudah tahun
1960-an adalah masa munculnya perusahaan multinasional (MNC) dan berkembangnya
perdagangan internasional. Kemudian, setelah sistem nilai tukar setengah-tetap
Bretton Woods ditinggalkan pada tahun 1971-1973, investasi dalam bentuk
surat-surat berharga internasional dan pemberian kredit oleh bank mulai
berkembang dengan cepat, seiring dengan meluasnya pasar modal ke seluruh dunia,
yang menambah rumit hubungan ekonomi internasional dan membuka jalan bagi
globalisasi ekonomi dunia yang terintegrasi dan saling tergantung.
Pada fase
pasca PD II, strategi ekonomi politik yang dilancarkan oleh AS dan para
sekutunya adalah strategi Developmentalisme yang arinya paham akan pembangunan,
untuk mengamankan investasi modalnya, kapitalisme internasional memberikan
dukungan bagi orang-orang kuat di sejumlah negara dunia ketiga yang berasal
dari jajaran militernya. Di Amerika Latin kita jumpai sejumlah regime yang
dipimpin oleh militer (otoriter), di Asia Tenggara dan Selatan juga dijumpai
regime otoriter yang kebanyakan dipimpin oleh militer. Militer pada zaman ini
adalah anak emas yang dibesarkan oleh kapitalisme dengan tujuan mengamankan
investasi modal. Pada fase ini (1960-1970-an) dekolonialisasi ditawarkan pada
sejumlah Negara-negara jajahan Eropa Barat dan Amerika Serikat di Asia, Afrika
dan Pasifik serta sebagian Negara-negara Amerika Latin. Akhirnya, globalisasi
adalah bentuk baru hegemoni ekonomi, legitimasi baru terhadap pasar, kompetisi
dan profit. Setelah dekolonisasi dan runtuhnya blok sosialis, globalisasi menjadi
bentuk baru hegemoni atas nama pasar bebas, revolusi informasi, dunia sebagai
satu dunia dan lain sebagainya. Akhir sejarah juga merupakan legitimasi baru
kapitalisme setelah runtuhnya komunisme, seolah-olah sejarah berhenti dan
waktunya habis. Revolusi informasi merupakan dalih baru untuk menyatukan dunia
atas nama tekhnologi komunikasi baru, dunia sebagai satu desa dan hukum pasar.
b. Globalisasi
Globalisasi
adalah suatu proses yang menempatkan masyarakat dalam saling keterhubungan
dalam bidang ekonomi, sosial, politik, dan budaya. Paham yang demikian itu
disebut globalisasi atau neo-liberalisme. Beberapa faktor pendorong globalisasi
yaitu: Pertama, kekuatan kaum kapitalis internasional, yaitu Negara-negara
imperialis pusat, Negara menjadi motor penggerak globalisasi karena ia memiliki
kekuasaan dalam mengatur formulasi strategis globalisasi, alokasi sumber daya
ekonomi pada aktor-aktor global termasuk MNC. MNC yang mampu beroperasi hampir
di seluruh dunia, dan merupakan sumber kekuatan dari globalisasi itu sendiri
dikemudian hari yang pada akhirnya peran MNC dalam dinamika globalisasi ini
begitu kuatnya seolah-olah MNC telah menjadi parasit yang memakan induk
semangnya dan menjadi lebih kuat dan lebih besar. Kekuatannya ini didukung oleh
Bretton Woods Institution, yaitu: Bank Dunia (World Bank, Dana Moneter
Internasional (IMF) dan GATT/WTO kemudian diaplikasikan pada tiga sistem yaitu
liberalisasi perdagangan, keuangan, investasi. Kedua, perkembangan ilmu
pengetahuan dan tekhnologi, khususnya di bidang telekomunikasi. Ketiga,
dukungan pemerintah Negara-negara sedang berkembang (NSB) terhadap ekspansi
kaum kapitalis internasional di Negara mereka.
Dampak
perkembangan konstelasi politik-ekonomi internasional adalah efek globalisasi
yang telah masuk ke segala sendi kehidupan manusia di dunia internasional.
Dampak dari perkembangan ilmu pengetahuan telah timbul berbagai masalah.
Ternyata perkembangan ilmu pengetahuan tidak mampu mengatasi, jurang yang besar
antara Negara kaya dan miskin, masyarakat marginal, kelaparan, kemiskinan
internasional, dan masalah perkembangan indigeneous technology di dunia ketiga.
Jelaslah bahwa perkembangan ilmu pengetahuan, dinamik yang menguasai
jurusan-jurusan pertumbuhannya serta pilihan-pilihan masalahnya seperti juga
tekhnologi, tidak berdiri sendiri, merupakan bagian dari sistem sosial, lengkap
dengan tujuan-tujuan, kepentingan, prioritas, serta sistem nilainya. Oleh
karena itu pilihan tekhnologi tidak boleh diambil hanya berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan mengenai implikasi sosialnya.
Dalam hal
ini ilmu pengetahuan dalam bidang tekhnologi informasi memberikan pengaruh yang
sangat besar dalam perkembangan globalisasi dan pada akhirnya menimbulkan
krisis di masyarakat kapitalisme. Untuk memberikan gambaran lebih jelas tentang
masyarakat kapitalisme, penulis paparkan lebih mendetail perihal relasi Negara,
globalisasi dan logika neo-liberalisme. Karena paham tersebut merupakan sebuah
ideologi sebagai dampak dari krisis kapitalisme. Dan tentunya seluruh sistem
sosial. Globalisasi yang diperjuangkan oleh aktor-aktor globalisasi yakni
perusahaan-perusahaan transnasional (TNC, Trans-National Corporations) dan Bank
Dunia/IMF melalui kesepakatan yang dibuat di World Trade Organization (WTO,
Organisasi Perdagangan Dunia) sesungguhnya dilandaskan pada suatu ideologi yang
dikenal dengan sebutan “neo-liberlisme”. Neo-liberalisme pada dasarnya tidak
ada bedanya dengan liberalisme. Para penganut neo-liberlisme percaya bahwa
pertumbuhan ekonomi adalah hasil normal “kompetisi bebas”. Mereka percaya bahwa
‘pasar bebas” itu efisien, dan cara yang tepat untuk mengalokasikan sumberdaya
alam yang langka untuk memenuhi kebutuhan manusia. Harga barang dan jasa
menjadi indikator apakah sumberdaya telah habis atau masih banyak. Kalau harga
murah, berarti persediaan memadai. Harga mahal artinya produksinya mulai
langka. Harga tinggi maka orang akan menanam modal ke sana. Oleh sebab itu,
harga menjadi tanda apa yang harus diproduksi. Itulah alasan mengapa
neo-liberalisme tidak ingin pemerintah ikut campur tangan dalam ekonomi.
“Serahkan saja pada mekanisme dan hukum pasar”, demikian keyakinan mereka.
Keputusan individual atas interes pribadi diharapkan mendapat bimbingan dari
invisible hand (tangan yang tidak tampak), sehingga masyarakat akan mendapat
berkah dari ribuan keputusan individual tersebut. Kekayaan yang dikuasai oleh
segelintir orang tersebut pada akhirnya akan trickle down (menetes ke bawah)
kepada anggota masyarakat yang lain. Oleh karena itu sedikit orang tersebut
perlu difasilitasi dan dilindungi. Kalau perlu jangan dipajaki. Krisis
berkepanjangan yang menimpa kapitalisme awal abad 19, yang berdampak depresi
ekonomi 1930-an berakibat tenggelamnya paham liberalisme. Pendulum beralih
memperbesar pemerintah sejak Roosevelt dengan “New Deal” tahun 1935. Tetapi
dalam perjalanan kapitalisme, di akhir abad 20 pertumbuhan dan akumulasi
kapital menjadi lambat. Kapitalisme memerlukan strategi baru untuk mempercepat
pertumbuhan dan akumulasi kapital. Strategi yang ditempuh adalah menyingkirkan
segenap rintangan investasi dan pasar bebas, dengan memberlakukan perlindungan
hak milik intelektual, good governance (pemerintahan yang baik), penghapusan
subsidi dan program proteksi rakyat, deregulasi, penguatan civil society,
program anti-korupsi, dan lain sebagainya. Untuk itu diperlukan suatu tatanan
perdagangan global, dan sejak itulah gagasan globalisasi dimunculkan. Dengan
demikian globalisasi pada dasarnya berpijak pada kebangkitan kembali paham
liberalisme, suatu paham yang dikenal sebagai neo-liberalisme. Neo-liberalisme
sesungguhnya ditandai dengan kebijakan pasar bebas, yang mendorong perusahaan
swasta dan pilihan konsumen, penghargaan atas tanggungjawab personal dan
inisiatif kewiraswastaan, serta menyingkirkan birokrat dan “parasit”
pemerintah, yang tidak akan pernah mampu meskipun dikembangkan. Aturan dasar
kaum neo-liberal adalah “Liberalisasikan perdagangan dan keuangan”, “Biarkan
pasar menentukan harga”, “Akhiri inflasi, Stabilisasi ekonomi-makro, dan
privatisasi”, “Pemerintah harus menyingkir dari menghalangi jalan”. Paham
inilah yang saat ini mengglobal dengan mengembangkan “consensus” yang
dipaksakan yang dikenal dengan “Globalisasi”, sehingga terciptalah suatu tata
dunia. Arsitek tata dunia ini ditetapkan dalam apa yang dikenal “The
Neo-Liberal Washington Consensus”, yang terdiri dari para pembela ekonomi
swasta terutama wakil dari perusahaan-perusahaan besar yang mengontrol dan
menguasai ekonomi internasional dan memiliki kekuasaan untuk mendominasi
informasi kebijakan dalam membentuk opini publik.
Pokok-pokok
pendirian neo-liberal meliputi, pertama, bebaskan perusahaan swasta dari campur
tangan pemerintah, misalnya jauhkan pemerintah dari campur tangan di bidang
perburuhan, investasi, harga serta biarkan perusahaan itu mangatur diri sendiri
untuk tumbuh dengan menyediakan kawasan pertumbuhan. Kedua, hentikan subsidi
Negara kepada rakyat karena bertentangan dengan prinsip pasar dan persaingan
bebas. Negara harus melakukan swastanisasi semua perusahaan Negara, karena
perusahaan Negara dibuat untuk melaksanakan subsidi Negara pada rakyat. Ini
juga menghambat persaingan bebas. Ketiga, hapuskan ideologi “kesejahteraan
bersama” dan pemilikan komunal seperti yang masih banyak dianut oleh masyarakat
“tradisional” karena menghalangi pertumbuhan. Serahkan manajemen sumberdaya
alam kepada ahlinya, bukan kepada masyarakat “tradisional” (sebutan bagi
masyarakat adaptif) yang tidak mampu mengelola sumberdaya alam secara efisien
dan efektif.
2.3
Perkembangan Kapitalisme di Indonesia
Sejarah Indonesia dan perubahan-perubahan
sosial di dalamnya tidak dapat dipahami sepenuhnya tanpa melihat ke dalam
perubahan-perubahan ekonomi yang telah dilaluinya di setiap tahapan. Sejarah
Indonesia adalah satu sejarah yang terhubungkan secara dekat dengan
perkembangan kapitalisme semenjak kelahirannya di abad ke-16. Oleh karena itu,
untuk memahami kapitalisme di Indonesia sekarang ini, kita harus kembali sejauh
jaman kolonial Belanda. Secara umum, kita dapat membagi tahapan sejarah
Indonesia seperti berikut: koloni Belanda (1600-1945), perjuangan kemerdekaan
(1945-1949), Orde Lama (1949-1965), Orde Baru (1965-1998), dan Reformasi 1998
dan sesudahnya (1998-sekarang).
Sampai awal abad ke-20, tidak ada
yang namanya Indonesia seperti dalam pengertian sekarang. Yang ada adalah
sekelompok pulau antara sub-benua India dan Australia yang tersatukan secara
longgar oleh ikatan kolonialisme Belanda. Kata “Indonesia” pertama kali
digunakan sekitar tahun 1850 oleh para peneliti Inggris yang menganjurkan
penggunaannya sebagai penamaan geografi, dan bukan sebagai rujukan
bangsa-negara. Hanya pada awal tahun 1920an nama Indonesia mendapatkan arti
politik. Sebelumnya, seluruh daerah yang mencakup Indonesia masa kini disebut
sebagai Hindia Timur Belanda.
Semenjak penjajahan Belanda terhadap
Indonesia, nasib Indonesia telah terhubungkan dengan perkembangan kapitalisme
dunia. Oleh karena itu kita perlu menggunakan periode ini sebagai titik tolak
analisa kita. 350 tahun kekuasaan Belanda atas Indonesia dapat dibagi menjadi
tahapan-tahapan ekonomi sebagai berikut:
a. Periode V.O.C (1600-1800)
b. Periode “Kekacauan” dan
“Ketidakpastian” (1800-1830)
c. Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) (1830-1870)
d. Periode Liberal (1870-1900)
e. Tahun-tahun Etis (1900-1930)
f. Depresi Hebat (1930-1940)
Tahapan-tahapan ini bersesuaian
dengan perubahan-perubahan administratif, sosial, dan politik di Indonesia,
Belanda, dan seluruh dunia. Oleh karena itu mustahil untuk mempelajari
perkembangan ekonomi dan politik Indonesia terpisah dari Belanda dan Eropa.
Pecahnya revolusi di Eropa (Pemberontakan Belanda, Revolusi Inggris, Revolusi
Prancis, dan lalu Revolusi Rusia) mengubah jalannya sejarah di Indonesia.
Sejarah kolonialisme di Indonesia
adalah sejarah eksploitasi kapitalis imperialis. Bahkan yang lebih penting
untuk dimengerti adalah bahwa penjajahan di Indonesia adalah yang pertama kali
dilakukan oleh kaum borjuasi. Tidak dikenal dan dilupakan oleh kebanyakan kaum
Marxis, revolusi borjuis yang pertama terjadi di Belanda dan bukan Inggris.
Pemberontakan Belanda pada abad ke 16 (1568-1609) mungkin adalah revolusi
borjuis “klasik” yang paling terabaikan.
Kapitalisme
yang terus bertumbuh di Indonesia ini, tidak lepas dari pengaruh kolonialisme
Belanda. Kedatangan VOC sampai pada masa diberlakukannya sistem tanam paksa
merupakan akar dari kapitalisme di Indonesia. Kekejaman sistem tanam paksa yang
dilakukan Belanda merupakan bentuk dari praktik kapitalisme, yakni Belanda yang
memeras kekayaan pribumi demi memenuhi kepentingan pemeritahannya pada saat
itu. Keadaan yang demikian disebut sebagai politik perampok bangsa Belanda.
Politik tersebut pula yang kemudian memusnahkan benih-benih industri bumiputera
modern (Malaka, 2008: 49). Setelah sistem tanam paksa dihapuskan dan setelah
kemerdekaan, kapitalisme di Indonesia berkembang dengan bentuk imperialisme
baru. Modal-modal asing mulai masuk ke Indonesia pada masa Orde Baru, yang
setelah beberapa waktu menimbulkan kesenjangan antara masyarakat yang memiliki
modal dengan yang tidak memiliki modal. Meskipun perkembangan pembangunan dan
ekonomi Indonesia semakin maju, banyak dampak negatif yang bahkan dapat
dirasakan sampai sekarang. Di antaranya kesenjangan kelas-kelas sosial dan efek
penyelewengan yang dilakukan oleh Soeharto. Banyaknya modal yang masuk membuat
Soeharto memakai uang tersebut bukan lagi untuk rakyat melainkan untuk
kepentingannya sendiri. Pemikiran kolonialisme yang hanya menguntungkan
pihak-pihak tertentu dan memiskinkan pihak-pihak yang lain mencerminkan
dipengaruhinya kapitalisme Indonesia oleh kolonialisme Belanda.
Kemerdekaan
yang diperoleh bangsa Indonesia tak lantas membuat kapitalisme di Indonesia
hilang. Pada masa kemerdekaan dan pada masa Orde Lama, ekonomi Indonesia lemah.
Oleh sebab itu, pada masa Orde Baru, Presiden Soeharto dengan rezimnya
menerapkan kebijakan-kebijakan yang ditujukan untuk pembangunan nasional dan
kesejahteraan ekonomi. Dalam praktiknya, rezim Soeharto membuat kapitalisme di
Indonesia semakin kuat. Pembangunan besar-besaran membuat para investor asing
tertarik untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Tatanan Orde Baru di bawah
pimpinan Presiden Soeharto mencerminkan suatu bentuk pemerintahan oligarki yang
menempatkan golongan-golongan dengan power yang kuat atau penguasa sebagai
pengambil keuntungan untuk memenuhi kepentingannya (Robinson & Hadiz, 2004:
42-3). Dalam KTT APEC di Bogor tahun 1994, Presiden Soeharto menyatakan bahwa
siap atau tidak siap, Indonesia akan memasuki perdagangan bebas. Momentum
inilah yang menjadi cikal bakal perdagangan bebas di Indonesia hingga kini.
Para investor asing yang membanjiri pasar usaha Indonesia semakin mendesak para
investor pribumi. Persaingan serta sistem pemerintahan oligarki menjadi sebab
terjadinya krisis ekonomi dan inflasi di tahun 1997-1998, hingga akhirnya
Presiden Soeharto mundur dari jabatannya (Pusat Penelitian Politik, 2009),
meninggalkan jejak-jejak kapitalisme di Indonesia.
Sampai
saat ini, kapitalisme masih terus berkembang di Indonesia. Kekayaan sumber daya
Indonesia masih dieksploitasi oleh negara-negara lain. Selain itu, terdapat
banyak fenomena yang menggambarkan bahwa kapitalisme masih eksis di Indonesia,
di antaranya banyak pemilik modal yang mengeruk kekayaan untuk kepentingannya
sendiri sehingga menyebabkan kesenjangan yang semakin besar antara kelas-kelas
sosial yang ada. Penulis menyimpulkan bahwa pada awalnya, struktur kapital di
Indonesia masih prematur atau rentan. Seiring berjalannya waktu, serta dengan
pengaruh yang datang dari luar maupun dalam Indonesia, kapitalisme terus
berkembang, bahkan sampai saat ini. Salah satu faktor yang memengaruhi
berkembangnya pemikiran dan praktik kapitalisme adalah ‘contoh’ yang dapat kita
lihat pada masa penjajahan Belanda. Menurut penulis, perkembangan kapitalisme
pada zaman modern ini juga terjadi karena pengaruh neoliberalisme yang semakin
kuat. Gencarnya pasar bebas dan masalah Freeport adalah beberapa contoh semakin
berkuasanya modal asing di Indonesia.
2.4 Pro
(setuju) terhadap Kapitalisme
Setuju
terhadap Kapitalisme yaitu: Pertama, daya adaptasi dan transformasi kapitalisme
yang sangat tinggi, sehingga ia mampu menyerap dan memodifikasi setiap kritik
dan rintangan untuk memperkuat eksistensinya. Sebagai contoh, bagaimana ancaman
pemberontakan kaum buruh yang diramalkan Marx tidak terwujud, karena di satu
sisi, kaum buruh mengalami pembekuan kesadaran kritis (reifikasi), dan di lain
sisi, kelas borjuasi kapital melalui negara memberikan "kebaikan
hati" kepada kaum buruh dengan konsep "welfare state". Pada
gilirannya, kaum kapitalis memperoleh persetujuan (consent) untuk mendominasi
masyarakat melalui apa yang disebut Gramsci sebagai hegemoni ekonomi, politik,
budaya; atau seperti yang disebutkan Heilbroner bahwa rezim kapital memiliki
kemampuan untuk memperoleh kepatuhan massa dengan memunculkan
"patriotisme" ekonomik.
Kedua,
berkaitan dengan yang pertama, tingginya kemampuan adaptasi kapitalisme dapat
dilacak kepada waktu inheren pada hakekat kapitalisme, yaitu dorongan untuk
berkuasa dan perwujudan diri melalui kekayaan. Atas dasar itulah diantaranya,
maka Peter Berger dalam Revolusi Kapitalis (1990) berani bertaruh bahwa masa
depan ekonomi dunia berada dalam genggaman kapitalisme.
Ketiga,
kreativitas budaya kapitalisme dan kapasitasnya menyerap ide-ide serta
toleransi terhadap berbagai pemikiran. Menurut Rand, kebebasan dan hak individu
memberi ruang gerak manusia dalam berinovasi dan berkarya demi tercapainya
keberlangsungan hidup dan kebahagiaan. Dengan dasar pemikiran ini, Bernard
Murchland dalam Humanisme dan Kapitalisme (1992) dengan penuh keyakinan menaruh
harapan bahwa kapitalisme demokratis adalah humanisme yang dapat menyelamatkan
peradaban manusia di masa depan.
Kebaikan system kapitalis bagi Indonesia adalah memungkinkan
Indonesia untuk mendapatkan suntikan dana investasi dari Negara kapitalis.
Investasi ini sangat menguntungkan karena kita secara financial tidak dirugikan
oleh investasi para kapitalis ini, jadi mereka memberikan uang (investasi)
untuk dikelola oleh kita. Kalo ternyata kita bisa menggunakan uang tersebut
dengan baik dan memperoleh laba, kita bagi-bagi uang labanya dengan si
kapitalis tersebut (bagi hasil).
Kalau ternyata kita merugi, artinya uang investasi habis tapi tidak mendapatkan
laba, maka si kapitalis akan menarik uangnya yang tersisa. Jadi sebenernya
dengan adanya kapitalis itu menanamkan investasi di Indonesia, kita punya
kesempatan gratis untuk membangun bisnis tanpa resiko.
BAB III PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Kapitalisme
berasal dari capital yang berarti
modal, dengan yang dimaksud modal adalah alat produksi seperti tanah, uang dan
lain sebagainya. Dan kata isme berarti suatu paham atau ajaran. Jadi arti
kapitalisme itu sendiri adalah suatu ajaran atau paham tentang modal atau segala
sesuatu dihargai dan diukur dengan uang paham kapitalisme ini meyakini
bahwa pemilik modal bisa melakukan usahanya untuk meraih keuntungan
sebesar-besarnya. Demi prinsip tersebut, maka pemerintah tidak dapat melakukan
intervensi pasar guna keuntungan bersama. Paham ini berazas atas pengembangan hak milik pribadi dan pemeliharaannya
serta perluasan faham kebebasan. Sehingga dalam prakteknya menciptakan
kesenjangnan social yang tinggi antara si kaya dan si miskin. Yang kaya semakin
kaya dan yang msikin semakin miskin.
Perjalan
sejarah kapitalisme tidak dapat dilepaskan dari bumi Eropa, tempat lahir dan
berkembangnya kapitalisme. Tahun 1648 (tahun tercapainya perjanjian Westphalia) dipandang sebagai tahun
lahirnya sistem negara modern. Perjanjian itu mengakhiri Perang Tiga Puluh
Tahun (antara Katholik dan Protestan di Eropa) dan menetapkan sistem negara
merdeka yang didasarkan pada konsep kedaulatan dan menolak ketundukan pada
otoritas politik Paus dan Gereja Katholik Roma (Papp, 1988: 17). Inilah awal munculnya
sekularisme. Sejak itu aturan
main kehidupan dilepaskan dari gereja (yang merupakan wakil Tuhan), dengan
anggapan bahwa negara itu sendiri yang paling tahu kebutuhan dan kepentingan
warganya sehingga negaralah yang layak membuat aturan untuk kehidupannya,
sementara Tuhan (agama) diakui keberadaannya tetapi dibatasi hanya di gereja
(hubungan manusia dengan Tuhannya).
DAFTAR PUSTAKA
Pusat Penelitian Politik, 2009. Seminar Intern: Kapitalisme
Modern: Antara Shareholder Capitalism dan Stakeholder Capitalism [online],
dalam
http://www.politik.lipi.go.id/in/kegiatan/215-seminar-intern-kapitalisme-modern-antara-shareholder-capitalism-dan-stakeholder-capitalism-antara-kapitalisme-pemegang-saham-dan-kapitalisme-pemangku-kepentingan-.html
[diakses pada 12 Mei 2014].
Robinson, Richard dan Hadiz, Vedi R., 2004. “The Genesis of
Oligarchy: Soeharto’s New Order 1965-1982”, dalam Reorganizing Power in
Indonesia: the Politics of Oligarchy in an Age of Markets. New York: Routledge
Curzon, pp. 40-68.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar