MENGEMBANGKAN KREATIVITAS PESERTA DIDIK DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH
Disusun
untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Strategi Belajar Mengajar
Dosen
Pengampuh Dr. Suranto,
M.Pd
Oleh
EVIE
EKA YULIATI (120210302105)
Kelas B
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2014
KATA PENGANTAR
Dengan mengucap puji syukur
kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya, tidak lupa kami
mengucapkan terima kasih kepada pembimbing yang telah bersedia membimbing kami
dalam penyusunan makalah ini, sehingga penyusunan makalah dengan judul “MENGEMBANGKAN
KREATIVITAS PESERTA DIDIK DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH” dapat berjalan dengan lancar tanpa
ada halangan suatu apapun. Perencanaan, pelaksanaan dan
penyelesaian makalah sebagai salah satu tugas matakuliah Strategi
Belajar Mengajar.
Penulisan makalah ini berdasarkan
literatur yang ada. Penyusun menyadari akan kemampuan yang sangat terbatas
sehingga dalam penyusunan makalah ini banyak kekurangannya. Namun, makalah yang
disajikan sedikit banyak bermanfaat bagi penyusun khususnya dan mahasiswa lain
pada umumnya.
Penyusun juga menyadari penulisan
makalah ini masih jauh dari sempurna, maka dengan hati terbuka penyusun
menerima segala kritik dan saran yang sifatnya membangun demi kesempurnaan
makalah tersebut.
Jember, Oktober
2014
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman Judul ............................................................................................ i
Kata Pengantar ............................................................................................ ii
Daftar Isi ..................................................................................................... iii
BAB 1
PENDAHULUAN ........................................................................ 1
1.1 Latar Belakang.......................................................................................
1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................. 2
1.3 Tujuan ................................................................................................... 2
BAB 2
PEMBAHASAN ........................................................................... 3
2.1 Hakekat Kreativitas...............................................................................
3
2.2 Tipe-tipe atau Jenis-jenis Kreativitas......................................................
8
2.3 Mengembangkan Kreativitas Peserta didik...........................................
8
BAB III
PENUTUP .................................................................................. 18
3.1 Kesimpulan ........................................................................................... 18
3.2 Saran ..................................................................................................... 18
DAFTAR
PUSTAKA .............................................................................. 19
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Guru
memegang peran yang amat sentral dalam keseluruhan proses pembelajaran. Guru
pun dituntut untuk mampu mewujudkan perilaku mengajar secara tepat agar terjadi
perilaku belajar yang efektif pula dalam diri siswa. Dalam proses belajar
mengajar, guru bisa sebagai motivator belajar. Guru memiliki banyak tugas, baik
yang terikat oleh dinas maupun di luar dinas, dalam bentuk pengabdian. Guru
merupakan profesi/jabatan atau pekerjaan yang memerlukan keahlian khusus sebagai
guru dan tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang di luar bidang
kependidikan.
Noor Rachman Hadjam (2012), mengatakan bahwa
kreativitas dalam pembelajaran merupakan bagian dari suatu sistem yang tidak
terpisahkan dengan terdidik dan pendidik. Peranan kreativitas guru tidak
sekedar membantu proses belajar mengajar dengan mencakup satu aspek dalam diri
manusia saja, akan tetapi mencakup aspe-aspek lainnya yaitu kognitif, afektif,
dan psokomotorik. Secara umum kreativitas guru memiliki fungsi utama yaitu membantu
menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat dan efisien. Salah satu cermin
keberhasilan guru dalam pembelajaran adalah kemampuan dalam mengkreasi media
pembelajaran dan menata lingkungan pembelajaran. Guru akan kesulitan
menumbuhkan kreativitasnya jika ia tidak memahami media pembelajaran, bila
dimanfaatkan secara optimal, memiliki daya tarik tersendiri di mata peserta
didik.
Salah satu tugas yang harus
dilaksanakan oleh guru di sekolah adalah memberikan pelayanan kepada para siswa
agar mereka menjadi siswa atau anak didik yang selaras dengan tujuan sekolah.
Melalui bidang pendidikan, guru mempengaruhi aspek kehidupan, baik sosial,
budaya maupun ekonomi. Dalam keseluruhan proses pendidikan, guru merupakan
faktor utama yang bertugas sebagai pendidik. Guru memegang berbagai jenis
peranan yang mau tidak mau harus dilaksanakannya sebagai guru. Selain itu, guru
sebagai pendidik juga harus kreatif dan memiliki kreatifitas agar lebih menarik
perhatian siswa dan proses belajar mengajar tidak membosankan.
1.2
Rumusan Masalah
a)
Bagaimanakah hakekat dari Kreativitas?
b)
Apa saja tipe-tipe Kreativitas?
c)
Bagaimanakah cara guru untuk
mengembngkan kreativitas Peserta Didik dalam Pembelajaran Sejarah?
1.3 Tujuan
a)
Untuk mengetahui dan memahami hakekat
dari Kreativitas.
b)
Untuk mengethui dan memahami tipe-tipe
Kreativitas?
c)
Untuk mengetahui cara guru untuk
mengembngkan kreativitas Peserta Didik dalam Pembelajaran Sejarah?
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Hakekat Kreativitas
Sejatinya
, kreativitas bermula dari cara berpikir kreatif. Pada kurun waktu 1960-an
hingga permulaan tahun 1970-an, sejumlah ahli psikologi sudah tertarik terhadap
kreativitas. Mereka telah berusaha merumuskan, mencirikan, dan
mengembangkannya. Beberap ahli psikologi percaya bahwa kreativitas harus
terbatas pada penemuan atau penciptaan suatu ide tau konsep baru yang
sebelumnya tidak pernah diketahui oleh manusia. Para ahli lainnya mengartikan
kreativitas secara lebih inklusif, yaitu meliputi semua usaha produktif yang
unik dari individu. Pandangan ini lebih bermakna bagi guru yang berusaha untuk
mengembangkan kemampuan kreatif, baik untuk profesinya sendiri maupun untuk
peserta didik dan membantu mereka dalam menggali dan mengembangkan potensinya
secar optimal.
Menurut Lumsdaine (1995), kreativitas adalah mempergunakan imajinasi dan berbagai kemungkinan yang
diperoleh dari interaksi dengan ide atau gagasan, orang lain dan lingkungan
untuk membuat koneksi dan hasil yang baru serta bermakna. Artinya mengembangkan
pemikiran alternatif atau kemungkinan dengan berbagai cara sehingga mampu
melihat sesuatu dari berbagai sudut pandang dalam interaksi individu dengan
lingkungan sehingga diperoleh cara-cara
baru untuk mencapai tujuan yang lebih bermakna.
Secara umum kreativitas dapat
diartikan sebagai pola berpikir atau ide yang timbul secara spontan dan
imajinatif, yang mencirikan hasil artistik, penemuan ilmiah, dan penciptaan
secara mekanik. Kreativitas meliputi hasil sesuatu yang baru, baik sama sekali
baru bagi dunia ilmiah atau budaya maupun secara relatif baru bagi indvidunya
sendiri walaupun mungkin orang lain telah menemukan atau memproduksi
sebelumnya. Seseorang dapat menjadi ahli matematika, ahli filsafat, atau
ilmuwan kreatif, seperti halnya dengan seorang penulis atau seniman kreatif.
Salah
satu masalah yang kritis dalam meneliti, mengidentifikasi, dan mengembangkan
kreativitas ialah bahwa begitu banyak definisi tentang kreativitas. Tetapi
tidak ada satu definisi pun yang dapat diterima secara universal. Skala
sikap adalah alat penilaian hasil belajar yang berupa sejumlah pernyataan sikap
tentang sesuatu yang jawabannya dinyatakan secara berskala, misalnya skala
tiga, empat atau lima. Pengembangan skala sikap dapat mengikuti langkah sebagai
berikut.
a.
Menentukan obyek sikap yang akan
dikembangkan skalanya.
b.
Memilih dan membuat daftar dari konsep
dan kata sifat yang relevan dengan obyek penilaian sikap.
c.
Memilih kata sifat yang tepat dan akan
digunakan dalam skala.
d.
Menentukan skala dan penskoran.
Orang yang
kreatif berhasil mencapai ide, gagasan pemecahan masalah, cara kerja, hal
produk baru. Biasanya melewati beberapa tahap, yaitu 1) Persiapan (Preparation)
adalah mempelajari latar belakang perkara, seluk beluk dan problematikanya. 2)
Konsentrasi (concentration) sepenuhnya memikirkan,masuk luluh, tersersap
dalam perkara yang dihadapi. 3) Inkubasi (Incubation) adalah mencari
kegiatan yang melepaskan diri dari kesibukan pikiran mengenai perkara yang di
hadapi. 4) Iluminasi (Illumination) adalah mendapatkan ide gagasan,pemecahan
penyelesaian, cara kerja, jawaban baru. 5) Verifikasi/ produksi (Verification/
produktion) adalah menghadapi dan memecahkan masalah praktis sehubungan dengan
perwujudan ide, gagasan, pemecahan,penyelesaian, cara kerja, jawaban baru. Kreativitas
penting dipupuk dan dikembangkan pada diri anak karena:
a.
Dengan berkreasi orang dapat mewujudkan
dirinya,dan perwujudan diri termasuk salah satu kebutuhan pokok dalam hidup
manusia
b.
Kreativitas sebagai kemampuan untuk
melihat bermacam-macam kemungkinan penyelesaian terhadap suatu masalah
c.
Kreatif tidak hanya bermanfaat,tetapi
juga memberikan kepuasan terhadap individu
d.
Kreativitaslah yang memungkinkan manusia
meningkatkan kualitas hidupnya
Guilford seperti
yang dikutip oleh Monthy P Satiadrama dan Fidelis E Wawu karakteristik
pemikiran kreatif berkaitan erat dengan lima ciri kemampuan berfikir yaitu 1)
Kelancaran (fluenty) adalah kemampuan memproduksi banyak gagasan. 2)
Keluwesan (flexibility) adalah kemampuan untuk mengajukan berbagai
pendekatan atau pemecahan masaalah. 3) Keaslian (originality) adalah
merupakan kemampuan untuk melahirkan gagasan asli sebagai hasil pemikiran
sendiri. 4) Penguraian (elaboration) adalah kemampuan untuk menguraikan
sesuatu secara terperinci. 5) Perumusan kembali (redefinision) adalah merupakan
kemampuan untuk mengkaji suatu persoalan melalui cara dan perspektif yang
berbeda dengan apa yang sudah lalu.
