Kamis, 18 Desember 2014

MENGEMBANGKAN BERPIKIR SEJARAH (HISTORICAL THINKING) PADA PESERTA DIDIK DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH

 







MENGEMBANGKAN BERPIKIR SEJARAH (HISTORICAL THINKING) PADA PESERTA DIDIK DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Strategi Belajar Mengajar
Dosen Pengampuh Dr. Suranto, M.Pd






Oleh
EVIE EKA YULIATI (120210302105)
Kelas B

                                                                                                                   




PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2014



KATA PENGANTAR


Dengan mengucap puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya, tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada pembimbing yang telah bersedia membimbing kami dalam penyusunan makalah ini, sehingga penyusunan makalah dengan judul MENGEMBANGKAN BERPIKIR SEJARAH (HISTORICAL THINKING) PADA PESERTA DIDIK DALAM PEMBELAJARAN SEJARAHdapat berjalan dengan lancar tanpa ada halangan suatu apapun. Perencanaan, pelaksanaan dan penyelesaian makalah sebagai salah satu tugas matakuliah Strategi Belajar Mengajar.
Penulisan makalah ini berdasarkan literatur yang ada. Penyusun menyadari akan kemampuan yang sangat terbatas sehingga dalam penyusunan makalah ini banyak kekurangannya. Namun, makalah yang disajikan sedikit banyak bermanfaat bagi penyusun khususnya dan mahasiswa lain pada umumnya.
Penyusun juga menyadari penulisan makalah ini masih jauh dari sempurna, maka dengan hati terbuka penyusun menerima segala kritik dan saran yang sifatnya membangun demi kesempurnaan makalah tersebut.


Jember, Oktober 2014



Penulis




DAFTAR ISI

Halaman Judul ............................................................................................  i
Kata Pengantar ............................................................................................  ii
Daftar Isi .....................................................................................................  iii
BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................................  1
1.1 Latar Belakang....................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................  2
1.3 Tujuan ...................................................................................................  2
1.4 Manfaat .................................................................................................  3
BAB 2 PEMBAHASAN ...........................................................................  4
2.1 Definisi Berpikir Sejarah (Historical Thinking)...................................... 3
2.2 Mengembangkan Berpikir Sejarah pada Peseta Didik........................... 6
2.3 Cara Berpikir Dalam Sejarah .................................................................  10
BAB III PENUTUP ..................................................................................  13
3.1 Kesimpulan ...........................................................................................  13
3.2 Saran .....................................................................................................  14
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................  14






BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Pembelajaran sejarah di tingkat pendidikan dasar dan menengah yang telah berlangsung hingga kurikulum 1994 mengindikasikan suatu bentuk penyampaian informasi seputar fakta-fakta seperti siapa, kapan, dan di mana. Hal tersebut menyebabkan pembelajaran dalam mata pelajaran sejarah kurang diminati para peserta didik pada level yang dimaksud. Kurikulum Berbasis Kompetensi (2004) dan Kurikulum Standar Isi (2006) merupakan suatu perubahan paradigma yang mendasar dalam pola pembelajaran, khususnya pembelajaran sejarah. Kurikulum yang sebelumnya berbasis materi (content-base) berubah menjadi kurikulum yang berbasis kompetensi. Hal ini menyebabkan proses pembelajaran yang teacher-center berubah menjadi student-center yang merupakan active learning process. Sebagai pembanding dan penambah wawasan untuk kita selaku pihak yang paling berkepentingan dengan pendidikan sejarah, kiranya suatu hal yang positif untuk mencoba memahami perkembangan pendidikan sejarah di Amerika Serikat pada dekade akhir abad ke-20 yang lalu.
Pengembangan kurikulum merupakan proses pengembangan yang memperlihatkan bahwa pendidikan bersifat dinamis. Antisipasi terhadap perubahan di masyarakat adalah merupakan tugas dari pengembang kurikulum. Kurikulum yang dikembangkan biasanya mengacu kepada model yang sudah ada sebelumnya.
Untuk mata pelajaran sejarah di Amerika Serikat, National Center for History in Schools di University of California Los Angeles telah berupaya memenuhi tuntutan subject mater bidang sejarah dengan menghasilkan kurikulum standar untuk mata pelajaran sejarah yang dikenal dengan nama National Standards for History. Dalam hal ini, Gary B. Nash bersama Charlotte Crabtree dipercaya untuk memimpin sebuah tim yang terdiri atas para guru sejarah dan para ahli sejarah dari berbagai negara bagian di Amerika Serikat. Pada tahun 1994 akhirnya standar nasional sejarah pun dapat diselesaikan setelah melalui kerja keras tim yang pada awalnya dikemukakan oleh Presiden George Bush di tahun 1989 dalam sebuah konferensi kesejarahan tentang perlunya sebuah standar nasional mata pelajaran sejarah bagi warga Amerika Serikat.
Tumbuh kembangnya dukungan bagi mata pelajaran sejarah yang lebih baik, dimulai pada tingkatan-tingkatan atau pada kelas-kelas awal dari pendidikan dasar, adalah salah satu pertanda yang membanggakan pada dekade ini. Permasalahannya tidak sedikit, tetapi yang penting bagi masyarakat demokratis ini adalah “Pengetahuan Sejarah adalah prakondisi bagi kecerdasan berpolitik”. Tanpa sejarah, seseorang ataupun suatu bangsa tidak dapat mengidentifikasi dan memecahkan segala permasalahan-permasalahan sosial, politik, atau isu-isu moral di masyarakat, sehingga akan sulit berperan aktif dalam kehidupan bernegara yang demokratis seperti yang dicita-citakan.
Hal yang menarik dari standar nasional sejarah ini adalah diperkenalkannya dua konsep yang dikenal sebagai Historical Thinking dan Historical Understanding. Kedua konsep tersebut dijabarkan ke dalam serangkaian kemampuan standar minimal yang bersifat umum di dalam lingkup kesejarahan yang harus dikuasai oleh siswa sekolah pada setiap tingkatan di seluruh Amerika Serikat. Sedangkan untuk implementasinya diserahkan kepada kebebasan dan otoritas guru selaku pengelola kelasnya masing-masing.

1.2 Rumusan Masalah
1)      Bagaimanakah pengertian Berpikir Sejarah (Historical Thinking)?
2)      Bagaimanakah cara mengembangkan Berpikir Sejarah (Historical Thinking) pada peserta didik dalam pembelajaran Sejarah?
3)      Bagaimanakah Cara berpikir dalam Sejarah?

1.3 Tujuan
1)      Untuk mengetahui dan memahami pengertian Berpikir Sejarah (Historical Thinking).
2)      Untuk mengetahui dan memahamicara mengembangkan Berpikir Sejarah (Historical Thinking) pada peserta didik dalam pembeljaran Sejarah.
3)      Untuk mengetahui cara berpikir dalam sejarah.
1.3 Manfaat
Penulisan ini diharapkan bermanfaat bagi berbagai kalangan.
1.      Bagi Calon guru sejarah, penulisan ini dapat dijadikan sebagai masukan dalam menentukan cara pembelajaran sejarah dengan menerapkan Historical Thinking (berikir sejarah) kepada peserta didik.
2.      Bagi pembaca, makalah ini disusun untuk memberikan imformasi terkait bagaimana menerapkan cara berpikir sejarah dalam suatu pembelajaran.




BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Berpikir Sejarah ( Historical Thinking)
Sejarah adalah ilmu tentang asal-usul dan perkembangan masyarakat yang memiliki arti penting sebagai pengalaman masa lampaunya, sedangkan Pendidikan Sejarah merupakan suatu proses internalisasi nilai-nilai, pengetahuan dan keterampilan kesejarahan dari serangkaian peristiwa yang dirancang dan disusun sedemikian rupa untuk mempengaruhi dan mendukung terjadinya proses belajar peserta didik (Gagne dan Briggs, 1979).  Mata pelajaran Sejarah bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut;
a.       Mengembangkan pemahaman tentang diri sendiri, masyarakat, dan bangsanya.
b.      Mengembangkan rasa kebangsaan, cinta tanah air, dan penghargaan terhadap hasil dan prestasi bangsa.
c.       Membangun kesadaran peserta didik tentang pentingnya konsep waktu dan ruang dalam berfikir kesejarahan.
d.      Mengembangkan kemampuan berpikir sejarah (historical thinking), keterampilan sejarah (historical skills), dan wawasan terhadap isu sejarah (historical issues), serta menerapkan kemampuan, keterampilan dan wawasan tersebut dalam kehidupan masa kini
e.       Mengembangkan perilaku yang didasarkan pada  nilai dan  moral yang mencerminkan karakter diri, masyarakat dan bangsa. 
f.       Menanamkan sikap berorientasi kepada masa kini dan masa depan.
g.      Memahami dan mampu menangani isu-isu kontroversial untuk mengkaji permasalahan yang terjadi di lingkungan masyarakatnya. 
h.      Mengembangkan pemahaman internasional dalam menelaah fenomena aktual dan global. 
Siswa-siswa sekarang dari berbagai jenjang, lebih dari sebelumnya, membutuhkan juga pengertian komprehensif mengenai Sejarah Dunia, dan Masyarakat dari berbagai budaya dan peradaban yang telah mengembangkan ide-idenya, institusi-institusinya, serta pandangan hidup yang berbeda dengan yang dimiliki oleh para siswa. Sehingga para siswa dapat mengapresiasi perbedaan budaya- budaya di dunia, rasa kemanusiaan, dan permasalahan-permasalahan yang umum dialami manusia.
Dengan demikian, para siswa dapat melihat suatu permasalahan dari sudut pandang dan cara yang berbeda-beda, dan menyadari bahwa dengan mempelajari sejarah bangsa lain, maka pengertian mengenai segala hal yang menyangkut sejarah bangsa para siswa dapat diperkuat lagi. Historical Understanding mendasarkan pada suatu studi komparatif dalam sejarah dunia yang tidak mengharuskan adanya pembuktian atau pun pemberian ma’af atas segala tragedi yang terjadi masyarakatnya sendiri ataupun masyarakat lainnya, ataupun juga untuk mengingkari pentingnya pengujian kritis atas alternatif sistem-sistem nilai, dan dampaknya dalam mendukung atau menolak dasar-dasar Hak-Hak Asasi Manusia serta keragaman aspirasi semua orang.
Rangkaian pembelajaran ini secara langsung dan bersamaan memberikan kontrbusinya baik bagi pendidikan masyarakat sebagai warga maupun pendidikan individual sebagai pribadi. Memori kesejarahan merupakan kunci menuju identitas diri, untuk melihat posisi seseorang dalam suatu alur waktu, dan keterhubungan seseorang dengan seluruh umat manusia. Standar-standar dalam pembelajaran sejarah secara eksplisit mempunyai tujuan umum yang memberikan kesempatan bagi semua siswa untuk mencapai nya. Dalam sejarah, kemampuan standar yang harus dikuasai tersebut adalah sebagai berikut:
1. Historical Thinking Skills, kemampuan berpikir kesejarahan yang memungkinkan anak/siswa untuk membedakan masa lalu, masa sekarang, dan masa yang akan datang; membangun pertanyaan; mencari dan mengevaluasi bukti-bukti; membandingkan dan menganalisis kisah-kisah sejarah, ilustrasi-ilustrasi, dan catatan-catatan dari masa lalu; menginterpretasikan catatan-catatan sejarah; dan mengkonstruksinarsi sejarah menurut versi masing-masing siswa.atau anak.
2. Historical Understanding yang menetapkan bahwa siswa sebaiknya mengetahui sejarah keluarganya, komunitasnya, negara bagiannya, bangsa dan dunia. Pengertian-pengertian ini dilukiskan berdasarkan catatan-catatan mengenai aspirasi-aspirasi kemanusiaan, perjuangannya, prestas-prestasinya, dan kegagalan-kegagalannya dalam sedikitnya lima ranah kegiatan manusia, seperti sosial, poliltik ilmu dan teknologi, ekonomi, dan budaya (filosofi, religi, dan estetika) yang dinilai tepat bagi anak/siswa.

2.2 Mengembangkan Berpikir Sejarah (Historical Thinking) pada Peseta Didik
Historical Thinking Sejarah, jika dikembangkan dengan secara lengkap pada anak usia awal sekolah dapat membuka kesempatan yang sangat luas baginya untuk menganalisis dan membangun apresiasi terhadap seluruh bidang kehidupan manusia secara seutuhnya dan terutama dalam hal interaksi di antara sesama manusia. Untuk itu siswa dituntut untuk aktif bertanya dan belajar, serta bukan sekadar mendengarkan dan menyerap secara pasif segala pengetahuan seperti fakta-fakta, nama-nama, dan tanggal-tanggal. Secara nyata, historical understanding menuntut siswa untuk terlibat dalam pemecahan masalah sejarah, mendengar dan membaca cerita-cerita sejarah, bernarasi, dan berliteratur secara bermakna, berfikir dalam hubungan kausal, mewawancarai para pelaku sejarah dalam komunitasnya, menganalisis dokumen, foto, surat kabar yang bersejarah, catatan-catatan sejarah di museum dan situs kesejarahan, dan membangun garis waktu serta narasi masing-masing sejarahnya.
. Tumbuh kembangnya dukungan bagi mata pelajaran sejarah yang lebih baik, dimulai pada tingkatan-tingkatan atau pada kelas-kelas awal dari pendidikan dasar, adalah salah satu pertanda yang membanggakan pada dekade ini. Permasalahannya tidak sedikit, tetapi yang penting bagi masyarakat demokratis ini adalah “Pengetahuan Sejarah adalah prakondisi bagi kecerdasan berpolitik”. Tanpa sejarah, seseorang ataupun suatu bangsa tidak dapat mengidentifikasi dan memecahkan segala permasalahan-permasalahan sosial, politik, atau isu-isu moral di masyarakat, sehingga akan sulit berperan aktif dalam kehidupan bernegara yang demokratis seperti yang dicita-citakan.
Hal yang menarik dari standar nasional sejarah ini adalah diperkenalkannya dua konsep yang dikenal sebagai Historical Thinking dan Historical Understanding. Kedua konsep tersebut dijabarkan ke dalam serangkaian kemampuan standar minimal yang bersifat umum di dalam lingkup kesejarahan yang harus dikuasai oleh siswa sekolah pada setiap tingkatan di seluruh Amerika Serikat. Sedangkan untuk implementasinya diserahkan kepada kebebasan dan otoritas guru selaku pengelola kelasnya masing-masing.
Menurut Bettelheim (Nash, 1996:2) mempelajari sejarah adalah “rich food for their imagination, a sense of history, how the present situation come about”. Sejarah akan memperluas pengalaman siswa, seperti dikatakan oleh Phenix (Nash, 1996:2) “a sense of personal involvement in exemplary lives and significant events, an appreciation of values and vision of greatness”. Sejarah menghu bungkan siswa dengan “akarnya”, dan mengembangkan rasa memiliki (a sense of personal belonging). Agar dapat mencapai apa yang dikemukakan oleh Bettelheim maupun Phenix maka materi sejarah yang akan diberikan kepada siswa dikembangkan berdasarkan 2 (dua) landasan utama, yaitu:
a.       Pemahaman sejarah
Pemahaman kesejarahan didefinisikan sebagai apa yang harus diketahui oleh siswa tentang sejarah (keluarga, masyarakat, negara, dan dunia). Pemahaman ini digambarkan dari catatan (aspirasi, usaha, perlakuan, kegagalan) aktivitas manusia dalam aspek sosial, politik, sain dan teknologi, ekonomi dan budaya, yang diselaraskan dengan tingkat pemahaman siswa. Memperkenalkan sejarah, seperti sejarah keluarga, sejarah masyarakat, sejarah nasional, dan berbagai sejarah budaya bangsa-bangsa di dunia, akan mengantarkan mereka pada kehidupan, aspirasi, perjuangan, dan usaha, serta kegagalan dari kehidupan nyata manusia yang secara kontekstual disesuaikan dengan tingkat kematangan berpikir mereka. Sehingga jika diuraikan, maka akan kita dapatkan tiga hal berikut ini:
1.      Melalui sejarah diperoleh pemahaman yang mendalam tentang masyarakat, perbedaan dan perubahan pola struktur keluarga, perbedaan peran laki-laki dan perempuan, peran anak dan kehidupan masa kanak-kanak, dalam berbagai kelompok yang bervariasi, dan hubungan antara individu dengan kelompoknya.
2.      Melalui sejarah siswa memperoleh pemahaman yang mendalam tentang pola ilmiah untuk mencari pemahaman tentang dunia tempat manusia hidup dan melakukan sesuatu dengan lebih baik/efisien; pemahaman tentang apa yang telah diperoleh manusia termasuk perkembangan sain dan teknologi yang menciptakan terjadinya perubahan.
3.      Melalui sejarah siswa mulai memahami iklim politik yang berkembang dalam masyarakat lokal hingga kepada masyarakat dunia. Hal yang penting sebagai inti permasalahan ini adalah memahami nilai-nilai demokrasi.
b.      Keterampilan berpikir kesejarahan
Keterampilan berpikir kesejarahan adalah kemampuan yang harus dikembangkan agar siswa dapat membedakan waktu lampau, masa kini, dan masa yang akan datang; melihat dan mengevaluasi evidensi; membandingkan dan menganalisis antara cerita sejarah, ilustrasi, dan catatan dari masa lalu; menginterpretasikan catatan sejarah; dan membangun suatu cerita sejarah berdasarkan pemahaman yang sesuai dengan tingkat perkembangan berpikirnya. Sejarah dapat membuka kesempatan bagi siswa untuk melakukan analisis dan mengembangkan analisis terhadap aktivitas manusia dan hubungannya dengan sesama. Agar dapat tercipta atmosfir yang demikian, maka siswa harus dikondisikan untuk aktif bertanya dan belajar (active learning), tidak hanya secara pasif menyerap informasi berupa fakta, nama, dan angka tahun sebagai suatu kebenaran. Terdapat 5 (lima) bentuk berpikir kesejarahan yang dapat mengembangkan kemampuan keterampilan berpikir kesejarahan yakni:
1.      Chronological Thinking (berpikir kronologis), yaitu membangun tahap awal dari pengertian atas waktu (masa lalu, sekarang dan masa datang), untuk dapat mengidentifikasi urutan waktu atas setiap kejadian, mengukur waktu kalender, mengintertretasikan dan menyusun garis waktu, serta menjelaskan konsep kesinambungan sejarah dan perubahannya.
2.      Historical Comprehension, mencakup kemampuan untuk mendengar dan membaca cerita dan narasi sejarah dengan penuh pengertian, untuk mengidentifikasi elemen dasar dari suatu narasi atau struktur kisah, dan untuk mengembangkan kemampuan menggambarkan masa lalu berdasarkan pengalaman pelaku sejarah, literatur sejarah, seni, artefak, dan catatan-catatan sejarah dari masanya.
3.      Historical Analysis and Interpretation, mencakup kemampuan untuk membandingkan dan membedakan pengalaman-pengalaman, kepercayaan, motivasi, tradisi, harapan-harapan, dan ketakutan-ketakutan dari masyarakat yang berbeda-beda secara kelompok maupun berdasarkan latarbelakangnya, pada kurun waktu yang bervariasi.
4.      Historical Research Capabilities, mencakup kemampuan untuk memformulasikan pertanyaan-pertanyaan sejarah berdasarkan dokumen-dokumen bersejarah, foto-foto, artefak, kunjungan ke situs bersejarah, dan dari kesaksian pelaku sejarah.
5.      Historical issues-analysis and Decision Making, mencakup kemampuan mengidentifikasi permasalahan yang dikonfrontasikan masyarakat terhadap suatu literatur sejarah, komunitas lokal, negara bagian; untuk menganalisis kepentingan dan motivasi yang bervariasi dari suatu masyarakat yang terperangkap dalam situasi tersebut; untuk mengevaluasi alternatif pemecahan masalah guna membangun keputusan dalam rangka menindaklanjutinya.
Kelima bentuk keterampilan berpikir kesejarahan tersebut menjadikan pembelajaran sejarah lebih bermakna daripada sekedar sebuah hafalan rangkaian fakta. Kunci untuk dapat merealisasikan pembelajaran sejarah seperti dimaksud di atas terletak pada pendidik selaku “life-curriculum” . Perubahan paradigm pembelajaran yang berbasis materi ke pembelajaran yang berbasis kompetensi merupakan suatu keniscayaan. Penguasaan berbagai pendekatan dan metode pembelajaran dari para pendidiknya sangat diperlukan untuk memfasilitasi terjadinya pembelajaran yang bermakna (meaningful learning). Melalui pembelajaran yang bermakna tersebut maka diharapkan para peserta didik dapat berkembang menjadi individu yang dapat berperan penting sebagai individu, sebagai warga masyarakat, dan sebagai warga dunia.

2.3 Cara Berpikir Dalam Sejarah
a.       Cara Berpikir Diakronis
Cara berfikir kronologis diakronis dalam mempelajari sejarah Kronologi
Kronologi adalah catatan kejadian-kejadian yang diurutkan sesuai dengan waktu terjadinya. Kronologi dalam peristiwa sejarah dapat membantu merekonstruksi kembali suatu peristiwa berdasarkan urutan waktu secara tepat, selain itu dapat juga membantu untuk membandingkan kejadian sejarah dalam waktu yang sama di tempat berbeda yang terkait peristiwanya.
Menurut Galtung, diakronis berasal dari bahasa Yunani, dia artinya melintasi atau melewati dan khronos yang berarti perjalanan waktu. Dengan demikian, diakronis dapat diartikan sebagai suatu peristiwa yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa sebelumnya dan tidak berdiri sendiri atau timbul secara tiba-tiba. Sebab sejarah meneliti gejala-gejala yang memanjang dalam waktu, tetapi dalam ruang yang terbatas. Konsep diakronis melihat bahwa peristiwa dalam sejarah mengalami perkembangan dan bergerak sepanjang masa. Melalui proses inilah, manusia dapat melakukan perbandingan dan melihat perkembangan sejarah kehidupan masyarakatnya dari jaman ke jaman berikutnya.
Suatu peristiwa sejarah tidak bisa lepas dari peristiwa sebelumnya dan akan mempengaruhi peristiwa yang akan datang. Sehingga, berfikir secara diakronis haruslah dapat memberikan penjelasan secara kronologis dan kausalita. Studi diakronis bersifat vertikal, misalnya menyelidiki perkembangan sejarah Indonesia yang dimulai sejak adanya prasasti di Kutai sampai kini.  Adapun ciri  diakronik yaitu:
1.      Mengkaji dengan berlalunya masa;
2.      Menitik beratkan pengkajian peristiwa pada sejarahnya
3.      Bersifat historis atau komparatif;
4.      Bersifat vertikal;
5.      Terdapat konsep perbandingan;
6.      Cakupan kajian lebih luas;
Sejarah itu diakronis maksudnya me­manjang dalam waktu, sedangkan ilmu-ilmu sosial itu sinkronis maksudnya melebar dalam ruang. Sejarah mementingkan proses, sejarah akan membicarakan satu peristiwa tertentu dengan tempat tertentu, dari waktu A sampai waktu B. Sejarah berupaya melihat segala sesuatu dari sudut rentang waktu. Pendekatan diakronis adalah salah satu yang menganalisis evolusi/perubahan sesuatu dari waktu ke waktu, yang memungkinkan seseorang untuk menilai bagaimana bahwa sesuatu perubahan itu terjadi sepanjang masa. Sejarawan akan menggunakan pendekatan ini untuk menganalisis dampak perubahan variabel pada sesuatu, sehingga memungkinkan sejarawan untuk mendalilkan MENGAPA keadaan tertentu lahir dari keadaan sebelumnya atau MENGAPA keadaan tertentu berkembang / berkelanjutan.
Contoh:
a.       Perkembangan Sarekat Islam di Solo, 1911-1920
b.      Terjadinya Perang Diponegaro, 1925-1930;
c.       Revolusi Fisik di Indonesia, 1945-1949;
d.      Gerakan Zionisme 1897-1948 dan sebagainya
b.      Cara Berpikir Sinkronik
Cara berfikir sinkronik dalam mempelajari sejarah Sedangkan ilmu sosial itu sinkronik (menekankan struktur) artinya ilmu sosial meluas dalam ruang. Pendekatan sinkronis menganalisa sesuatu tertentu pada saat tertentu, tidak tetap pada waktunya. Ini tidak berusaha untuk membuat kesimpulan tentang perkembangan peristiwa yang berkontribusi pada kondisi saat ini, tetapi hanya menganalisis suatu kondisi seperti itu.
Kata sinkronis berasal dari bahasa Yunani syn yang berarti dengan, dan khronos yang berarti waktu, masa. Dengan demikian, berpikir sinkronis dalam sejarah adalah mempelajari peristiwa yang sezaman, atau bersifat horisontal. Misalnya mempelajari sejarah Indonesia di masa reformasi saja.  Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Sinkronik artinya segala sesuatu yang bersangkutan dengan peristiwa yang terjadi di suatu masa yang terbatas.
Menurut Galtung pengertian sejarah secara sinkronik artinya mempelajari pristiwa sejarah dengan berbagai aspeknya pada waktu atau kurun waktu yang tertentu atau terbatas. Atau meneliti gejala-gejala yang meluas dalam ruang tetapi dalam waktu yang terbatas. Kajian sinkronis sejarah mengandung kesistematisan tinggi, sedangkan kajian diakronis tidak.  Kajian sinkronis justru lebih serius dan sulit. Berdasarkan uraian di atas dapat di ambil kesimpulan bahwa pengertian berpikir sinkronik dalam sejarah adalah  mempelajari (mengkaji) struktur (karakter) suatu peristiwa sejarah dalam kurun waktu (masa) tertentu.
Ciri Ciri  sinkronik yakni sebagai berikut :
1.      Mengkaji  pada masa tertentu
2.      Menitik beratkan pengkajian  pada strukturnya(karakternya)
3.      Bersifat horizontal
4.      Tidak ada konsep perbandingan
5.      Cakupan kajian lebih sempit
6.      Memiliki sistematis yang tinggi
7.      Bersifat lebih serius dan sulit
Contoh: suatu saat mungkin menggunakan pendekatan sinkronis untuk menggambarkan keadaan ekonomi di Indonesia pada suatu waktu tertentu, menganalisis struktur dan fungsi ekonomi hanya pada keadaan tertentu dan pada di saat itu.Penelitian arsip memungkinkan orang untuk meneliti waktu yang panjang.




BAB III PENUTUP

3.1  Kesimpulan
Dalam sejarah, kemampuan standar yang harus dikuasai tersebut adalah sebagai berikut:
1. Historical Thinking Skills, kemampuan berpikir kesejarahan yang memungkinkan anak/siswa untuk membedakan masa lalu, masa sekarang, dan masa yang akan datang; membangun pertanyaan; mencari dan mengevaluasi bukti-bukti; membandingkan dan menganalisis kisah-kisah sejarah, ilustrasi-ilustrasi, dan catatan-catatan dari masa lalu; menginterpretasikan catatan-catatan sejarah; dan mengkonstruksinarsi sejarah menurut versi masing-masing siswa.atau anak.
2. Historical Understanding yang menetapkan bahwa siswa sebaiknya mengetahui sejarah keluarganya, komunitasnya, negara bagiannya, bangsa dan dunia. Pengertian-pengertian ini dilukiskan berdasarkan catatan-catatan mengenai aspirasi-aspirasi kemanusiaan, perjuangannya, prestas-prestasinya, dan kegagalan-kegagalannya dalam sedikitnya lima ranah kegiatan manusia, seperti sosial, poliltik ilmu dan teknologi, ekonomi, dan budaya (filosofi, religi, dan estetika) yang dinilai tepat bagi anak/siswa.
            Keterampilan berpikir kesejarahan adalah kemampuan yang harus dikembangkan agar siswa dapat membedakan waktu lampau, masa kini, dan masa yang akan datang; melihat dan mengevaluasi evidensi; membandingkan dan menganalisis antara cerita sejarah, ilustrasi, dan catatan dari masa lalu; menginterpretasikan catatan sejarah; dan membangun suatu cerita sejarah berdasarkan pemahaman yang sesuai dengan tingkat perkembangan berpikirnya. Sejarah dapat membuka kesempatan bagi siswa untuk melakukan analisis dan mengembangkan analisis terhadap aktivitas manusia dan hubungannya dengan sesama. Agar dapat tercipta atmosfir yang demikian, maka siswa harus dikondisikan untuk aktif bertanya dan belajar (active learning), tidak hanya secara pasif menyerap informasi berupa fakta, nama, dan angka tahun sebagai suatu kebenaran.




DAFTAR PUSTAKA

Sumantri, M. 1988. Kurikulum dan Pengajaran. Jakarta: P2LPTK. Syaodih, N. 1988. Prinsip dan Landasan Pengembangan Kurikulum. Jakarta: P2LPTK.
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Yayasan Bentang Budaya Yogjakarta,2001


Tidak ada komentar:

Posting Komentar