Berdasarkan penenkanannya, definisi-defiisi kreativitas
dapat dibedakan ke dalam dimensi personal atau indivdu (personal), produk (product),
dan publikasi (publication). Rhodes (1961) menyebut keempat dimensi kreativitas
tersebut sebagai the Four P’s of
Creativity. Berikut dikemukakan beberapa sumber:
1.
Kreativitas
mengacu pada kemampuan yang khas dari orang-orang kreatif (Guilford, 1965)
2.
Kreativitas
adalah sebuah proses yang memanifestasikan dirinya dalam kefasihan
(kelancaran), dalam fleksibilitas, juga dalam orisinalitas (S. C. U. Munadar,
1977).
3.
Kemampuan
untuk membawa sesuatu yang baru ke dalam suatu hal yang eksis (Barron, 1969; 1976).
4.
Kreativitas
dapat dianggap sebagai kualitas produk atau tanggapan yang dinilai untuk
menjadi kreatif oleh pengamat yang sesuai (Amabile, 1983).
5.
Kreativitas
adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru. Wujudnya adalah tindakan
manusia (Barron & Harrington, 1981).
Pengertian kreativitas juga dapat
dibedakan ke dalam pengertian konsensual dan konseptual. Pengertian konsensual
menekankan segi produk kreatif yang dinilai derajat kreativitasnya oleh
pengamat yang ahli. Amabile, (1983), mengemukakan bahwa suatu produk atau
respons seseorang dikatakan kreatif apabila menurut penilaian orang yang ahli
atau pengamat yang mempunyai kewenangan dalam bidang itu bahwa itu kreatif.
Dengan demikian, kreativitas merupakan kualitas suatu produk atau respons yang
dinilai kreatif oleh pengamat yang ahli. Sedangkan pengertian konseptual
bertolak dari konsep tertentu tentang kreativitas yang dijabarkan ke dalam
kriteria tentang apa yang disebut kreatif.
Berdasarkan pengertian konseptual
dan konsensual tentang kreativitas, Dedi Supriadi (1989), mengembangkan studi
kreativitas terhadap ilmuan senior. Analog dengan hal itu, maka guru kreatif
dapat dikenali dari kriteria;
a.
Sumbangan
mereka terhadap ilmu pengetahuan.
b.
Keanggotaan
dalam organisasi profesi’
c.
Penghargaan
yang diterima
d.
Jabatan
keahlian yang pernah atau sedang dipegang.
Berdasarkan
beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa kreativitas adalah kemampuan guru untuk mempergunakan imajinasi dan
berbagai kemungkinan yang diperoleh dari interaksi dengan ide atau gagasan,
orang lain dan lingkungan untuk membuat koneksi dan hasil yang baru serta
bermakna.
Proses kreatif
dapat digambarkan dalam empat tingkatan, yaitu:
1. Tingkat
persiapan, usaha dibuat oleh guru untuk memahami dan mengerti tentang kebutuhan
personal. Guru memberikan perhatian secara mendetail terhadap objek sehingga
dipahami secara utuh dalam berbagai dimensi sudut pandang. Sudut pandang paling
tidak meliputi kondisi fisik objek, kegunaan atau manfaat, serta suasana atau
situasi yang terbentuk karena keberadaan objek. Kebutuhan guru akan terkait
dengan ketiga sudut pandang secara parsial, kombinasi maupun sebagai keutuhan.
Contoh pada saat melihat kursi siswa, guru akan memberikan perhatian dari sisi
fisik apakah bentuknya cukup mewakili sebuah kursi atau tempat untuk duduk dan
apakah tidak ada bagian yang membahayakan. Dari sudut pandang kegunaan atau
manfaat apakah kursi cukup kuat untuk diduduki atau menahan berat badan siswa.
Dari sudut pandang suasana atau situasi yang tercipta apakah posisi kursi tidak
menghalangi siswa atau guru berjalan, mendukung suanasana kelas yang
menyamankan dan apakah cukup pantas untuk menempati bagian dari ruangan.
2. Tingkat
inkubasi (pengeraman), yaitu upaya untuk mengembangkan ide dari perhatian yang
diberikan untuk menjawab persoalan yang dihadapi guru. Contoh : pada saat
sekolah memiliki ruangan dengan ukuran
tertentu yang harus menampung sejumlah siswa untuk duduk dan menulis, maka
bentuk dan ukuran kursi seperti apa yang harus dibuat atau dibeli sehingga memenuhi
tujuan yang diharapkan.
3. Tingkat
wawasan, yang membawa guru pada pengertian baru. Artinya terbuka kemungkinan
terjadi perubahan bentuk, ukuran dan fungsi dari suatu objek untuk memenuhi
beberapa tujuan yang diharapkan. Contoh: ruangan yang ada tidak memungkinkan
diisi dengan meja dan kursi karena akan membuat siswa tidak leluasa bergerak.
Hal yang dibutuhkan adalah kursi yang juga berfungsi sebagai meja dan tempat
menyimpan barang/tas, cukup ringan untuk dipindahkan dan dirapikan dengan cara
melipat kursi, mampu menahan beban sebarat 30 – 50 kg dan tinggi 120 – 160 cm,
serta cukup memberi ruangan untuk bergerak keluar dan duduk.
4. Tingkat
pengesahan/penemuan, yang menyadarkan guru tentang ide kreatif pengesahan atau
tingkat implementasi. Upaya mewujudkan ide dalam bentuk nyata. Contoh: untuk
memperoleh kursi sesuai kebutuhan pada tingkat wawasan awalnya perlu dibuatkan
gambar, mempertimbangkan bahan, mengerjakan, menata dalam ruangan dan
memanfaatkan benda baru.
Kreativitas
tidak hanya tergantung pada potensi bawaan yang khusus, tetapi juga pada
perbedaan mekanisme mental atau sikap mental yang menjadi sarana untuk
mengungkapkan sifat bawaan tersebut. Menurut Hurlock (2005:11) beberapa
kegiatan untuk meningkatkan kreativitas adalah:
a.
Waktu. Untuk menjadi kreatif kegiatan anak seharusnya jangan diatur sedemikian
rupa sehingga anak mempunyai sedikit waktu bebas untuk bermain-main dengan
gagasan dan konsep yang dipahaminya.
b.
Kesempatan. Apabila mendapat tekanan dari kelompok, kemudian anak menyendiri,
maka ia menjadi lebih kreatif.
c.
Dorongan. Orang tua sangat berperan dalam hal ini, anak seharusnya dibebaskan
dari ejekan dan kritik yang sering kali memojokkan anak.
d.
Sarana. Harus disediakan untuk merangsang dorongan eksperimen dan eksplorasi
yang merupakan unsur penting dari kreativitas.
e.
Lingkungan. Keadaan lingkungan yang merangsang kreativitas anak.
f.
Hubungan dengan orang tua. Orang tua yang terlalu melindungi atau terlalu
posesif terhadap anak dapat menghambat proses kreativitas.
g.
Cara mendidik anak. Mendidik secara demokratis dan permisif di rumah dan di
sekolah akan meningkatkan kreativitas, sedangkan mendidik dengan cara otoriter
menghambat proses kreativitas.
h.
Pengetahuan. Semakin banyak pengetahuan yang diperoleh anak maka semakin banyak
dasar untuk mencapai peningkatan kreativitas.
2.2 Tipe-tipe
atau Jenis-jenis Kreativitas
Berdasarkan
penelitian kreativitas dapat diidentifikasikan menjadi tiga tipe kreativitas
yang berbeda yaitu :
1.
Menciptakan
Menciptakan
adalah proses,
berupa untuk mencari sesuatu dari tidak ada menjadi ada
2.
Memodifikasi sesuatu
Dalam
memodifikasi sesuatu, berupa untuk mencari cara-cara membentuk fungsi-fungsi
baru atau menjadikan sesuatu menjadi berbeda penggunaannya oleh orang lain.
3.
Mengkombinasikan
Mengkombinasikan
dua hal atau lebih yang sebelumnya tidak saling berhubungan. Contohnya seperti
pesawat telepon yang diciptakan karena hasil sintesis atau
kombinasi.
2.3 Mengembangkan
Kreativitas Peserta didik dalam Pembelajaran Sejarah
Selama
di sekolah, guru mempunyai peran penting terhadap penyesuaian emosional dan
sosial anak dan terhadap perkembangan kepribadiannya. Sehubungan dengan
perkembangan intelektual, pada semua jenjang pendidikan guru merupakan kunci
kegiatan belajar siswa yang berhasil guna (efektif), terutama pada tingkat
sekolah dasar. Hal ini mudah dipahami karena di sekolah dasar umumnya seluruh
pelajaran dipegang oleh guru kelas, kecuali mingkin untuk pelajaran seperti
Agama, Olahraga, dan Kesenian yang menuntut keterampilan khusus dari guru.
Masalah
khusus yang berhubungan dengan pengajaran anak berbakat pada dasarnya merupakan
masalah bagaimana menghadapi perbedaan-perbedaan anak. Perbedaan dalam peran
guru berdasarkan ciri-ciri khas anak berbakat, yang terampil dalam situasi
belajar dan cara guru menangani ciri-ciri tersebut. Karena falsafah pendidikan
mengakui adanya perbedaan individual dan bertujuan mengembangkan bakat dan
kemampuan setiap anak didik secara optimal, maka dengan sendirinya kualifikasi
guru harus berbeda sesuai dengan sifat-sifat dan kemampuan anak didik.
Apakah
implikasinya bagi guru anak berbakat? Implikasi tersebut disimpulkan oleh Barbed
an Renzulli (Munandar, 1999: 62) sebagai berikut:
1.
Pertama-tama guru perlu memahami diri
sendiri, karena anak yang belajar tidak hanya dipengaruhi oleh apa yang
dilakukan guru, tapi juga bagaimana guru melakukannya. Mustahil mengharapkan
seseorang dapat memahami kebutuhan, perasaan, dan perilaku orang lain, jika ia
tidak mengenal diri sendiri. Dalam menghadapi siswa-siswanya, guru yang baik
selalu menilai kemampuan, persepsi, motivasi, dan perasaan-perasaanya sendiri.
Guru perlu menyadari baik kekuatan-kekuatan maupun kelemahan-kelemahannya. Anak
berbakat akan paling maju di bawah bimbingan guru yang memiliki kecerdasan
cukup tinggi, memiliki pengetahuan umum yang luas, serta menguasai mata
pelajaran yang diajarkannya secara cukup mendalam.
Jika
guru pada saat-saat tertentu tidak mengetahui sesuatu dan tidak dapat menjawab
pertanyaan siswanya, adalah lebih baik mengatakan “Saya tidak tahu: marilah
kita cari jawabannya bersama-sama!” atau “Berilah saya waktu untuk
memikirkannya!” Jawaban seperti ini akan lebih mendapat penghargaan dan
kepercayaan siswa daripada jika guru menjawab asal saja. Mengapa? Karena anak
berbakat bersifat kritis, mempunyai kemampuan penalaran yang tinggi, dan suka
mempertanyakan segala sesuatu.
Guru
perlu juga menguji perasaan-perasaannya terhadap anak berbakat. Sikap menguji
atau mempertanyakan dari anak berbakat dapat menjengkelkan guru yang bersifat
otoriter. Penjelasan guru yang biasanya diterima begitu saja oleh kebanyakan
anak mungkin diragukan oleh anak berbakat. Jika guru menunjukkan perasaan tidak
senang oleh pertanyaan-pertanyaan anak berbakat, ia dapat mematikan rasa ingin
tahu anak, sedangkan guru yang terbuka terhadap gagasan dan pengalaman baru
akan meluaskan dimensi minat anak.
2.
Di samping memahami diri sendiri, guru guru perlu memiliki pengertian tentang keberbakatan.
Oleh karena itu, guru
yang akan membina anak berbakat perlu memperoleh informasi dan pengalaman mengenai keberbakatan,
tentang apa yang diartikan tentang keberbakatan, bagaimana cirri-ciri anak
berbakat, dan dengan cara-cara apa saja kebutuhan pendidikan anak berbakat
dapat terpenuhi. Dengan mengetahui kebutuhan-kebutuhan pendidikan anak
berbakat, guru akan menyadari bahwa anak-anak ini memerlukan pelayanan
pendidikan khusus yang terletak di luar jangkauan kurikulum biasa.
3.
Setelah anak berbakat diidentifikasi, guru hendaknya mengusahakan suatu
lingkungan belajar sesuai dengan perkembangan yang unggul dari
kemampuan-kemampuan anak.
Sehubungan
dengan ini guru hendaknya lebih berfungsi sebagai fasilitator belajar daripada
sbagai instructor (pengajar) yang menentukan semuanya. Fungsi pendidik adalah
mempersiapkan siswa untuk belajar seumur hidup. Setiap anak dilahirkan dengan
rasa ingin tahu. Ia terbuka terhadap pengalaman baru dan belajar dari
pengalamannya sesuai dengan kebutuhannya. Hanya sayang, pada waktu anak mulai
masuk sekolah sering dorongan alamiah untuk belajar ini terkekang karena
kurikulu yang kaku dan program belajar yang tidak beragam (berdiferensiasi),
artinya tidak disesuaikan dengan kemampuan dan minat anak.
Jika
dorongan alamiah ini terhambat di sekolah, rasa ingin tahu anak akan mati dan
berganti menjadi sikap apatis, acuh tak acuh. Karena itu, diperlukan motivasi eksternal (berupa dorongan,
pujian, teguran dari guru dan orang tua) dan system penghargaan (nilai-nilai
prestasi belajar, angka rapor) untuk menumbuhkan minat anak. Terutama anak yang
cerdas dan berbakat dengan rasa ingin tahu yang kuat dan minat yang luas akan
merasa terhambat dengan kurikulum yang hanya berorientasi pada mayoritas anak.
Barbe
dan Renzulli (Munandar, 1999: 64) mengungkapkan beberapa saran untuk guru yang
dapat diterapkan pada semua anak, tetapi terutama penting demi peningkatan
kebiasaan belajar seumur hidup dari anak berbakat:
1.
Bentuklah pengalaman belajar dengan rasa ingin tahu alamiah anak dengan
menghadapkan masalah-masalah yang relevan dengan kebutuhan, tujuan, dan minat
anak.
2.
Perkenankanlah anak untuk ikut serta dalam menyusun dan merencanakan
kegiatan-kegiatan belajar.
3.
Berikanlah pengalaman dari kehidupan nyata yang meminta peran serta aktif anak
dan kembangkan kemampuan yang perlu untuk itu.
4.
Bertindaklah, lebih sebagai sumber belajar daripada sebagai penyampai infomasi;
jangan paksakan pengetahuan yang belum siap diterima anak.
5.
Usahakan agar program belajar cukup luwes untuk mendorong siswa melakukan
penyelidikan, percobaan, (eksperimen), dan penemuan sendiri.
6.
Doronglah dan hargailah inisiatif, keinginan mengetahui dan menguji, serta
orisinalitas.
7.
Biarkan anak belajar dari kesalahannya dan menerima akibatnya (tentu saja
selama tidak berbahaya dan membahayakan).
Macam
kegiatan belajar yang lebih berorientasi kepada proses daripada terhadap produk
semata-mata dapat dilihat dari contoh-contoh berikut ini.
Pemecahan
masalah dengan lebih menekankan pada proses memperoleh jawaban daripada
jawabannya sendiri.
a.
Membuat klasifikasi (penggolongan).
b.
Membandingkan dan mempertentangkan.
c.
Membuat pertimbangan sesuai dengan
criteria tertentu.
d.
Menggunakan sumber-sumber (kamus, ensiklopedi,
perpustakaan).
e.
Melakukan proyek penelitian.
f.
Melakukan diskusi.
g.
Membuat perencanaan kegiatan.
h.
Mengevaluasi pengalaman.
Anak
harus belajar menilai pekerjaannya sendiri, tidak dalam angka tetapi dalam
kaitan dengan kebutuhan dan tujuannya. Penilaian oleh diri sendiri ini disebut evaluasi intrinsik sedangkan penilaian
dari luar (oleh orang lain) disebut evaluasi
ekstrinsik. Ini tidak berarti bahwa guru tidak boleh menilai kemajuan dan
prestasi anak. Hal ini perlu agar guru dapat mengetahui kekuatan dan kelemahan
anak sebagai dasar untuk membantu meningkatkan prestasinya. Guru dapat
memberikan umpan-balik dengan membuat catatan yang menyatakan dimana letak
kesalahan anak dan bagaimana ia sendiri dapat memperbaikinya. Jika nilai dalam
bentuk angka harus diberikan, maka sebaiknya dilengkapi dengan catatan
penjelasan.
Guru
anak berbakat harus menyediakan beberapa alternatif
strategi belajar. Termasuk salah satu hal penting yang perlu diketahui anak
ialah bahwa ada lebih dari satu cara untuk mencapai sasaran atau tujuan, ada
macam-macam kemungkinan jawaban terhadap satu masalah, ada beberapa cara untuk
mengelompokkan objek, dan ada beberapa sudut pandang dalam diskusi. Sering guru
menekankan bahwa suatu tujuan atau jawaban hanya dapat dicapai dengan satu cara,
bahwa hanya satu jawaban yang benar terhadap suatu masalah.
Hendaknya
anak diperbolehkan menjajaki beberapa cara atau jalan untuk mencapai tujuan.
Kreativitas akan berkembang dalam suasana yang memberika kebebasan untuk
menyelidiki. Jika anak tidak dengan sendirinya melihat macam-macam jalan yang
dapat ditempuh, hendaknya guru mengarahkan sehingga ia dapat melihat adanya
macam-macam alternative strategi belajar.
8. Guru
hendaknya dapat menciptakan suasana di dalam kelas yang menunjang rasa percaya diri anak serta dimana anak merasa aman dan berani mengambil resiko
dalam menentukan pendapat dan keputusan. Hendaknya setiap anak merasa aman
untuk mencoba cara-cara baru dan menjajaki gagasan-gagasan baru di dalam kelas.
Banyak anak yang kreatif terlambat dalam ungkapan diri karena takut mendapat
kritik, takut gagal, takut membuat kesalahan, takut tidak disenangi guru, atau
takut tidak memenuhi harapan orang tua.
Dengan
menciptakan suasana di dalam kelas dimana setiap anak merasa dirinya diterima
dan dihargai, serta guru menunjukkan bahwa ia percaya akan kemampuan anak, maka
akan terpupuk rasa harga diri anak.
Bagaimana
guru dapat menciptakan suasana seperti ini?
Beberapa
saran yang dapat diberikan:
a.
Guru menghargai kreativitas anak.
b.
Guru bersikap terbuka terhadap
gagasan-gagasan baru.
c.
Guru mengakui dan menghargai adanya
perbedaan individual.
d.
Guru bersikap menerima dan menunjang
anak.
e.
Guru menyediakan pengalaman belajar yang
berdiferensiasi.
f.
Guru cukup memberikan struktur dalam
mengajar sehingga anak tidak merasa ragu-ragu tetapi di lain pihak cukup luwes
sehingga tidak menghambat pemikiran, sikap, dan perilaku kreatif anak.
g.
Setiap anak ikut mengambil bagian dalam
merencanakan pekerjaan sendiri dan pekerjaan kelompok.
h.
Guru tidak bersikap sebagai tokoh yang
“maha mengetahui” tetapi menyadari keterbatasannya sendiri.
Mata
Pelajaran IPS Sejarah merupakan pengetahuan tentang peristiwa dan perubahan
masyarakat masa lalu dengan prinsip sebab akibat dan kronologis peristiwa yang
terjadi di masyarakat. Dengan mempelajari sejarah diharapkan siswa mampu
memahami fakta, peristiwa dan perubahan masyarakat masa lalu, mengembangkan
cara berfikir kritis dan mengimplementasikan ilmu yang diperolehnya dalam
kehidupan sehari-hari.
Tingkat
pengetahuan dan pemahaman siswa dalam materi sejarah masih tergolong rendah.
Hal ini disebabkan minat siswa belajar sejarah cenderung rendah dan akhirnya
berimplikasi pada rendahnya hasil belajar siswa. Rata-rata nilai ulangan harian
siswa hanya mencapai nilai KKM, yaitu 72. Padahal tingkat pemahaman konsep dan
analisis materinya tidaklah terlalu sulit.
Kurangnya
minat dan rendahnya prestasi belajar siswa dalam mata pelajaran Sejarah
kemungkinan juga disebabkan oleh faktor guru yang belum mampu mengembangkan
kreativitas dan kurang optimal dalam melibatkan siswa pada kegiatan belajar
mengajar serta belum melakukan berbagai inovasi dalam pembelajaran.
Pada
kegiatan pembelajaran siswa menyimak materi dan terlihat seakan-akan telah
memahami materi, tetapi ketika diadakan evaluasi dengan memberikan soal ulangan
harian, rata-rata ketuntasan siswa tidak mencapai hasil yang diharapkan. Bertolak
dari kenyataan di atas, maka penulis sebagai guru IPS Sejarah mencoba melakukan
inovasi pembelajaran dengan tujuan meningkatkan kualitas proses belajar
mengajar sehingga hasil belajar siswa dapat dioptimalkan. Perhatian tertuju
pada berbagai kegiatan yang disenangi siswa dengan tujuan melakukan
sinkronisasi kesenangan siswa dengan kegiatan pembelajaran. Salah satu kegiatan
yang banyak disukai oleh siswa adalah menonton siaran televisi. Mereka sering
menghabiskan berjam-jam waktu menonton acara kesayangan mereka di televisi. Berdasarkan
pengamatan tersebut, maka dicoba mengembangkan suatu model pembelajaran dengan
mengadopsi salah satu acara televisi, yaitu acara Dialog Interaktif. Dialog
interaktif ini dipilih karena sesuai dengan karasteristik materi sejarah yang
banyak mendeskripsikan peristiwa-peristiwa penting pada masa lampau.
Prestasi
belajar siswa banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik berasal dari
dirinya (internal) maupun dari luar dirinya (eksternal). Prestasi belajar yang
dicapai siswa pada hakekekatnya merupakan hasil interaksi antara berbagai
faktor tersebut. Oleh karena itu, pengenalan guru terhadap faktor yang dapat
mempengaruhi prestasi belajar siswa penting sekali artinya dalam rangka
membantu siswa mencapai prestasi belajar yang optimal sesuai dengan
kemampuannya masing-masing. Adapun karakteristik anak dalam belajar
menurut Usman (1993: 11) meliputi: (1) cepat dalam belajar; (2) lambat belajar;
(3) anak yang kreatif; (4) underachiever; dan (4) anak yang gagal (drop-out).
Membaca
judul barangkali ada yang ganjil terbersit dalam pikiran. Bukankah selama ini
saat belajar sejarah, kita hanya menemukan sesuatu yang monoton bahkan
cenderung membosankan. Hafalin nama tokoh, nama tempat dan yang paling
menyedihkan harus mengingat angka-angka tanggal yang tak ada rumus pembagi atau
pengurangnya, pokoknya hafal mati, titik! Hal ini jelas sangat jauh dari kata kreatif yang
tertera di judul tersebut. Berpikir berbeda dari apa yang selama ini dimengerti
memang tidak mudah, namun tidak ada salahnya jika mencoba menelusuri guna
mencari tahu; apa dan bagaimana sebenarnya sejarah atau pelajaran sejarah itu
semestinya dipelajari.
Objek kajian sejarah adalah masa lalu,
utamanya berkenaan dengan apa yang dilakukan, dipikirkan dan dihasilkan oleh
manusia. Mengapa harus dipelajari? Ini berkaitan dengan kepentingan masa kini,
setidaknya agar manusia mengerti dan memahami keberadaan dirinya. Karena apa
yang terjadi di masa kini sangat berkaitan dengan apa yang telah dilakukan oleh
manusia di masa lalunya. Dan bagi masa depan setidaknya hal tersebut dapat
dijadikan acuan atau pembelajaran. Sehingga kualitas hidup manusia dari waktu
ke waktu menjadi lebih baik. Berdasarkan hal tersebut maka poin utama dalam
mempelajari sejarah adalah belajar tentang nilai-nilai kehidupan dan kehidupan
manusia di masa lalu sebagai sumber belajarnya.
Rentang
waktu masa lalu sebagai objek kajian sejarah tidak terbatas. Sejam, sehari,
seminggu, sebulan, setahun, seabad, seribu atau bahkan sejuta tahun yang lalu,
semuanya adalah masa lalu. Sementara kita, sebagai orang yang mempelajari
peristiwa di masa lalu tersebut hidup di masa sekarang. Jika masa lalu yang
akan dipelajari itu belum lama, maka sumber yang dapat dipakai tentunya masih
banyak. Namun jika yang dikaji ribuan tahun yang lalu, tentu sumbernya sangat
terbatas. Bahkan seringkali hanya berupa benda, atau bekas-bekas aktivitas
manusia yang berserakan. Tak ada cerita apapun yang tersampaikan dari sisa-sisa
tersebut. Beruntung para sejarawan sudah melakukan rekonstruksinya untuk kita,
namun bukan berarti kita pun tak memiliki kebebasan untuk ikut juga
menganalisis apa yang telah terjadi dari sudut pandang yang dapat kita pahami.
Seperti
apapun sisa yang didapat dari kehidupan masa lalu manusia itu, sejarawan
dituntut dapat mengungkapkan apa yang terjadi. Mulai dari peristiwa, pelaku,
motif, cara hidup atau apa saja dibalik sisa-sisa yang tertinggal tersebut.
Berperan seperti detektif, sejarawan melakukan rekonstruksi, yaitu membangun
kembali suasana kehidupan masa lalu dengan berdasarkan sumber yang tersedia.
Mereka mencoba menginterpretasi setiap sumber yang ada.
Pada
konteks inilah imajinasi diperlukan. Imajinasi sejarawan yang didasarkan data
dan tentu saja dukungan ilmu-ilmu yang lain digunakan untuk menghadirkan masa
lalu yang kemudian dibuatkan deskripsinya, dan pada akhirnya pembaca atau manusia
masa kini dapat mengerti seperti apa masa lalu di balik sisa-sisa peninggalan
tersebut. Realitas demikian tentu membutuhkan kreatifitas dalam berpikir, dan
kreatifitas seperti itu bukan merupakan monopoli sejarawan saja, melainkan bagi
kita yang mempelajari sejarah. Memadukan antara penggalan fakta yang satu
dengan fakta lainnya membutuhkan daya analisa yang membuat kita dicerdaskan.
Belum lagi jika kita juga turut mencoba mencari kemungkinan-kemungkinan yang
bisa saja terjadi namun belum diungkap oleh sejarawan penulisnya, pasti lebih
mengasyikkan dan hal seperti ini sangat dianjurkan dalam mempelajari sejarah.
Sebab kebenaran sejarah itu tidak tunggal. Misalnya saja saat kita mempelajari
sejarah Kerajaan Mataram Kuno (Mataram Jaman Hindu-Budha).
Peninggalan
yang dapat dijadikan sumber bagi pembahasan adalah candi Prambanan atau
Borobudur. Dengan menggunakan imajinasi kita bisa melakukan eksplorasi lebih
lanjut, tidak sekedar mengetahui bahwa kedua candi tersebut merupakan
peninggalan kerajaan Mataram. Melalui pertanyaan-pertanyaan kritis, kita bisa
mengetahui bagaimana kehidupan masyarakat pada saat tersebut. Seperti;
bagaimana candi itu di bangun, ukuran seperti apa yang di gunakan, siapa yang
merancang, siapa yang jadi pekerja, bagaimana suplai logistic bagi para
pekerjanya, dimana mereka tinggal, bagaimana manajemen operasionalnya, dan
masih banyak lagi pertanyaan yang bisa di ajukan.
Dengan
imajinasi dan data yang tersedia kita dapat menjawab berbagai hal dari
pertanyaan-pertanyaan tersebut. Tentu jawaban-jawaban yang ada adalah jawaban
spekulatif, dan perlu pembuktian melalui berbagai argument pembanding, dan
tidak kalah pentingnya adalah hal-hal yang bersifat akademis. Salah atau benar
jawaban yang bisa dimunculkan bukanlah hal terpenting, namun kemampuan
membingkai serpihan menjadi sebuah deskripsi yang bermakna menjadi lebih
penting, dan tentunya kreatifitas berpikir menjadi terasah.
Berdasarkan
hal tersebut banyak ilmuwan kemudian sepakat, bahwa selain sains, sejarah juga
adalah seni. Sebab tidak sekedar pemaparan data atau fakta, namun dalam
mendeskripsikan hasil rekonstruksi selain atas dukungan imajinasi, juga harus
dapat menghadirkan masa lalu pada pembacanya yang hidup di masa kini, sehingga
intuisi dan gaya bahasa yang sesuai pun wajib digunakan. Jika demikian tentu
sejarah tak ubahnya seperti seni-seni yang lain
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Guru
memegang peran yang amat sentral dalam keseluruhan proses pembelajaran. Guru
pun dituntut untuk mampu mewujudkan perilaku mengajar secara tepat agar terjadi
perilaku belajar yang efektif pula dalam diri siswa. Dalam proses belajar
mengajar, guru bisa sebagai motivator belajar. Guru memiliki banyak tugas, baik
yang terikat oleh dinas maupun di luar dinas, dalam bentuk pengabdian. Guru
merupakan profesi/jabatan atau pekerjaan yang memerlukan keahlian khusus
sebagai guru dan tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang di luar bidang
kependidikan.
Noor Rachman Hadjam (2012), mengatakan bahwa
kreativitas dalam pembelajaran merupakan bagian dari suatu sistem yang tidak
terpisahkan dengan terdidik dan pendidik. Peranan kreativitas guru tidak
sekedar membantu proses belajar mengajar dengan mencakup satu aspek dalam diri
manusia saja, akan tetapi mencakup aspe-aspek lainnya yaitu kognitif, afektif,
dan psokomotorik. Secara umum kreativitas guru memiliki fungsi utama yaitu
membantu menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat dan efisien. Salah satu cermin
keberhasilan guru dalam pembelajaran adalah kemampuan dalam mengkreasi media
pembelajaran dan menata lingkungan pembelajaran. Guru akan kesulitan
menumbuhkan kreativitasnya jika ia tidak memahami media pembelajaran, bila
dimanfaatkan secara optimal, memiliki daya tarik tersendiri di mata peserta
didik.
3.2
Saran
Setelah
membahas materi tentang Mengembangan Kreativitas Peserta Didik dalam
Pembelajaran Sejarah, saran yang dapat disampaikan umumnya bagi khalayak yang
telah membaca makalah ini, diharapkan mampu mengetahui bagaimana cara untuk mengembangkan kreativitas peserta didik,
sehingga dengan mengkaji hal tersebut diharapkan mampu menambah wawasan dan
pengetahuan serta dapat diterapkan bagi calon guru.
DAFTAR PUSTAKA
Asrori,
Mohammad. 2009. Psikologi Pembelajaran, Bandung : CV Wacana Prima
Utami
Mundandar. 1992. Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah. Jakarta :
Gramedia Widiasarana Indonesia.
Usman,
Moh. Uzer dan Lilis Setiawati. 1998. Optimalisasi Kegiatan Belajar
Mengajar, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
-
See more at: http://publik22.blogspot.com/2014/05/pengertian-dan-indikator-kreativitas.html#sthash.AGzjTu8v.dpuf
MENGEMBANGKAN KREATIVITAS PESERTA DIDIK DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH
Disusun
untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Strategi Belajar Mengajar
Dosen
Pengampuh Dr. Suranto,
M.Pd
Oleh
EVIE
EKA YULIATI (120210302105)
Kelas B
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2014
KATA PENGANTAR
Dengan mengucap puji syukur
kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya, tidak lupa kami
mengucapkan terima kasih kepada pembimbing yang telah bersedia membimbing kami
dalam penyusunan makalah ini, sehingga penyusunan makalah dengan judul “MENGEMBANGKAN
KREATIVITAS PESERTA DIDIK DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH” dapat berjalan dengan lancar tanpa
ada halangan suatu apapun. Perencanaan, pelaksanaan dan
penyelesaian makalah sebagai salah satu tugas matakuliah Strategi
Belajar Mengajar.
Penulisan makalah ini berdasarkan
literatur yang ada. Penyusun menyadari akan kemampuan yang sangat terbatas
sehingga dalam penyusunan makalah ini banyak kekurangannya. Namun, makalah yang
disajikan sedikit banyak bermanfaat bagi penyusun khususnya dan mahasiswa lain
pada umumnya.
Penyusun juga menyadari penulisan
makalah ini masih jauh dari sempurna, maka dengan hati terbuka penyusun
menerima segala kritik dan saran yang sifatnya membangun demi kesempurnaan
makalah tersebut.
Jember, Oktober
2014
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman Judul ............................................................................................ i
Kata Pengantar ............................................................................................ ii
Daftar Isi ..................................................................................................... iii
BAB 1
PENDAHULUAN ........................................................................ 1
1.1 Latar Belakang.......................................................................................
1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................. 2
1.3 Tujuan ................................................................................................... 2
BAB 2
PEMBAHASAN ........................................................................... 3
2.1 Hakekat Kreativitas...............................................................................
3
2.2 Tipe-tipe atau Jenis-jenis Kreativitas......................................................
8
2.3 Mengembangkan Kreativitas Peserta didik...........................................
8
BAB III
PENUTUP .................................................................................. 18
3.1 Kesimpulan ........................................................................................... 18
3.2 Saran ..................................................................................................... 18
DAFTAR
PUSTAKA .............................................................................. 19
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Guru
memegang peran yang amat sentral dalam keseluruhan proses pembelajaran. Guru
pun dituntut untuk mampu mewujudkan perilaku mengajar secara tepat agar terjadi
perilaku belajar yang efektif pula dalam diri siswa. Dalam proses belajar
mengajar, guru bisa sebagai motivator belajar. Guru memiliki banyak tugas, baik
yang terikat oleh dinas maupun di luar dinas, dalam bentuk pengabdian. Guru
merupakan profesi/jabatan atau pekerjaan yang memerlukan keahlian khusus sebagai
guru dan tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang di luar bidang
kependidikan.
Noor Rachman Hadjam (2012), mengatakan bahwa
kreativitas dalam pembelajaran merupakan bagian dari suatu sistem yang tidak
terpisahkan dengan terdidik dan pendidik. Peranan kreativitas guru tidak
sekedar membantu proses belajar mengajar dengan mencakup satu aspek dalam diri
manusia saja, akan tetapi mencakup aspe-aspek lainnya yaitu kognitif, afektif,
dan psokomotorik. Secara umum kreativitas guru memiliki fungsi utama yaitu membantu
menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat dan efisien. Salah satu cermin
keberhasilan guru dalam pembelajaran adalah kemampuan dalam mengkreasi media
pembelajaran dan menata lingkungan pembelajaran. Guru akan kesulitan
menumbuhkan kreativitasnya jika ia tidak memahami media pembelajaran, bila
dimanfaatkan secara optimal, memiliki daya tarik tersendiri di mata peserta
didik.
Salah satu tugas yang harus
dilaksanakan oleh guru di sekolah adalah memberikan pelayanan kepada para siswa
agar mereka menjadi siswa atau anak didik yang selaras dengan tujuan sekolah.
Melalui bidang pendidikan, guru mempengaruhi aspek kehidupan, baik sosial,
budaya maupun ekonomi. Dalam keseluruhan proses pendidikan, guru merupakan
faktor utama yang bertugas sebagai pendidik. Guru memegang berbagai jenis
peranan yang mau tidak mau harus dilaksanakannya sebagai guru. Selain itu, guru
sebagai pendidik juga harus kreatif dan memiliki kreatifitas agar lebih menarik
perhatian siswa dan proses belajar mengajar tidak membosankan.
1.2
Rumusan Masalah
a)
Bagaimanakah hakekat dari Kreativitas?
b)
Apa saja tipe-tipe Kreativitas?
c)
Bagaimanakah cara guru untuk
mengembngkan kreativitas Peserta Didik dalam Pembelajaran Sejarah?
1.3 Tujuan
a)
Untuk mengetahui dan memahami hakekat
dari Kreativitas.
b)
Untuk mengethui dan memahami tipe-tipe
Kreativitas?
c)
Untuk mengetahui cara guru untuk
mengembngkan kreativitas Peserta Didik dalam Pembelajaran Sejarah?
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Hakekat Kreativitas
Sejatinya
, kreativitas bermula dari cara berpikir kreatif. Pada kurun waktu 1960-an
hingga permulaan tahun 1970-an, sejumlah ahli psikologi sudah tertarik terhadap
kreativitas. Mereka telah berusaha merumuskan, mencirikan, dan
mengembangkannya. Beberap ahli psikologi percaya bahwa kreativitas harus
terbatas pada penemuan atau penciptaan suatu ide tau konsep baru yang
sebelumnya tidak pernah diketahui oleh manusia. Para ahli lainnya mengartikan
kreativitas secara lebih inklusif, yaitu meliputi semua usaha produktif yang
unik dari individu. Pandangan ini lebih bermakna bagi guru yang berusaha untuk
mengembangkan kemampuan kreatif, baik untuk profesinya sendiri maupun untuk
peserta didik dan membantu mereka dalam menggali dan mengembangkan potensinya
secar optimal.
Menurut Lumsdaine (1995), kreativitas adalah mempergunakan imajinasi dan berbagai kemungkinan yang
diperoleh dari interaksi dengan ide atau gagasan, orang lain dan lingkungan
untuk membuat koneksi dan hasil yang baru serta bermakna. Artinya mengembangkan
pemikiran alternatif atau kemungkinan dengan berbagai cara sehingga mampu
melihat sesuatu dari berbagai sudut pandang dalam interaksi individu dengan
lingkungan sehingga diperoleh cara-cara
baru untuk mencapai tujuan yang lebih bermakna.
Secara umum kreativitas dapat
diartikan sebagai pola berpikir atau ide yang timbul secara spontan dan
imajinatif, yang mencirikan hasil artistik, penemuan ilmiah, dan penciptaan
secara mekanik. Kreativitas meliputi hasil sesuatu yang baru, baik sama sekali
baru bagi dunia ilmiah atau budaya maupun secara relatif baru bagi indvidunya
sendiri walaupun mungkin orang lain telah menemukan atau memproduksi
sebelumnya. Seseorang dapat menjadi ahli matematika, ahli filsafat, atau
ilmuwan kreatif, seperti halnya dengan seorang penulis atau seniman kreatif.
Salah
satu masalah yang kritis dalam meneliti, mengidentifikasi, dan mengembangkan
kreativitas ialah bahwa begitu banyak definisi tentang kreativitas. Tetapi
tidak ada satu definisi pun yang dapat diterima secara universal. Skala
sikap adalah alat penilaian hasil belajar yang berupa sejumlah pernyataan sikap
tentang sesuatu yang jawabannya dinyatakan secara berskala, misalnya skala
tiga, empat atau lima. Pengembangan skala sikap dapat mengikuti langkah sebagai
berikut.
a.
Menentukan obyek sikap yang akan
dikembangkan skalanya.
b.
Memilih dan membuat daftar dari konsep
dan kata sifat yang relevan dengan obyek penilaian sikap.
c.
Memilih kata sifat yang tepat dan akan
digunakan dalam skala.
d.
Menentukan skala dan penskoran.
Orang yang
kreatif berhasil mencapai ide, gagasan pemecahan masalah, cara kerja, hal
produk baru. Biasanya melewati beberapa tahap, yaitu 1) Persiapan (Preparation)
adalah mempelajari latar belakang perkara, seluk beluk dan problematikanya. 2)
Konsentrasi (concentration) sepenuhnya memikirkan,masuk luluh, tersersap
dalam perkara yang dihadapi. 3) Inkubasi (Incubation) adalah mencari
kegiatan yang melepaskan diri dari kesibukan pikiran mengenai perkara yang di
hadapi. 4) Iluminasi (Illumination) adalah mendapatkan ide gagasan,pemecahan
penyelesaian, cara kerja, jawaban baru. 5) Verifikasi/ produksi (Verification/
produktion) adalah menghadapi dan memecahkan masalah praktis sehubungan dengan
perwujudan ide, gagasan, pemecahan,penyelesaian, cara kerja, jawaban baru. Kreativitas
penting dipupuk dan dikembangkan pada diri anak karena:
a.
Dengan berkreasi orang dapat mewujudkan
dirinya,dan perwujudan diri termasuk salah satu kebutuhan pokok dalam hidup
manusia
b.
Kreativitas sebagai kemampuan untuk
melihat bermacam-macam kemungkinan penyelesaian terhadap suatu masalah
c.
Kreatif tidak hanya bermanfaat,tetapi
juga memberikan kepuasan terhadap individu
d.
Kreativitaslah yang memungkinkan manusia
meningkatkan kualitas hidupnya
Guilford seperti
yang dikutip oleh Monthy P Satiadrama dan Fidelis E Wawu karakteristik
pemikiran kreatif berkaitan erat dengan lima ciri kemampuan berfikir yaitu 1)
Kelancaran (fluenty) adalah kemampuan memproduksi banyak gagasan. 2)
Keluwesan (flexibility) adalah kemampuan untuk mengajukan berbagai
pendekatan atau pemecahan masaalah. 3) Keaslian (originality) adalah
merupakan kemampuan untuk melahirkan gagasan asli sebagai hasil pemikiran
sendiri. 4) Penguraian (elaboration) adalah kemampuan untuk menguraikan
sesuatu secara terperinci. 5) Perumusan kembali (redefinision) adalah merupakan
kemampuan untuk mengkaji suatu persoalan melalui cara dan perspektif yang
berbeda dengan apa yang sudah lalu.
Berdasarkan penenkanannya, definisi-defiisi kreativitas
dapat dibedakan ke dalam dimensi personal atau indivdu (personal), produk (product),
dan publikasi (publication). Rhodes (1961) menyebut keempat dimensi kreativitas
tersebut sebagai the Four P’s of
Creativity. Berikut dikemukakan beberapa sumber:
1.
Kreativitas
mengacu pada kemampuan yang khas dari orang-orang kreatif (Guilford, 1965)
2.
Kreativitas
adalah sebuah proses yang memanifestasikan dirinya dalam kefasihan
(kelancaran), dalam fleksibilitas, juga dalam orisinalitas (S. C. U. Munadar,
1977).
3.
Kemampuan
untuk membawa sesuatu yang baru ke dalam suatu hal yang eksis (Barron, 1969; 1976).
4.
Kreativitas
dapat dianggap sebagai kualitas produk atau tanggapan yang dinilai untuk
menjadi kreatif oleh pengamat yang sesuai (Amabile, 1983).
5.
Kreativitas
adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru. Wujudnya adalah tindakan
manusia (Barron & Harrington, 1981).
Pengertian kreativitas juga dapat
dibedakan ke dalam pengertian konsensual dan konseptual. Pengertian konsensual
menekankan segi produk kreatif yang dinilai derajat kreativitasnya oleh
pengamat yang ahli. Amabile, (1983), mengemukakan bahwa suatu produk atau
respons seseorang dikatakan kreatif apabila menurut penilaian orang yang ahli
atau pengamat yang mempunyai kewenangan dalam bidang itu bahwa itu kreatif.
Dengan demikian, kreativitas merupakan kualitas suatu produk atau respons yang
dinilai kreatif oleh pengamat yang ahli. Sedangkan pengertian konseptual
bertolak dari konsep tertentu tentang kreativitas yang dijabarkan ke dalam
kriteria tentang apa yang disebut kreatif.
Berdasarkan pengertian konseptual
dan konsensual tentang kreativitas, Dedi Supriadi (1989), mengembangkan studi
kreativitas terhadap ilmuan senior. Analog dengan hal itu, maka guru kreatif
dapat dikenali dari kriteria;
a.
Sumbangan
mereka terhadap ilmu pengetahuan.
b.
Keanggotaan
dalam organisasi profesi’
c.
Penghargaan
yang diterima
d.
Jabatan
keahlian yang pernah atau sedang dipegang.
Berdasarkan
beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa kreativitas adalah kemampuan guru untuk mempergunakan imajinasi dan
berbagai kemungkinan yang diperoleh dari interaksi dengan ide atau gagasan,
orang lain dan lingkungan untuk membuat koneksi dan hasil yang baru serta
bermakna.
Proses kreatif
dapat digambarkan dalam empat tingkatan, yaitu:
1. Tingkat
persiapan, usaha dibuat oleh guru untuk memahami dan mengerti tentang kebutuhan
personal. Guru memberikan perhatian secara mendetail terhadap objek sehingga
dipahami secara utuh dalam berbagai dimensi sudut pandang. Sudut pandang paling
tidak meliputi kondisi fisik objek, kegunaan atau manfaat, serta suasana atau
situasi yang terbentuk karena keberadaan objek. Kebutuhan guru akan terkait
dengan ketiga sudut pandang secara parsial, kombinasi maupun sebagai keutuhan.
Contoh pada saat melihat kursi siswa, guru akan memberikan perhatian dari sisi
fisik apakah bentuknya cukup mewakili sebuah kursi atau tempat untuk duduk dan
apakah tidak ada bagian yang membahayakan. Dari sudut pandang kegunaan atau
manfaat apakah kursi cukup kuat untuk diduduki atau menahan berat badan siswa.
Dari sudut pandang suasana atau situasi yang tercipta apakah posisi kursi tidak
menghalangi siswa atau guru berjalan, mendukung suanasana kelas yang
menyamankan dan apakah cukup pantas untuk menempati bagian dari ruangan.
2. Tingkat
inkubasi (pengeraman), yaitu upaya untuk mengembangkan ide dari perhatian yang
diberikan untuk menjawab persoalan yang dihadapi guru. Contoh : pada saat
sekolah memiliki ruangan dengan ukuran
tertentu yang harus menampung sejumlah siswa untuk duduk dan menulis, maka
bentuk dan ukuran kursi seperti apa yang harus dibuat atau dibeli sehingga memenuhi
tujuan yang diharapkan.
3. Tingkat
wawasan, yang membawa guru pada pengertian baru. Artinya terbuka kemungkinan
terjadi perubahan bentuk, ukuran dan fungsi dari suatu objek untuk memenuhi
beberapa tujuan yang diharapkan. Contoh: ruangan yang ada tidak memungkinkan
diisi dengan meja dan kursi karena akan membuat siswa tidak leluasa bergerak.
Hal yang dibutuhkan adalah kursi yang juga berfungsi sebagai meja dan tempat
menyimpan barang/tas, cukup ringan untuk dipindahkan dan dirapikan dengan cara
melipat kursi, mampu menahan beban sebarat 30 – 50 kg dan tinggi 120 – 160 cm,
serta cukup memberi ruangan untuk bergerak keluar dan duduk.
4. Tingkat
pengesahan/penemuan, yang menyadarkan guru tentang ide kreatif pengesahan atau
tingkat implementasi. Upaya mewujudkan ide dalam bentuk nyata. Contoh: untuk
memperoleh kursi sesuai kebutuhan pada tingkat wawasan awalnya perlu dibuatkan
gambar, mempertimbangkan bahan, mengerjakan, menata dalam ruangan dan
memanfaatkan benda baru.
Kreativitas
tidak hanya tergantung pada potensi bawaan yang khusus, tetapi juga pada
perbedaan mekanisme mental atau sikap mental yang menjadi sarana untuk
mengungkapkan sifat bawaan tersebut. Menurut Hurlock (2005:11) beberapa
kegiatan untuk meningkatkan kreativitas adalah:
a.
Waktu. Untuk menjadi kreatif kegiatan anak seharusnya jangan diatur sedemikian
rupa sehingga anak mempunyai sedikit waktu bebas untuk bermain-main dengan
gagasan dan konsep yang dipahaminya.
b.
Kesempatan. Apabila mendapat tekanan dari kelompok, kemudian anak menyendiri,
maka ia menjadi lebih kreatif.
c.
Dorongan. Orang tua sangat berperan dalam hal ini, anak seharusnya dibebaskan
dari ejekan dan kritik yang sering kali memojokkan anak.
d.
Sarana. Harus disediakan untuk merangsang dorongan eksperimen dan eksplorasi
yang merupakan unsur penting dari kreativitas.
e.
Lingkungan. Keadaan lingkungan yang merangsang kreativitas anak.
f.
Hubungan dengan orang tua. Orang tua yang terlalu melindungi atau terlalu
posesif terhadap anak dapat menghambat proses kreativitas.
g.
Cara mendidik anak. Mendidik secara demokratis dan permisif di rumah dan di
sekolah akan meningkatkan kreativitas, sedangkan mendidik dengan cara otoriter
menghambat proses kreativitas.
h.
Pengetahuan. Semakin banyak pengetahuan yang diperoleh anak maka semakin banyak
dasar untuk mencapai peningkatan kreativitas.
2.2 Tipe-tipe
atau Jenis-jenis Kreativitas
Berdasarkan
penelitian kreativitas dapat diidentifikasikan menjadi tiga tipe kreativitas
yang berbeda yaitu :
1.
Menciptakan
Menciptakan
adalah proses,
berupa untuk mencari sesuatu dari tidak ada menjadi ada
2.
Memodifikasi sesuatu
Dalam
memodifikasi sesuatu, berupa untuk mencari cara-cara membentuk fungsi-fungsi
baru atau menjadikan sesuatu menjadi berbeda penggunaannya oleh orang lain.
3.
Mengkombinasikan
Mengkombinasikan
dua hal atau lebih yang sebelumnya tidak saling berhubungan. Contohnya seperti
pesawat telepon yang diciptakan karena hasil sintesis atau
kombinasi.
2.3 Mengembangkan
Kreativitas Peserta didik dalam Pembelajaran Sejarah
Selama
di sekolah, guru mempunyai peran penting terhadap penyesuaian emosional dan
sosial anak dan terhadap perkembangan kepribadiannya. Sehubungan dengan
perkembangan intelektual, pada semua jenjang pendidikan guru merupakan kunci
kegiatan belajar siswa yang berhasil guna (efektif), terutama pada tingkat
sekolah dasar. Hal ini mudah dipahami karena di sekolah dasar umumnya seluruh
pelajaran dipegang oleh guru kelas, kecuali mingkin untuk pelajaran seperti
Agama, Olahraga, dan Kesenian yang menuntut keterampilan khusus dari guru.
Masalah
khusus yang berhubungan dengan pengajaran anak berbakat pada dasarnya merupakan
masalah bagaimana menghadapi perbedaan-perbedaan anak. Perbedaan dalam peran
guru berdasarkan ciri-ciri khas anak berbakat, yang terampil dalam situasi
belajar dan cara guru menangani ciri-ciri tersebut. Karena falsafah pendidikan
mengakui adanya perbedaan individual dan bertujuan mengembangkan bakat dan
kemampuan setiap anak didik secara optimal, maka dengan sendirinya kualifikasi
guru harus berbeda sesuai dengan sifat-sifat dan kemampuan anak didik.
Apakah
implikasinya bagi guru anak berbakat? Implikasi tersebut disimpulkan oleh Barbed
an Renzulli (Munandar, 1999: 62) sebagai berikut:
1.
Pertama-tama guru perlu memahami diri
sendiri, karena anak yang belajar tidak hanya dipengaruhi oleh apa yang
dilakukan guru, tapi juga bagaimana guru melakukannya. Mustahil mengharapkan
seseorang dapat memahami kebutuhan, perasaan, dan perilaku orang lain, jika ia
tidak mengenal diri sendiri. Dalam menghadapi siswa-siswanya, guru yang baik
selalu menilai kemampuan, persepsi, motivasi, dan perasaan-perasaanya sendiri.
Guru perlu menyadari baik kekuatan-kekuatan maupun kelemahan-kelemahannya. Anak
berbakat akan paling maju di bawah bimbingan guru yang memiliki kecerdasan
cukup tinggi, memiliki pengetahuan umum yang luas, serta menguasai mata
pelajaran yang diajarkannya secara cukup mendalam.
Jika
guru pada saat-saat tertentu tidak mengetahui sesuatu dan tidak dapat menjawab
pertanyaan siswanya, adalah lebih baik mengatakan “Saya tidak tahu: marilah
kita cari jawabannya bersama-sama!” atau “Berilah saya waktu untuk
memikirkannya!” Jawaban seperti ini akan lebih mendapat penghargaan dan
kepercayaan siswa daripada jika guru menjawab asal saja. Mengapa? Karena anak
berbakat bersifat kritis, mempunyai kemampuan penalaran yang tinggi, dan suka
mempertanyakan segala sesuatu.
Guru
perlu juga menguji perasaan-perasaannya terhadap anak berbakat. Sikap menguji
atau mempertanyakan dari anak berbakat dapat menjengkelkan guru yang bersifat
otoriter. Penjelasan guru yang biasanya diterima begitu saja oleh kebanyakan
anak mungkin diragukan oleh anak berbakat. Jika guru menunjukkan perasaan tidak
senang oleh pertanyaan-pertanyaan anak berbakat, ia dapat mematikan rasa ingin
tahu anak, sedangkan guru yang terbuka terhadap gagasan dan pengalaman baru
akan meluaskan dimensi minat anak.
2.
Di samping memahami diri sendiri, guru guru perlu memiliki pengertian tentang keberbakatan.
Oleh karena itu, guru
yang akan membina anak berbakat perlu memperoleh informasi dan pengalaman mengenai keberbakatan,
tentang apa yang diartikan tentang keberbakatan, bagaimana cirri-ciri anak
berbakat, dan dengan cara-cara apa saja kebutuhan pendidikan anak berbakat
dapat terpenuhi. Dengan mengetahui kebutuhan-kebutuhan pendidikan anak
berbakat, guru akan menyadari bahwa anak-anak ini memerlukan pelayanan
pendidikan khusus yang terletak di luar jangkauan kurikulum biasa.
3.
Setelah anak berbakat diidentifikasi, guru hendaknya mengusahakan suatu
lingkungan belajar sesuai dengan perkembangan yang unggul dari
kemampuan-kemampuan anak.
Sehubungan
dengan ini guru hendaknya lebih berfungsi sebagai fasilitator belajar daripada
sbagai instructor (pengajar) yang menentukan semuanya. Fungsi pendidik adalah
mempersiapkan siswa untuk belajar seumur hidup. Setiap anak dilahirkan dengan
rasa ingin tahu. Ia terbuka terhadap pengalaman baru dan belajar dari
pengalamannya sesuai dengan kebutuhannya. Hanya sayang, pada waktu anak mulai
masuk sekolah sering dorongan alamiah untuk belajar ini terkekang karena
kurikulu yang kaku dan program belajar yang tidak beragam (berdiferensiasi),
artinya tidak disesuaikan dengan kemampuan dan minat anak.
Jika
dorongan alamiah ini terhambat di sekolah, rasa ingin tahu anak akan mati dan
berganti menjadi sikap apatis, acuh tak acuh. Karena itu, diperlukan motivasi eksternal (berupa dorongan,
pujian, teguran dari guru dan orang tua) dan system penghargaan (nilai-nilai
prestasi belajar, angka rapor) untuk menumbuhkan minat anak. Terutama anak yang
cerdas dan berbakat dengan rasa ingin tahu yang kuat dan minat yang luas akan
merasa terhambat dengan kurikulum yang hanya berorientasi pada mayoritas anak.
Barbe
dan Renzulli (Munandar, 1999: 64) mengungkapkan beberapa saran untuk guru yang
dapat diterapkan pada semua anak, tetapi terutama penting demi peningkatan
kebiasaan belajar seumur hidup dari anak berbakat:
1.
Bentuklah pengalaman belajar dengan rasa ingin tahu alamiah anak dengan
menghadapkan masalah-masalah yang relevan dengan kebutuhan, tujuan, dan minat
anak.
2.
Perkenankanlah anak untuk ikut serta dalam menyusun dan merencanakan
kegiatan-kegiatan belajar.
3.
Berikanlah pengalaman dari kehidupan nyata yang meminta peran serta aktif anak
dan kembangkan kemampuan yang perlu untuk itu.
4.
Bertindaklah, lebih sebagai sumber belajar daripada sebagai penyampai infomasi;
jangan paksakan pengetahuan yang belum siap diterima anak.
5.
Usahakan agar program belajar cukup luwes untuk mendorong siswa melakukan
penyelidikan, percobaan, (eksperimen), dan penemuan sendiri.
6.
Doronglah dan hargailah inisiatif, keinginan mengetahui dan menguji, serta
orisinalitas.
7.
Biarkan anak belajar dari kesalahannya dan menerima akibatnya (tentu saja
selama tidak berbahaya dan membahayakan).
Macam
kegiatan belajar yang lebih berorientasi kepada proses daripada terhadap produk
semata-mata dapat dilihat dari contoh-contoh berikut ini.
Pemecahan
masalah dengan lebih menekankan pada proses memperoleh jawaban daripada
jawabannya sendiri.
a.
Membuat klasifikasi (penggolongan).
b.
Membandingkan dan mempertentangkan.
c.
Membuat pertimbangan sesuai dengan
criteria tertentu.
d.
Menggunakan sumber-sumber (kamus, ensiklopedi,
perpustakaan).
e.
Melakukan proyek penelitian.
f.
Melakukan diskusi.
g.
Membuat perencanaan kegiatan.
h.
Mengevaluasi pengalaman.
Anak
harus belajar menilai pekerjaannya sendiri, tidak dalam angka tetapi dalam
kaitan dengan kebutuhan dan tujuannya. Penilaian oleh diri sendiri ini disebut evaluasi intrinsik sedangkan penilaian
dari luar (oleh orang lain) disebut evaluasi
ekstrinsik. Ini tidak berarti bahwa guru tidak boleh menilai kemajuan dan
prestasi anak. Hal ini perlu agar guru dapat mengetahui kekuatan dan kelemahan
anak sebagai dasar untuk membantu meningkatkan prestasinya. Guru dapat
memberikan umpan-balik dengan membuat catatan yang menyatakan dimana letak
kesalahan anak dan bagaimana ia sendiri dapat memperbaikinya. Jika nilai dalam
bentuk angka harus diberikan, maka sebaiknya dilengkapi dengan catatan
penjelasan.
Guru
anak berbakat harus menyediakan beberapa alternatif
strategi belajar. Termasuk salah satu hal penting yang perlu diketahui anak
ialah bahwa ada lebih dari satu cara untuk mencapai sasaran atau tujuan, ada
macam-macam kemungkinan jawaban terhadap satu masalah, ada beberapa cara untuk
mengelompokkan objek, dan ada beberapa sudut pandang dalam diskusi. Sering guru
menekankan bahwa suatu tujuan atau jawaban hanya dapat dicapai dengan satu cara,
bahwa hanya satu jawaban yang benar terhadap suatu masalah.
Hendaknya
anak diperbolehkan menjajaki beberapa cara atau jalan untuk mencapai tujuan.
Kreativitas akan berkembang dalam suasana yang memberika kebebasan untuk
menyelidiki. Jika anak tidak dengan sendirinya melihat macam-macam jalan yang
dapat ditempuh, hendaknya guru mengarahkan sehingga ia dapat melihat adanya
macam-macam alternative strategi belajar.
8. Guru
hendaknya dapat menciptakan suasana di dalam kelas yang menunjang rasa percaya diri anak serta dimana anak merasa aman dan berani mengambil resiko
dalam menentukan pendapat dan keputusan. Hendaknya setiap anak merasa aman
untuk mencoba cara-cara baru dan menjajaki gagasan-gagasan baru di dalam kelas.
Banyak anak yang kreatif terlambat dalam ungkapan diri karena takut mendapat
kritik, takut gagal, takut membuat kesalahan, takut tidak disenangi guru, atau
takut tidak memenuhi harapan orang tua.
Dengan
menciptakan suasana di dalam kelas dimana setiap anak merasa dirinya diterima
dan dihargai, serta guru menunjukkan bahwa ia percaya akan kemampuan anak, maka
akan terpupuk rasa harga diri anak.
Bagaimana
guru dapat menciptakan suasana seperti ini?
Beberapa
saran yang dapat diberikan:
a.
Guru menghargai kreativitas anak.
b.
Guru bersikap terbuka terhadap
gagasan-gagasan baru.
c.
Guru mengakui dan menghargai adanya
perbedaan individual.
d.
Guru bersikap menerima dan menunjang
anak.
e.
Guru menyediakan pengalaman belajar yang
berdiferensiasi.
f.
Guru cukup memberikan struktur dalam
mengajar sehingga anak tidak merasa ragu-ragu tetapi di lain pihak cukup luwes
sehingga tidak menghambat pemikiran, sikap, dan perilaku kreatif anak.
g.
Setiap anak ikut mengambil bagian dalam
merencanakan pekerjaan sendiri dan pekerjaan kelompok.
h.
Guru tidak bersikap sebagai tokoh yang
“maha mengetahui” tetapi menyadari keterbatasannya sendiri.
Mata
Pelajaran IPS Sejarah merupakan pengetahuan tentang peristiwa dan perubahan
masyarakat masa lalu dengan prinsip sebab akibat dan kronologis peristiwa yang
terjadi di masyarakat. Dengan mempelajari sejarah diharapkan siswa mampu
memahami fakta, peristiwa dan perubahan masyarakat masa lalu, mengembangkan
cara berfikir kritis dan mengimplementasikan ilmu yang diperolehnya dalam
kehidupan sehari-hari.
Tingkat
pengetahuan dan pemahaman siswa dalam materi sejarah masih tergolong rendah.
Hal ini disebabkan minat siswa belajar sejarah cenderung rendah dan akhirnya
berimplikasi pada rendahnya hasil belajar siswa. Rata-rata nilai ulangan harian
siswa hanya mencapai nilai KKM, yaitu 72. Padahal tingkat pemahaman konsep dan
analisis materinya tidaklah terlalu sulit.
Kurangnya
minat dan rendahnya prestasi belajar siswa dalam mata pelajaran Sejarah
kemungkinan juga disebabkan oleh faktor guru yang belum mampu mengembangkan
kreativitas dan kurang optimal dalam melibatkan siswa pada kegiatan belajar
mengajar serta belum melakukan berbagai inovasi dalam pembelajaran.
Pada
kegiatan pembelajaran siswa menyimak materi dan terlihat seakan-akan telah
memahami materi, tetapi ketika diadakan evaluasi dengan memberikan soal ulangan
harian, rata-rata ketuntasan siswa tidak mencapai hasil yang diharapkan. Bertolak
dari kenyataan di atas, maka penulis sebagai guru IPS Sejarah mencoba melakukan
inovasi pembelajaran dengan tujuan meningkatkan kualitas proses belajar
mengajar sehingga hasil belajar siswa dapat dioptimalkan. Perhatian tertuju
pada berbagai kegiatan yang disenangi siswa dengan tujuan melakukan
sinkronisasi kesenangan siswa dengan kegiatan pembelajaran. Salah satu kegiatan
yang banyak disukai oleh siswa adalah menonton siaran televisi. Mereka sering
menghabiskan berjam-jam waktu menonton acara kesayangan mereka di televisi. Berdasarkan
pengamatan tersebut, maka dicoba mengembangkan suatu model pembelajaran dengan
mengadopsi salah satu acara televisi, yaitu acara Dialog Interaktif. Dialog
interaktif ini dipilih karena sesuai dengan karasteristik materi sejarah yang
banyak mendeskripsikan peristiwa-peristiwa penting pada masa lampau.
Prestasi
belajar siswa banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik berasal dari
dirinya (internal) maupun dari luar dirinya (eksternal). Prestasi belajar yang
dicapai siswa pada hakekekatnya merupakan hasil interaksi antara berbagai
faktor tersebut. Oleh karena itu, pengenalan guru terhadap faktor yang dapat
mempengaruhi prestasi belajar siswa penting sekali artinya dalam rangka
membantu siswa mencapai prestasi belajar yang optimal sesuai dengan
kemampuannya masing-masing. Adapun karakteristik anak dalam belajar
menurut Usman (1993: 11) meliputi: (1) cepat dalam belajar; (2) lambat belajar;
(3) anak yang kreatif; (4) underachiever; dan (4) anak yang gagal (drop-out).
Membaca
judul barangkali ada yang ganjil terbersit dalam pikiran. Bukankah selama ini
saat belajar sejarah, kita hanya menemukan sesuatu yang monoton bahkan
cenderung membosankan. Hafalin nama tokoh, nama tempat dan yang paling
menyedihkan harus mengingat angka-angka tanggal yang tak ada rumus pembagi atau
pengurangnya, pokoknya hafal mati, titik! Hal ini jelas sangat jauh dari kata kreatif yang
tertera di judul tersebut. Berpikir berbeda dari apa yang selama ini dimengerti
memang tidak mudah, namun tidak ada salahnya jika mencoba menelusuri guna
mencari tahu; apa dan bagaimana sebenarnya sejarah atau pelajaran sejarah itu
semestinya dipelajari.
Objek kajian sejarah adalah masa lalu,
utamanya berkenaan dengan apa yang dilakukan, dipikirkan dan dihasilkan oleh
manusia. Mengapa harus dipelajari? Ini berkaitan dengan kepentingan masa kini,
setidaknya agar manusia mengerti dan memahami keberadaan dirinya. Karena apa
yang terjadi di masa kini sangat berkaitan dengan apa yang telah dilakukan oleh
manusia di masa lalunya. Dan bagi masa depan setidaknya hal tersebut dapat
dijadikan acuan atau pembelajaran. Sehingga kualitas hidup manusia dari waktu
ke waktu menjadi lebih baik. Berdasarkan hal tersebut maka poin utama dalam
mempelajari sejarah adalah belajar tentang nilai-nilai kehidupan dan kehidupan
manusia di masa lalu sebagai sumber belajarnya.
Rentang
waktu masa lalu sebagai objek kajian sejarah tidak terbatas. Sejam, sehari,
seminggu, sebulan, setahun, seabad, seribu atau bahkan sejuta tahun yang lalu,
semuanya adalah masa lalu. Sementara kita, sebagai orang yang mempelajari
peristiwa di masa lalu tersebut hidup di masa sekarang. Jika masa lalu yang
akan dipelajari itu belum lama, maka sumber yang dapat dipakai tentunya masih
banyak. Namun jika yang dikaji ribuan tahun yang lalu, tentu sumbernya sangat
terbatas. Bahkan seringkali hanya berupa benda, atau bekas-bekas aktivitas
manusia yang berserakan. Tak ada cerita apapun yang tersampaikan dari sisa-sisa
tersebut. Beruntung para sejarawan sudah melakukan rekonstruksinya untuk kita,
namun bukan berarti kita pun tak memiliki kebebasan untuk ikut juga
menganalisis apa yang telah terjadi dari sudut pandang yang dapat kita pahami.
Seperti
apapun sisa yang didapat dari kehidupan masa lalu manusia itu, sejarawan
dituntut dapat mengungkapkan apa yang terjadi. Mulai dari peristiwa, pelaku,
motif, cara hidup atau apa saja dibalik sisa-sisa yang tertinggal tersebut.
Berperan seperti detektif, sejarawan melakukan rekonstruksi, yaitu membangun
kembali suasana kehidupan masa lalu dengan berdasarkan sumber yang tersedia.
Mereka mencoba menginterpretasi setiap sumber yang ada.
Pada
konteks inilah imajinasi diperlukan. Imajinasi sejarawan yang didasarkan data
dan tentu saja dukungan ilmu-ilmu yang lain digunakan untuk menghadirkan masa
lalu yang kemudian dibuatkan deskripsinya, dan pada akhirnya pembaca atau manusia
masa kini dapat mengerti seperti apa masa lalu di balik sisa-sisa peninggalan
tersebut. Realitas demikian tentu membutuhkan kreatifitas dalam berpikir, dan
kreatifitas seperti itu bukan merupakan monopoli sejarawan saja, melainkan bagi
kita yang mempelajari sejarah. Memadukan antara penggalan fakta yang satu
dengan fakta lainnya membutuhkan daya analisa yang membuat kita dicerdaskan.
Belum lagi jika kita juga turut mencoba mencari kemungkinan-kemungkinan yang
bisa saja terjadi namun belum diungkap oleh sejarawan penulisnya, pasti lebih
mengasyikkan dan hal seperti ini sangat dianjurkan dalam mempelajari sejarah.
Sebab kebenaran sejarah itu tidak tunggal. Misalnya saja saat kita mempelajari
sejarah Kerajaan Mataram Kuno (Mataram Jaman Hindu-Budha).
Peninggalan
yang dapat dijadikan sumber bagi pembahasan adalah candi Prambanan atau
Borobudur. Dengan menggunakan imajinasi kita bisa melakukan eksplorasi lebih
lanjut, tidak sekedar mengetahui bahwa kedua candi tersebut merupakan
peninggalan kerajaan Mataram. Melalui pertanyaan-pertanyaan kritis, kita bisa
mengetahui bagaimana kehidupan masyarakat pada saat tersebut. Seperti;
bagaimana candi itu di bangun, ukuran seperti apa yang di gunakan, siapa yang
merancang, siapa yang jadi pekerja, bagaimana suplai logistic bagi para
pekerjanya, dimana mereka tinggal, bagaimana manajemen operasionalnya, dan
masih banyak lagi pertanyaan yang bisa di ajukan.
Dengan
imajinasi dan data yang tersedia kita dapat menjawab berbagai hal dari
pertanyaan-pertanyaan tersebut. Tentu jawaban-jawaban yang ada adalah jawaban
spekulatif, dan perlu pembuktian melalui berbagai argument pembanding, dan
tidak kalah pentingnya adalah hal-hal yang bersifat akademis. Salah atau benar
jawaban yang bisa dimunculkan bukanlah hal terpenting, namun kemampuan
membingkai serpihan menjadi sebuah deskripsi yang bermakna menjadi lebih
penting, dan tentunya kreatifitas berpikir menjadi terasah.
Berdasarkan
hal tersebut banyak ilmuwan kemudian sepakat, bahwa selain sains, sejarah juga
adalah seni. Sebab tidak sekedar pemaparan data atau fakta, namun dalam
mendeskripsikan hasil rekonstruksi selain atas dukungan imajinasi, juga harus
dapat menghadirkan masa lalu pada pembacanya yang hidup di masa kini, sehingga
intuisi dan gaya bahasa yang sesuai pun wajib digunakan. Jika demikian tentu
sejarah tak ubahnya seperti seni-seni yang lain
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Guru
memegang peran yang amat sentral dalam keseluruhan proses pembelajaran. Guru
pun dituntut untuk mampu mewujudkan perilaku mengajar secara tepat agar terjadi
perilaku belajar yang efektif pula dalam diri siswa. Dalam proses belajar
mengajar, guru bisa sebagai motivator belajar. Guru memiliki banyak tugas, baik
yang terikat oleh dinas maupun di luar dinas, dalam bentuk pengabdian. Guru
merupakan profesi/jabatan atau pekerjaan yang memerlukan keahlian khusus
sebagai guru dan tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang di luar bidang
kependidikan.
Noor Rachman Hadjam (2012), mengatakan bahwa
kreativitas dalam pembelajaran merupakan bagian dari suatu sistem yang tidak
terpisahkan dengan terdidik dan pendidik. Peranan kreativitas guru tidak
sekedar membantu proses belajar mengajar dengan mencakup satu aspek dalam diri
manusia saja, akan tetapi mencakup aspe-aspek lainnya yaitu kognitif, afektif,
dan psokomotorik. Secara umum kreativitas guru memiliki fungsi utama yaitu
membantu menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat dan efisien. Salah satu cermin
keberhasilan guru dalam pembelajaran adalah kemampuan dalam mengkreasi media
pembelajaran dan menata lingkungan pembelajaran. Guru akan kesulitan
menumbuhkan kreativitasnya jika ia tidak memahami media pembelajaran, bila
dimanfaatkan secara optimal, memiliki daya tarik tersendiri di mata peserta
didik.
3.2
Saran
Setelah
membahas materi tentang Mengembangan Kreativitas Peserta Didik dalam
Pembelajaran Sejarah, saran yang dapat disampaikan umumnya bagi khalayak yang
telah membaca makalah ini, diharapkan mampu mengetahui bagaimana cara untuk mengembangkan kreativitas peserta didik,
sehingga dengan mengkaji hal tersebut diharapkan mampu menambah wawasan dan
pengetahuan serta dapat diterapkan bagi calon guru.
DAFTAR PUSTAKA
Asrori,
Mohammad. 2009. Psikologi Pembelajaran, Bandung : CV Wacana Prima
Utami
Mundandar. 1992. Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah. Jakarta :
Gramedia Widiasarana Indonesia.
Usman,
Moh. Uzer dan Lilis Setiawati. 1998. Optimalisasi Kegiatan Belajar
Mengajar, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
-
See more at: http://publik22.blogspot.com/2014/05/pengertian-dan-indikator-kreativitas.html#sthash.AGzjTu8v.dpuf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar