Kamis, 18 Desember 2014

MENGEMBANGKAN KREATIVITAS PESERTA DIDIK DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH

 







MENGEMBANGKAN KREATIVITAS PESERTA DIDIK DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Strategi Belajar Mengajar
Dosen Pengampuh Dr. Suranto, M.Pd






Oleh
EVIE EKA YULIATI (120210302105)
Kelas B

                                                                                                                   



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2014

KATA PENGANTAR


Dengan mengucap puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya, tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada pembimbing yang telah bersedia membimbing kami dalam penyusunan makalah ini, sehingga penyusunan makalah dengan judul “MENGEMBANGKAN KREATIVITAS PESERTA DIDIK DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH” dapat berjalan dengan lancar tanpa ada halangan suatu apapun. Perencanaan, pelaksanaan dan penyelesaian makalah sebagai salah satu tugas matakuliah Strategi Belajar Mengajar.
Penulisan makalah ini berdasarkan literatur yang ada. Penyusun menyadari akan kemampuan yang sangat terbatas sehingga dalam penyusunan makalah ini banyak kekurangannya. Namun, makalah yang disajikan sedikit banyak bermanfaat bagi penyusun khususnya dan mahasiswa lain pada umumnya.
Penyusun juga menyadari penulisan makalah ini masih jauh dari sempurna, maka dengan hati terbuka penyusun menerima segala kritik dan saran yang sifatnya membangun demi kesempurnaan makalah tersebut.


Jember, Oktober 2014



Penulis







DAFTAR ISI

Halaman Judul ............................................................................................  i
Kata Pengantar ............................................................................................  ii
Daftar Isi .....................................................................................................  iii
BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................................  1
1.1 Latar Belakang....................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................  2
1.3 Tujuan ...................................................................................................  2
BAB 2 PEMBAHASAN ...........................................................................  3
2.1 Hakekat Kreativitas............................................................................... 3
2.2 Tipe-tipe atau Jenis-jenis Kreativitas...................................................... 8
2.3 Mengembangkan Kreativitas Peserta didik........................................... 8
BAB III PENUTUP ..................................................................................  18
3.1 Kesimpulan ...........................................................................................  18
3.2 Saran .....................................................................................................  18
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................  19







BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Guru memegang peran yang amat sentral dalam keseluruhan proses pembelajaran. Guru pun dituntut untuk mampu mewujudkan perilaku mengajar secara tepat agar terjadi perilaku belajar yang efektif pula dalam diri siswa. Dalam proses belajar mengajar, guru bisa sebagai motivator belajar. Guru memiliki banyak tugas, baik yang terikat oleh dinas maupun di luar dinas, dalam bentuk pengabdian. Guru merupakan profesi/jabatan atau pekerjaan yang memerlukan keahlian khusus sebagai guru dan tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang di luar bidang kependidikan.
Noor Rachman Hadjam (2012), mengatakan bahwa kreativitas dalam pembelajaran merupakan bagian dari suatu sistem yang tidak terpisahkan dengan terdidik dan pendidik. Peranan kreativitas guru tidak sekedar membantu proses belajar mengajar dengan mencakup satu aspek dalam diri manusia saja, akan tetapi mencakup aspe-aspek lainnya yaitu kognitif, afektif, dan psokomotorik. Secara umum kreativitas guru memiliki fungsi utama yaitu membantu menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat dan efisien. Salah satu cermin keberhasilan guru dalam pembelajaran adalah kemampuan dalam mengkreasi media pembelajaran dan menata lingkungan pembelajaran. Guru akan kesulitan menumbuhkan kreativitasnya jika ia tidak memahami media pembelajaran, bila dimanfaatkan secara optimal, memiliki daya tarik tersendiri di mata peserta didik.
Salah satu tugas yang harus dilaksanakan oleh guru di sekolah adalah memberikan pelayanan kepada para siswa agar mereka menjadi siswa atau anak didik yang selaras dengan tujuan sekolah. Melalui bidang pendidikan, guru mempengaruhi aspek kehidupan, baik sosial, budaya maupun ekonomi. Dalam keseluruhan proses pendidikan, guru merupakan faktor utama yang bertugas sebagai pendidik. Guru memegang berbagai jenis peranan yang mau tidak mau harus dilaksanakannya sebagai guru. Selain itu, guru sebagai pendidik juga harus kreatif dan memiliki kreatifitas agar lebih menarik perhatian siswa dan proses belajar mengajar tidak membosankan.
1.2 Rumusan Masalah
a)      Bagaimanakah hakekat dari Kreativitas?
b)      Apa saja tipe-tipe Kreativitas?
c)      Bagaimanakah cara guru untuk mengembngkan kreativitas Peserta Didik dalam Pembelajaran Sejarah?

1.3 Tujuan
a)      Untuk mengetahui dan memahami hakekat dari Kreativitas.
b)      Untuk mengethui dan memahami tipe-tipe Kreativitas?
c)      Untuk mengetahui cara guru untuk mengembngkan kreativitas Peserta Didik dalam Pembelajaran Sejarah?




















BAB II PEMBAHASAN

2.1 Hakekat Kreativitas
Sejatinya , kreativitas bermula dari cara berpikir kreatif. Pada kurun waktu 1960-an hingga permulaan tahun 1970-an, sejumlah ahli psikologi sudah tertarik terhadap kreativitas. Mereka telah berusaha merumuskan, mencirikan, dan mengembangkannya. Beberap ahli psikologi percaya bahwa kreativitas harus terbatas pada penemuan atau penciptaan suatu ide tau konsep baru yang sebelumnya tidak pernah diketahui oleh manusia. Para ahli lainnya mengartikan kreativitas secara lebih inklusif, yaitu meliputi semua usaha produktif yang unik dari individu. Pandangan ini lebih bermakna bagi guru yang berusaha untuk mengembangkan kemampuan kreatif, baik untuk profesinya sendiri maupun untuk peserta didik dan membantu mereka dalam menggali dan mengembangkan potensinya secar optimal.
Menurut Lumsdaine (1995), kreativitas adalah mempergunakan imajinasi dan berbagai kemungkinan yang diperoleh dari interaksi dengan ide atau gagasan, orang lain dan lingkungan untuk membuat koneksi dan hasil yang baru serta bermakna. Artinya mengembangkan pemikiran alternatif atau kemungkinan dengan berbagai cara sehingga mampu melihat sesuatu dari berbagai sudut pandang dalam interaksi individu dengan lingkungan  sehingga diperoleh cara-cara baru untuk mencapai tujuan yang lebih bermakna.
Secara umum kreativitas dapat diartikan sebagai pola berpikir atau ide yang timbul secara spontan dan imajinatif, yang mencirikan hasil artistik, penemuan ilmiah, dan penciptaan secara mekanik. Kreativitas meliputi hasil sesuatu yang baru, baik sama sekali baru bagi dunia ilmiah atau budaya maupun secara relatif baru bagi indvidunya sendiri walaupun mungkin orang lain telah menemukan atau memproduksi sebelumnya. Seseorang dapat menjadi ahli matematika, ahli filsafat, atau ilmuwan kreatif, seperti halnya dengan seorang penulis atau seniman kreatif.
Salah satu masalah yang kritis dalam meneliti, mengidentifikasi, dan mengembangkan kreativitas ialah bahwa begitu banyak definisi tentang kreativitas. Tetapi tidak ada satu definisi   pun yang dapat diterima secara universal. Skala sikap adalah alat penilaian hasil belajar yang berupa sejumlah pernyataan sikap tentang sesuatu yang jawabannya dinyatakan secara berskala, misalnya skala tiga, empat atau lima. Pengembangan skala sikap dapat mengikuti langkah sebagai berikut.
a.       Menentukan obyek sikap yang akan dikembangkan skalanya.
b.      Memilih dan membuat daftar dari konsep dan kata sifat yang relevan dengan obyek penilaian sikap.
c.       Memilih kata sifat yang tepat dan akan digunakan dalam skala.
d.      Menentukan skala dan penskoran.     
Orang yang kreatif berhasil mencapai ide, gagasan pemecahan masalah, cara kerja, hal produk baru. Biasanya melewati beberapa tahap, yaitu 1) Persiapan (Preparation) adalah mempelajari latar belakang perkara, seluk beluk dan problematikanya. 2) Konsentrasi (concentration) sepenuhnya memikirkan,masuk luluh, tersersap dalam perkara yang dihadapi. 3) Inkubasi (Incubation) adalah mencari kegiatan yang melepaskan diri dari kesibukan pikiran mengenai perkara yang di hadapi. 4) Iluminasi (Illumination) adalah mendapatkan ide gagasan,pemecahan penyelesaian, cara kerja, jawaban baru. 5) Verifikasi/ produksi (Verification/ produktion) adalah menghadapi dan memecahkan masalah praktis sehubungan dengan perwujudan ide, gagasan, pemecahan,penyelesaian, cara kerja, jawaban baru. Kreativitas penting dipupuk dan dikembangkan pada diri anak karena:
a.       Dengan berkreasi orang dapat mewujudkan dirinya,dan perwujudan diri termasuk salah satu kebutuhan pokok dalam hidup manusia
b.      Kreativitas sebagai kemampuan untuk melihat bermacam-macam kemungkinan penyelesaian terhadap suatu masalah
c.       Kreatif tidak hanya bermanfaat,tetapi juga memberikan kepuasan terhadap individu
d.      Kreativitaslah yang memungkinkan manusia meningkatkan kualitas hidupnya
Guilford seperti yang dikutip oleh Monthy P Satiadrama dan Fidelis E Wawu karakteristik pemikiran kreatif berkaitan erat dengan lima ciri kemampuan berfikir yaitu 1) Kelancaran (fluenty) adalah kemampuan memproduksi banyak gagasan. 2) Keluwesan (flexibility) adalah kemampuan untuk mengajukan berbagai pendekatan atau pemecahan masaalah. 3) Keaslian (originality) adalah merupakan kemampuan untuk melahirkan gagasan asli sebagai hasil pemikiran sendiri. 4) Penguraian (elaboration) adalah kemampuan untuk menguraikan sesuatu secara terperinci. 5) Perumusan kembali (redefinision) adalah merupakan kemampuan untuk mengkaji suatu persoalan melalui cara dan perspektif yang berbeda dengan apa yang sudah lalu.
Berdasarkan penenkanannya, definisi-defiisi kreativitas dapat dibedakan ke dalam dimensi personal atau indivdu (personal), produk (product), dan publikasi (publication). Rhodes (1961) menyebut keempat dimensi kreativitas tersebut sebagai the Four P’s of Creativity. Berikut dikemukakan beberapa sumber:
1.      Kreativitas mengacu pada kemampuan yang khas dari orang-orang kreatif (Guilford, 1965)
2.      Kreativitas adalah sebuah proses yang memanifestasikan dirinya dalam kefasihan (kelancaran), dalam fleksibilitas, juga dalam orisinalitas (S. C. U. Munadar, 1977).
3.      Kemampuan untuk membawa sesuatu yang baru ke dalam suatu hal yang eksis (Barron, 1969; 1976).
4.      Kreativitas dapat dianggap sebagai kualitas produk atau tanggapan yang dinilai untuk menjadi kreatif oleh pengamat yang sesuai (Amabile, 1983).
5.      Kreativitas adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru. Wujudnya adalah tindakan manusia (Barron & Harrington, 1981).
Pengertian kreativitas juga dapat dibedakan ke dalam pengertian konsensual dan konseptual. Pengertian konsensual menekankan segi produk kreatif yang dinilai derajat kreativitasnya oleh pengamat yang ahli. Amabile, (1983), mengemukakan bahwa suatu produk atau respons seseorang dikatakan kreatif apabila menurut penilaian orang yang ahli atau pengamat yang mempunyai kewenangan dalam bidang itu bahwa itu kreatif. Dengan demikian, kreativitas merupakan kualitas suatu produk atau respons yang dinilai kreatif oleh pengamat yang ahli. Sedangkan pengertian konseptual bertolak dari konsep tertentu tentang kreativitas yang dijabarkan ke dalam kriteria tentang apa yang disebut kreatif.
Berdasarkan pengertian konseptual dan konsensual tentang kreativitas, Dedi Supriadi (1989), mengembangkan studi kreativitas terhadap ilmuan senior. Analog dengan hal itu, maka guru kreatif dapat dikenali dari kriteria;
a.       Sumbangan mereka terhadap ilmu pengetahuan.
b.      Keanggotaan dalam organisasi profesi’
c.       Penghargaan yang diterima
d.      Jabatan keahlian yang pernah atau sedang dipegang.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa kreativitas adalah kemampuan guru untuk mempergunakan imajinasi dan berbagai kemungkinan yang diperoleh dari interaksi dengan ide atau gagasan, orang lain dan lingkungan untuk membuat koneksi dan hasil yang baru serta bermakna.
Proses kreatif dapat digambarkan dalam empat tingkatan, yaitu:
1. Tingkat persiapan, usaha dibuat oleh guru untuk memahami dan mengerti tentang kebutuhan personal. Guru memberikan perhatian secara mendetail terhadap objek sehingga dipahami secara utuh dalam berbagai dimensi sudut pandang. Sudut pandang paling tidak meliputi kondisi fisik objek, kegunaan atau manfaat, serta suasana atau situasi yang terbentuk karena keberadaan objek. Kebutuhan guru akan terkait dengan ketiga sudut pandang secara parsial, kombinasi maupun sebagai keutuhan. Contoh pada saat melihat kursi siswa, guru akan memberikan perhatian dari sisi fisik apakah bentuknya cukup mewakili sebuah kursi atau tempat untuk duduk dan apakah tidak ada bagian yang membahayakan. Dari sudut pandang kegunaan atau manfaat apakah kursi cukup kuat untuk diduduki atau menahan berat badan siswa. Dari sudut pandang suasana atau situasi yang tercipta apakah posisi kursi tidak menghalangi siswa atau guru berjalan, mendukung suanasana kelas yang menyamankan dan apakah cukup pantas untuk menempati bagian dari ruangan.
2. Tingkat inkubasi (pengeraman), yaitu upaya untuk mengembangkan ide dari perhatian yang diberikan untuk menjawab persoalan yang dihadapi guru. Contoh : pada saat sekolah memiliki ruangan  dengan ukuran tertentu yang harus menampung sejumlah siswa untuk duduk dan menulis, maka bentuk dan ukuran kursi seperti apa yang harus dibuat atau dibeli sehingga memenuhi tujuan yang diharapkan.
3. Tingkat wawasan, yang membawa guru pada pengertian baru. Artinya terbuka kemungkinan terjadi perubahan bentuk, ukuran dan fungsi dari suatu objek untuk memenuhi beberapa tujuan yang diharapkan. Contoh: ruangan yang ada tidak memungkinkan diisi dengan meja dan kursi karena akan membuat siswa tidak leluasa bergerak. Hal yang dibutuhkan adalah kursi yang juga berfungsi sebagai meja dan tempat menyimpan barang/tas, cukup ringan untuk dipindahkan dan dirapikan dengan cara melipat kursi, mampu menahan beban sebarat 30 – 50 kg dan tinggi 120 – 160 cm, serta cukup memberi ruangan untuk bergerak keluar dan duduk.
4. Tingkat pengesahan/penemuan, yang menyadarkan guru tentang ide kreatif pengesahan atau tingkat implementasi. Upaya mewujudkan ide dalam bentuk nyata. Contoh: untuk memperoleh kursi sesuai kebutuhan pada tingkat wawasan awalnya perlu dibuatkan gambar, mempertimbangkan bahan, mengerjakan, menata dalam ruangan dan memanfaatkan benda baru.
Kreativitas tidak hanya tergantung pada potensi bawaan yang khusus, tetapi juga pada perbedaan mekanisme mental atau sikap mental yang menjadi sarana untuk mengungkapkan sifat bawaan tersebut. Menurut Hurlock (2005:11) beberapa kegiatan untuk meningkatkan kreativitas adalah:
a. Waktu. Untuk menjadi kreatif kegiatan anak seharusnya jangan diatur sedemikian rupa sehingga anak mempunyai sedikit waktu bebas untuk bermain-main dengan gagasan dan konsep yang dipahaminya.
b. Kesempatan. Apabila mendapat tekanan dari kelompok, kemudian anak menyendiri, maka ia menjadi lebih kreatif.
c. Dorongan. Orang tua sangat berperan dalam hal ini, anak seharusnya dibebaskan dari ejekan dan kritik yang sering kali memojokkan anak.
d. Sarana. Harus disediakan untuk merangsang dorongan eksperimen dan eksplorasi yang merupakan unsur penting dari kreativitas.
e. Lingkungan. Keadaan lingkungan yang merangsang kreativitas anak.
f. Hubungan dengan orang tua. Orang tua yang terlalu melindungi atau terlalu posesif terhadap anak dapat menghambat proses kreativitas.
g. Cara mendidik anak. Mendidik secara demokratis dan permisif di rumah dan di sekolah akan meningkatkan kreativitas, sedangkan mendidik dengan cara otoriter menghambat proses kreativitas.
h. Pengetahuan. Semakin banyak pengetahuan yang diperoleh anak maka semakin banyak dasar untuk mencapai peningkatan kreativitas.

2.2 Tipe-tipe atau Jenis-jenis Kreativitas
Berdasarkan penelitian kreativitas dapat diidentifikasikan menjadi tiga tipe kreativitas yang berbeda yaitu :
1.      Menciptakan
Menciptakan adalah proses, berupa untuk mencari sesuatu dari tidak ada menjadi ada
2.      Memodifikasi sesuatu
Dalam memodifikasi sesuatu, berupa untuk mencari cara-cara membentuk fungsi-fungsi baru atau menjadikan sesuatu menjadi berbeda penggunaannya oleh orang lain.
3.      Mengkombinasikan
Mengkombinasikan dua hal atau lebih yang sebelumnya tidak saling berhubungan. Contohnya seperti pesawat telepon yang diciptakan karena hasil sintesis atau kombinasi.

2.3 Mengembangkan Kreativitas Peserta didik dalam Pembelajaran Sejarah
Selama di sekolah, guru mempunyai peran penting terhadap penyesuaian emosional dan sosial anak dan terhadap perkembangan kepribadiannya. Sehubungan dengan perkembangan intelektual, pada semua jenjang pendidikan guru merupakan kunci kegiatan belajar siswa yang berhasil guna (efektif), terutama pada tingkat sekolah dasar. Hal ini mudah dipahami karena di sekolah dasar umumnya seluruh pelajaran dipegang oleh guru kelas, kecuali mingkin untuk pelajaran seperti Agama, Olahraga, dan Kesenian yang menuntut keterampilan khusus dari guru.
Masalah khusus yang berhubungan dengan pengajaran anak berbakat pada dasarnya merupakan masalah bagaimana menghadapi perbedaan-perbedaan anak. Perbedaan dalam peran guru berdasarkan ciri-ciri khas anak berbakat, yang terampil dalam situasi belajar dan cara guru menangani ciri-ciri tersebut. Karena falsafah pendidikan mengakui adanya perbedaan individual dan bertujuan mengembangkan bakat dan kemampuan setiap anak didik secara optimal, maka dengan sendirinya kualifikasi guru harus berbeda sesuai dengan sifat-sifat dan kemampuan anak didik.
Apakah implikasinya bagi guru anak berbakat? Implikasi tersebut disimpulkan oleh Barbed an Renzulli (Munandar, 1999: 62) sebagai berikut:
1.      Pertama-tama guru perlu memahami diri sendiri, karena anak yang belajar tidak hanya dipengaruhi oleh apa yang dilakukan guru, tapi juga bagaimana guru melakukannya. Mustahil mengharapkan seseorang dapat memahami kebutuhan, perasaan, dan perilaku orang lain, jika ia tidak mengenal diri sendiri. Dalam menghadapi siswa-siswanya, guru yang baik selalu menilai kemampuan, persepsi, motivasi, dan perasaan-perasaanya sendiri. Guru perlu menyadari baik kekuatan-kekuatan maupun kelemahan-kelemahannya. Anak berbakat akan paling maju di bawah bimbingan guru yang memiliki kecerdasan cukup tinggi, memiliki pengetahuan umum yang luas, serta menguasai mata pelajaran yang diajarkannya secara cukup mendalam.
Jika guru pada saat-saat tertentu tidak mengetahui sesuatu dan tidak dapat menjawab pertanyaan siswanya, adalah lebih baik mengatakan “Saya tidak tahu: marilah kita cari jawabannya bersama-sama!” atau “Berilah saya waktu untuk memikirkannya!” Jawaban seperti ini akan lebih mendapat penghargaan dan kepercayaan siswa daripada jika guru menjawab asal saja. Mengapa? Karena anak berbakat bersifat kritis, mempunyai kemampuan penalaran yang tinggi, dan suka mempertanyakan segala sesuatu.
Guru perlu juga menguji perasaan-perasaannya terhadap anak berbakat. Sikap menguji atau mempertanyakan dari anak berbakat dapat menjengkelkan guru yang bersifat otoriter. Penjelasan guru yang biasanya diterima begitu saja oleh kebanyakan anak mungkin diragukan oleh anak berbakat. Jika guru menunjukkan perasaan tidak senang oleh pertanyaan-pertanyaan anak berbakat, ia dapat mematikan rasa ingin tahu anak, sedangkan guru yang terbuka terhadap gagasan dan pengalaman baru akan meluaskan dimensi minat anak.
2.      Di samping memahami diri sendiri, guru guru perlu memiliki pengertian tentang keberbakatan.
      Oleh karena itu, guru yang akan membina anak berbakat perlu memperoleh informasi    dan pengalaman mengenai keberbakatan, tentang apa yang diartikan tentang keberbakatan, bagaimana cirri-ciri anak berbakat, dan dengan cara-cara apa saja kebutuhan pendidikan anak berbakat dapat terpenuhi. Dengan mengetahui kebutuhan-kebutuhan pendidikan anak berbakat, guru akan menyadari bahwa anak-anak ini memerlukan pelayanan pendidikan khusus yang terletak di luar jangkauan kurikulum biasa.
3.    Setelah anak berbakat diidentifikasi, guru hendaknya mengusahakan suatu lingkungan belajar sesuai dengan perkembangan yang unggul dari kemampuan-kemampuan anak.
Sehubungan dengan ini guru hendaknya lebih berfungsi sebagai  fasilitator belajar daripada sbagai instructor (pengajar) yang menentukan semuanya. Fungsi pendidik adalah mempersiapkan siswa untuk belajar seumur hidup. Setiap anak dilahirkan dengan rasa ingin tahu. Ia terbuka terhadap pengalaman baru dan belajar dari pengalamannya sesuai dengan kebutuhannya. Hanya sayang, pada waktu anak mulai masuk sekolah sering dorongan alamiah untuk belajar ini terkekang karena kurikulu yang kaku dan program belajar yang tidak beragam (berdiferensiasi), artinya tidak disesuaikan dengan kemampuan dan minat anak.
Jika dorongan alamiah ini terhambat di sekolah, rasa ingin tahu anak akan mati dan berganti menjadi sikap apatis, acuh tak acuh. Karena itu, diperlukan motivasi eksternal (berupa dorongan, pujian, teguran dari guru dan orang tua) dan system penghargaan (nilai-nilai prestasi belajar, angka rapor) untuk menumbuhkan minat anak. Terutama anak yang cerdas dan berbakat dengan rasa ingin tahu yang kuat dan minat yang luas akan merasa terhambat dengan kurikulum yang hanya berorientasi pada mayoritas anak.
Barbe dan Renzulli (Munandar, 1999: 64) mengungkapkan beberapa saran untuk guru yang dapat diterapkan pada semua anak, tetapi terutama penting demi peningkatan kebiasaan belajar seumur hidup dari anak berbakat:
1. Bentuklah pengalaman belajar dengan rasa ingin tahu alamiah anak dengan menghadapkan masalah-masalah yang relevan dengan kebutuhan, tujuan, dan minat anak.
2. Perkenankanlah anak untuk ikut serta dalam menyusun dan merencanakan kegiatan-kegiatan belajar.
3. Berikanlah pengalaman dari kehidupan nyata yang meminta peran serta aktif anak dan kembangkan kemampuan yang perlu untuk itu.
4. Bertindaklah, lebih sebagai sumber belajar daripada sebagai penyampai infomasi; jangan paksakan pengetahuan yang belum siap diterima anak.
5. Usahakan agar program belajar cukup luwes untuk mendorong siswa melakukan penyelidikan, percobaan, (eksperimen), dan penemuan sendiri.
6. Doronglah dan hargailah inisiatif, keinginan mengetahui dan menguji, serta orisinalitas.
7. Biarkan anak belajar dari kesalahannya dan menerima akibatnya (tentu saja selama tidak berbahaya dan membahayakan).
Macam kegiatan belajar yang lebih berorientasi kepada proses daripada terhadap produk semata-mata dapat dilihat dari contoh-contoh berikut ini.
Pemecahan masalah dengan lebih menekankan pada proses memperoleh jawaban daripada jawabannya sendiri.
a.       Membuat klasifikasi (penggolongan).
b.      Membandingkan dan mempertentangkan.
c.       Membuat pertimbangan sesuai dengan criteria tertentu.
d.      Menggunakan sumber-sumber (kamus, ensiklopedi, perpustakaan).
e.       Melakukan proyek penelitian.
f.       Melakukan diskusi.
g.      Membuat perencanaan kegiatan.
h.      Mengevaluasi pengalaman.
Anak harus belajar menilai pekerjaannya sendiri, tidak dalam angka tetapi dalam kaitan dengan kebutuhan dan tujuannya. Penilaian oleh diri sendiri ini disebut evaluasi intrinsik sedangkan penilaian dari luar (oleh orang lain) disebut evaluasi ekstrinsik. Ini tidak berarti bahwa guru tidak boleh menilai kemajuan dan prestasi anak. Hal ini perlu agar guru dapat mengetahui kekuatan dan kelemahan anak sebagai dasar untuk membantu meningkatkan prestasinya. Guru dapat memberikan umpan-balik dengan membuat catatan yang menyatakan dimana letak kesalahan anak dan bagaimana ia sendiri dapat memperbaikinya. Jika nilai dalam bentuk angka harus diberikan, maka sebaiknya dilengkapi dengan catatan penjelasan.
Guru anak berbakat harus menyediakan beberapa alternatif strategi belajar. Termasuk salah satu hal penting yang perlu diketahui anak ialah bahwa ada lebih dari satu cara untuk mencapai sasaran atau tujuan, ada macam-macam kemungkinan jawaban terhadap satu masalah, ada beberapa cara untuk mengelompokkan objek, dan ada beberapa sudut pandang dalam diskusi. Sering guru menekankan bahwa suatu tujuan atau jawaban hanya dapat dicapai dengan satu cara, bahwa hanya satu jawaban yang benar terhadap suatu masalah.
Hendaknya anak diperbolehkan menjajaki beberapa cara atau jalan untuk mencapai tujuan. Kreativitas akan berkembang dalam suasana yang memberika kebebasan untuk menyelidiki. Jika anak tidak dengan sendirinya melihat macam-macam jalan yang dapat ditempuh, hendaknya guru mengarahkan sehingga ia dapat melihat adanya macam-macam alternative strategi belajar.
8.      Guru hendaknya dapat menciptakan suasana di dalam kelas yang menunjang rasa percaya diri anak serta dimana anak merasa aman dan berani mengambil resiko dalam menentukan pendapat dan keputusan. Hendaknya setiap anak merasa aman untuk mencoba cara-cara baru dan menjajaki gagasan-gagasan baru di dalam kelas. Banyak anak yang kreatif terlambat dalam ungkapan diri karena takut mendapat kritik, takut gagal, takut membuat kesalahan, takut tidak disenangi guru, atau takut tidak memenuhi harapan orang tua.
Dengan menciptakan suasana di dalam kelas dimana setiap anak merasa dirinya diterima dan dihargai, serta guru menunjukkan bahwa ia percaya akan kemampuan anak, maka akan terpupuk rasa harga diri anak.
Bagaimana guru dapat menciptakan suasana seperti ini?
Beberapa saran yang dapat diberikan:
a.       Guru menghargai kreativitas anak.
b.      Guru bersikap terbuka terhadap gagasan-gagasan baru.
c.       Guru mengakui dan menghargai adanya perbedaan individual.
d.      Guru bersikap menerima dan menunjang anak.
e.       Guru menyediakan pengalaman belajar yang berdiferensiasi.
f.       Guru cukup memberikan struktur dalam mengajar sehingga anak tidak merasa ragu-ragu tetapi di lain pihak cukup luwes sehingga tidak menghambat pemikiran, sikap, dan perilaku kreatif anak.
g.      Setiap anak ikut mengambil bagian dalam merencanakan pekerjaan sendiri dan pekerjaan kelompok.
h.      Guru tidak bersikap sebagai tokoh yang “maha mengetahui” tetapi menyadari keterbatasannya sendiri.
Mata Pelajaran IPS Sejarah merupakan pengetahuan tentang peristiwa dan perubahan masyarakat masa lalu dengan prinsip sebab akibat dan kronologis peristiwa yang terjadi di masyarakat. Dengan mempelajari sejarah diharapkan siswa mampu memahami fakta, peristiwa dan perubahan masyarakat masa lalu, mengembangkan cara berfikir kritis dan mengimplementasikan ilmu yang diperolehnya dalam kehidupan sehari-hari.
Tingkat pengetahuan dan pemahaman siswa dalam materi sejarah masih tergolong rendah. Hal ini disebabkan minat siswa belajar sejarah cenderung rendah dan akhirnya berimplikasi pada rendahnya hasil belajar siswa. Rata-rata nilai ulangan harian siswa hanya mencapai nilai KKM, yaitu 72. Padahal tingkat pemahaman konsep dan analisis materinya tidaklah terlalu sulit.
Kurangnya minat dan rendahnya prestasi belajar siswa dalam mata pelajaran Sejarah kemungkinan juga disebabkan oleh faktor guru yang belum mampu mengembangkan kreativitas dan kurang optimal dalam melibatkan siswa pada kegiatan belajar mengajar serta belum melakukan berbagai inovasi dalam pembelajaran.
Pada kegiatan pembelajaran siswa menyimak materi dan terlihat seakan-akan telah memahami materi, tetapi ketika diadakan evaluasi dengan memberikan soal ulangan harian, rata-rata ketuntasan siswa tidak mencapai hasil yang diharapkan. Bertolak dari kenyataan di atas, maka penulis sebagai guru IPS Sejarah mencoba melakukan inovasi pembelajaran dengan tujuan meningkatkan kualitas proses belajar mengajar sehingga hasil belajar siswa dapat dioptimalkan. Perhatian tertuju pada berbagai kegiatan yang disenangi siswa dengan tujuan melakukan sinkronisasi kesenangan siswa dengan kegiatan pembelajaran. Salah satu kegiatan yang banyak disukai oleh siswa adalah menonton siaran televisi. Mereka sering menghabiskan berjam-jam waktu menonton acara kesayangan mereka di televisi. Berdasarkan pengamatan tersebut, maka dicoba mengembangkan suatu model pembelajaran dengan mengadopsi salah satu acara televisi, yaitu acara Dialog Interaktif. Dialog interaktif ini dipilih karena sesuai dengan karasteristik materi sejarah yang banyak mendeskripsikan peristiwa-peristiwa penting pada masa lampau.
Prestasi belajar siswa banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik berasal dari dirinya (internal) maupun dari luar dirinya (eksternal). Prestasi belajar yang dicapai siswa pada hakekekatnya merupakan hasil interaksi antara berbagai faktor tersebut. Oleh karena itu, pengenalan guru terhadap faktor yang dapat mempengaruhi prestasi belajar siswa penting sekali artinya dalam rangka membantu siswa mencapai prestasi belajar yang optimal sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Adapun karakteristik anak dalam belajar  menurut Usman (1993: 11) meliputi: (1) cepat dalam belajar; (2) lambat belajar; (3) anak yang kreatif; (4) underachiever; dan (4) anak yang gagal (drop-out).
Membaca judul barangkali ada yang ganjil terbersit dalam pikiran. Bukankah selama ini saat belajar sejarah, kita hanya menemukan sesuatu yang monoton bahkan cenderung membosankan. Hafalin nama tokoh, nama tempat dan yang paling menyedihkan harus mengingat angka-angka tanggal yang tak ada rumus pembagi atau pengurangnya, pokoknya hafal mati, titik! Hal ini jelas sangat jauh dari kata kreatif yang tertera di judul tersebut. Berpikir berbeda dari apa yang selama ini dimengerti memang tidak mudah, namun tidak ada salahnya jika mencoba menelusuri guna mencari tahu; apa dan bagaimana sebenarnya sejarah atau pelajaran sejarah itu semestinya dipelajari.
            Objek kajian sejarah adalah masa lalu, utamanya berkenaan dengan apa yang dilakukan, dipikirkan dan dihasilkan oleh manusia. Mengapa harus dipelajari? Ini berkaitan dengan kepentingan masa kini, setidaknya agar manusia mengerti dan memahami keberadaan dirinya. Karena apa yang terjadi di masa kini sangat berkaitan dengan apa yang telah dilakukan oleh manusia di masa lalunya. Dan bagi masa depan setidaknya hal tersebut dapat dijadikan acuan atau pembelajaran. Sehingga kualitas hidup manusia dari waktu ke waktu menjadi lebih baik. Berdasarkan hal tersebut maka poin utama dalam mempelajari sejarah adalah belajar tentang nilai-nilai kehidupan dan kehidupan manusia di masa lalu sebagai sumber belajarnya.
Rentang waktu masa lalu sebagai objek kajian sejarah tidak terbatas. Sejam, sehari, seminggu, sebulan, setahun, seabad, seribu atau bahkan sejuta tahun yang lalu, semuanya adalah masa lalu. Sementara kita, sebagai orang yang mempelajari peristiwa di masa lalu tersebut hidup di masa sekarang. Jika masa lalu yang akan dipelajari itu belum lama, maka sumber yang dapat dipakai tentunya masih banyak. Namun jika yang dikaji ribuan tahun yang lalu, tentu sumbernya sangat terbatas. Bahkan seringkali hanya berupa benda, atau bekas-bekas aktivitas manusia yang berserakan. Tak ada cerita apapun yang tersampaikan dari sisa-sisa tersebut. Beruntung para sejarawan sudah melakukan rekonstruksinya untuk kita, namun bukan berarti kita pun tak memiliki kebebasan untuk ikut juga menganalisis apa yang telah terjadi dari sudut pandang yang dapat kita pahami.
Seperti apapun sisa yang didapat dari kehidupan masa lalu manusia itu, sejarawan dituntut dapat mengungkapkan apa yang terjadi. Mulai dari peristiwa, pelaku, motif, cara hidup atau apa saja dibalik sisa-sisa yang tertinggal tersebut. Berperan seperti detektif, sejarawan melakukan rekonstruksi, yaitu membangun kembali suasana kehidupan masa lalu dengan berdasarkan sumber yang tersedia. Mereka mencoba menginterpretasi setiap sumber yang ada.
Pada konteks inilah imajinasi diperlukan. Imajinasi sejarawan yang didasarkan data dan tentu saja dukungan ilmu-ilmu yang lain digunakan untuk menghadirkan masa lalu yang kemudian dibuatkan deskripsinya, dan pada akhirnya pembaca atau manusia masa kini dapat mengerti seperti apa masa lalu di balik sisa-sisa peninggalan tersebut. Realitas demikian tentu membutuhkan kreatifitas dalam berpikir, dan kreatifitas seperti itu bukan merupakan monopoli sejarawan saja, melainkan bagi kita yang mempelajari sejarah. Memadukan antara penggalan fakta yang satu dengan fakta lainnya membutuhkan daya analisa yang membuat kita dicerdaskan. Belum lagi jika kita juga turut mencoba mencari kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi namun belum diungkap oleh sejarawan penulisnya, pasti lebih mengasyikkan dan hal seperti ini sangat dianjurkan dalam mempelajari sejarah. Sebab kebenaran sejarah itu tidak tunggal. Misalnya saja saat kita mempelajari sejarah Kerajaan Mataram Kuno (Mataram Jaman Hindu-Budha).
Peninggalan yang dapat dijadikan sumber bagi pembahasan adalah candi Prambanan atau Borobudur. Dengan menggunakan imajinasi kita bisa melakukan eksplorasi lebih lanjut, tidak sekedar mengetahui bahwa kedua candi tersebut merupakan peninggalan kerajaan Mataram. Melalui pertanyaan-pertanyaan kritis, kita bisa mengetahui bagaimana kehidupan masyarakat  pada saat tersebut. Seperti; bagaimana candi itu di bangun, ukuran seperti apa yang di gunakan, siapa yang merancang, siapa yang jadi pekerja, bagaimana suplai logistic bagi para pekerjanya, dimana mereka tinggal, bagaimana manajemen operasionalnya, dan masih banyak lagi pertanyaan yang bisa di ajukan.
Dengan imajinasi dan data yang tersedia kita dapat menjawab berbagai hal dari pertanyaan-pertanyaan tersebut. Tentu jawaban-jawaban yang ada adalah jawaban spekulatif, dan perlu pembuktian melalui berbagai argument pembanding, dan tidak kalah pentingnya adalah hal-hal yang bersifat akademis. Salah atau benar jawaban yang bisa dimunculkan bukanlah hal terpenting, namun kemampuan membingkai serpihan menjadi sebuah deskripsi yang bermakna menjadi lebih penting, dan tentunya kreatifitas berpikir menjadi terasah.
Berdasarkan hal tersebut banyak ilmuwan kemudian sepakat, bahwa selain sains, sejarah juga adalah seni. Sebab tidak sekedar pemaparan data atau fakta, namun dalam mendeskripsikan hasil rekonstruksi selain atas dukungan imajinasi, juga harus dapat menghadirkan masa lalu pada pembacanya yang hidup di masa kini, sehingga intuisi dan gaya bahasa yang sesuai pun wajib digunakan. Jika demikian tentu sejarah tak ubahnya seperti seni-seni yang lain























BAB III PENUTUP

3.1  Kesimpulan
Guru memegang peran yang amat sentral dalam keseluruhan proses pembelajaran. Guru pun dituntut untuk mampu mewujudkan perilaku mengajar secara tepat agar terjadi perilaku belajar yang efektif pula dalam diri siswa. Dalam proses belajar mengajar, guru bisa sebagai motivator belajar. Guru memiliki banyak tugas, baik yang terikat oleh dinas maupun di luar dinas, dalam bentuk pengabdian. Guru merupakan profesi/jabatan atau pekerjaan yang memerlukan keahlian khusus sebagai guru dan tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang di luar bidang kependidikan.
Noor Rachman Hadjam (2012), mengatakan bahwa kreativitas dalam pembelajaran merupakan bagian dari suatu sistem yang tidak terpisahkan dengan terdidik dan pendidik. Peranan kreativitas guru tidak sekedar membantu proses belajar mengajar dengan mencakup satu aspek dalam diri manusia saja, akan tetapi mencakup aspe-aspek lainnya yaitu kognitif, afektif, dan psokomotorik. Secara umum kreativitas guru memiliki fungsi utama yaitu membantu menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat dan efisien. Salah satu cermin keberhasilan guru dalam pembelajaran adalah kemampuan dalam mengkreasi media pembelajaran dan menata lingkungan pembelajaran. Guru akan kesulitan menumbuhkan kreativitasnya jika ia tidak memahami media pembelajaran, bila dimanfaatkan secara optimal, memiliki daya tarik tersendiri di mata peserta didik.

3.2  Saran
Setelah membahas materi tentang Mengembangan Kreativitas Peserta Didik dalam Pembelajaran Sejarah, saran yang dapat disampaikan umumnya bagi khalayak yang telah membaca makalah ini, diharapkan mampu mengetahui bagaimana cara untuk mengembangkan kreativitas peserta didik, sehingga dengan mengkaji hal tersebut diharapkan mampu menambah wawasan dan pengetahuan serta dapat diterapkan bagi calon guru.

DAFTAR PUSTAKA

Asrori, Mohammad. 2009.  Psikologi Pembelajaran, Bandung : CV Wacana Prima
Utami Mundandar. 1992. Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah. Jakarta : Gramedia Widiasarana Indonesia.
Usman,  Moh. Uzer dan Lilis Setiawati.  1998. Optimalisasi Kegiatan Belajar Mengajar, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
- See more at: http://publik22.blogspot.com/2014/05/pengertian-dan-indikator-kreativitas.html#sthash.AGzjTu8v.dpuf











 






MENGEMBANGKAN KREATIVITAS PESERTA DIDIK DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Strategi Belajar Mengajar
Dosen Pengampuh Dr. Suranto, M.Pd






Oleh
EVIE EKA YULIATI (120210302105)
Kelas B

                                                                                                                   



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2014

KATA PENGANTAR


Dengan mengucap puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya, tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada pembimbing yang telah bersedia membimbing kami dalam penyusunan makalah ini, sehingga penyusunan makalah dengan judul “MENGEMBANGKAN KREATIVITAS PESERTA DIDIK DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH” dapat berjalan dengan lancar tanpa ada halangan suatu apapun. Perencanaan, pelaksanaan dan penyelesaian makalah sebagai salah satu tugas matakuliah Strategi Belajar Mengajar.
Penulisan makalah ini berdasarkan literatur yang ada. Penyusun menyadari akan kemampuan yang sangat terbatas sehingga dalam penyusunan makalah ini banyak kekurangannya. Namun, makalah yang disajikan sedikit banyak bermanfaat bagi penyusun khususnya dan mahasiswa lain pada umumnya.
Penyusun juga menyadari penulisan makalah ini masih jauh dari sempurna, maka dengan hati terbuka penyusun menerima segala kritik dan saran yang sifatnya membangun demi kesempurnaan makalah tersebut.


Jember, Oktober 2014



Penulis







DAFTAR ISI

Halaman Judul ............................................................................................  i
Kata Pengantar ............................................................................................  ii
Daftar Isi .....................................................................................................  iii
BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................................  1
1.1 Latar Belakang....................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................  2
1.3 Tujuan ...................................................................................................  2
BAB 2 PEMBAHASAN ...........................................................................  3
2.1 Hakekat Kreativitas............................................................................... 3
2.2 Tipe-tipe atau Jenis-jenis Kreativitas...................................................... 8
2.3 Mengembangkan Kreativitas Peserta didik........................................... 8
BAB III PENUTUP ..................................................................................  18
3.1 Kesimpulan ...........................................................................................  18
3.2 Saran .....................................................................................................  18
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................  19







BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Guru memegang peran yang amat sentral dalam keseluruhan proses pembelajaran. Guru pun dituntut untuk mampu mewujudkan perilaku mengajar secara tepat agar terjadi perilaku belajar yang efektif pula dalam diri siswa. Dalam proses belajar mengajar, guru bisa sebagai motivator belajar. Guru memiliki banyak tugas, baik yang terikat oleh dinas maupun di luar dinas, dalam bentuk pengabdian. Guru merupakan profesi/jabatan atau pekerjaan yang memerlukan keahlian khusus sebagai guru dan tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang di luar bidang kependidikan.
Noor Rachman Hadjam (2012), mengatakan bahwa kreativitas dalam pembelajaran merupakan bagian dari suatu sistem yang tidak terpisahkan dengan terdidik dan pendidik. Peranan kreativitas guru tidak sekedar membantu proses belajar mengajar dengan mencakup satu aspek dalam diri manusia saja, akan tetapi mencakup aspe-aspek lainnya yaitu kognitif, afektif, dan psokomotorik. Secara umum kreativitas guru memiliki fungsi utama yaitu membantu menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat dan efisien. Salah satu cermin keberhasilan guru dalam pembelajaran adalah kemampuan dalam mengkreasi media pembelajaran dan menata lingkungan pembelajaran. Guru akan kesulitan menumbuhkan kreativitasnya jika ia tidak memahami media pembelajaran, bila dimanfaatkan secara optimal, memiliki daya tarik tersendiri di mata peserta didik.
Salah satu tugas yang harus dilaksanakan oleh guru di sekolah adalah memberikan pelayanan kepada para siswa agar mereka menjadi siswa atau anak didik yang selaras dengan tujuan sekolah. Melalui bidang pendidikan, guru mempengaruhi aspek kehidupan, baik sosial, budaya maupun ekonomi. Dalam keseluruhan proses pendidikan, guru merupakan faktor utama yang bertugas sebagai pendidik. Guru memegang berbagai jenis peranan yang mau tidak mau harus dilaksanakannya sebagai guru. Selain itu, guru sebagai pendidik juga harus kreatif dan memiliki kreatifitas agar lebih menarik perhatian siswa dan proses belajar mengajar tidak membosankan.
1.2 Rumusan Masalah
a)      Bagaimanakah hakekat dari Kreativitas?
b)      Apa saja tipe-tipe Kreativitas?
c)      Bagaimanakah cara guru untuk mengembngkan kreativitas Peserta Didik dalam Pembelajaran Sejarah?

1.3 Tujuan
a)      Untuk mengetahui dan memahami hakekat dari Kreativitas.
b)      Untuk mengethui dan memahami tipe-tipe Kreativitas?
c)      Untuk mengetahui cara guru untuk mengembngkan kreativitas Peserta Didik dalam Pembelajaran Sejarah?




















BAB II PEMBAHASAN

2.1 Hakekat Kreativitas
Sejatinya , kreativitas bermula dari cara berpikir kreatif. Pada kurun waktu 1960-an hingga permulaan tahun 1970-an, sejumlah ahli psikologi sudah tertarik terhadap kreativitas. Mereka telah berusaha merumuskan, mencirikan, dan mengembangkannya. Beberap ahli psikologi percaya bahwa kreativitas harus terbatas pada penemuan atau penciptaan suatu ide tau konsep baru yang sebelumnya tidak pernah diketahui oleh manusia. Para ahli lainnya mengartikan kreativitas secara lebih inklusif, yaitu meliputi semua usaha produktif yang unik dari individu. Pandangan ini lebih bermakna bagi guru yang berusaha untuk mengembangkan kemampuan kreatif, baik untuk profesinya sendiri maupun untuk peserta didik dan membantu mereka dalam menggali dan mengembangkan potensinya secar optimal.
Menurut Lumsdaine (1995), kreativitas adalah mempergunakan imajinasi dan berbagai kemungkinan yang diperoleh dari interaksi dengan ide atau gagasan, orang lain dan lingkungan untuk membuat koneksi dan hasil yang baru serta bermakna. Artinya mengembangkan pemikiran alternatif atau kemungkinan dengan berbagai cara sehingga mampu melihat sesuatu dari berbagai sudut pandang dalam interaksi individu dengan lingkungan  sehingga diperoleh cara-cara baru untuk mencapai tujuan yang lebih bermakna.
Secara umum kreativitas dapat diartikan sebagai pola berpikir atau ide yang timbul secara spontan dan imajinatif, yang mencirikan hasil artistik, penemuan ilmiah, dan penciptaan secara mekanik. Kreativitas meliputi hasil sesuatu yang baru, baik sama sekali baru bagi dunia ilmiah atau budaya maupun secara relatif baru bagi indvidunya sendiri walaupun mungkin orang lain telah menemukan atau memproduksi sebelumnya. Seseorang dapat menjadi ahli matematika, ahli filsafat, atau ilmuwan kreatif, seperti halnya dengan seorang penulis atau seniman kreatif.
Salah satu masalah yang kritis dalam meneliti, mengidentifikasi, dan mengembangkan kreativitas ialah bahwa begitu banyak definisi tentang kreativitas. Tetapi tidak ada satu definisi   pun yang dapat diterima secara universal. Skala sikap adalah alat penilaian hasil belajar yang berupa sejumlah pernyataan sikap tentang sesuatu yang jawabannya dinyatakan secara berskala, misalnya skala tiga, empat atau lima. Pengembangan skala sikap dapat mengikuti langkah sebagai berikut.
a.       Menentukan obyek sikap yang akan dikembangkan skalanya.
b.      Memilih dan membuat daftar dari konsep dan kata sifat yang relevan dengan obyek penilaian sikap.
c.       Memilih kata sifat yang tepat dan akan digunakan dalam skala.
d.      Menentukan skala dan penskoran.     
Orang yang kreatif berhasil mencapai ide, gagasan pemecahan masalah, cara kerja, hal produk baru. Biasanya melewati beberapa tahap, yaitu 1) Persiapan (Preparation) adalah mempelajari latar belakang perkara, seluk beluk dan problematikanya. 2) Konsentrasi (concentration) sepenuhnya memikirkan,masuk luluh, tersersap dalam perkara yang dihadapi. 3) Inkubasi (Incubation) adalah mencari kegiatan yang melepaskan diri dari kesibukan pikiran mengenai perkara yang di hadapi. 4) Iluminasi (Illumination) adalah mendapatkan ide gagasan,pemecahan penyelesaian, cara kerja, jawaban baru. 5) Verifikasi/ produksi (Verification/ produktion) adalah menghadapi dan memecahkan masalah praktis sehubungan dengan perwujudan ide, gagasan, pemecahan,penyelesaian, cara kerja, jawaban baru. Kreativitas penting dipupuk dan dikembangkan pada diri anak karena:
a.       Dengan berkreasi orang dapat mewujudkan dirinya,dan perwujudan diri termasuk salah satu kebutuhan pokok dalam hidup manusia
b.      Kreativitas sebagai kemampuan untuk melihat bermacam-macam kemungkinan penyelesaian terhadap suatu masalah
c.       Kreatif tidak hanya bermanfaat,tetapi juga memberikan kepuasan terhadap individu
d.      Kreativitaslah yang memungkinkan manusia meningkatkan kualitas hidupnya
Guilford seperti yang dikutip oleh Monthy P Satiadrama dan Fidelis E Wawu karakteristik pemikiran kreatif berkaitan erat dengan lima ciri kemampuan berfikir yaitu 1) Kelancaran (fluenty) adalah kemampuan memproduksi banyak gagasan. 2) Keluwesan (flexibility) adalah kemampuan untuk mengajukan berbagai pendekatan atau pemecahan masaalah. 3) Keaslian (originality) adalah merupakan kemampuan untuk melahirkan gagasan asli sebagai hasil pemikiran sendiri. 4) Penguraian (elaboration) adalah kemampuan untuk menguraikan sesuatu secara terperinci. 5) Perumusan kembali (redefinision) adalah merupakan kemampuan untuk mengkaji suatu persoalan melalui cara dan perspektif yang berbeda dengan apa yang sudah lalu.
Berdasarkan penenkanannya, definisi-defiisi kreativitas dapat dibedakan ke dalam dimensi personal atau indivdu (personal), produk (product), dan publikasi (publication). Rhodes (1961) menyebut keempat dimensi kreativitas tersebut sebagai the Four P’s of Creativity. Berikut dikemukakan beberapa sumber:
1.      Kreativitas mengacu pada kemampuan yang khas dari orang-orang kreatif (Guilford, 1965)
2.      Kreativitas adalah sebuah proses yang memanifestasikan dirinya dalam kefasihan (kelancaran), dalam fleksibilitas, juga dalam orisinalitas (S. C. U. Munadar, 1977).
3.      Kemampuan untuk membawa sesuatu yang baru ke dalam suatu hal yang eksis (Barron, 1969; 1976).
4.      Kreativitas dapat dianggap sebagai kualitas produk atau tanggapan yang dinilai untuk menjadi kreatif oleh pengamat yang sesuai (Amabile, 1983).
5.      Kreativitas adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru. Wujudnya adalah tindakan manusia (Barron & Harrington, 1981).
Pengertian kreativitas juga dapat dibedakan ke dalam pengertian konsensual dan konseptual. Pengertian konsensual menekankan segi produk kreatif yang dinilai derajat kreativitasnya oleh pengamat yang ahli. Amabile, (1983), mengemukakan bahwa suatu produk atau respons seseorang dikatakan kreatif apabila menurut penilaian orang yang ahli atau pengamat yang mempunyai kewenangan dalam bidang itu bahwa itu kreatif. Dengan demikian, kreativitas merupakan kualitas suatu produk atau respons yang dinilai kreatif oleh pengamat yang ahli. Sedangkan pengertian konseptual bertolak dari konsep tertentu tentang kreativitas yang dijabarkan ke dalam kriteria tentang apa yang disebut kreatif.
Berdasarkan pengertian konseptual dan konsensual tentang kreativitas, Dedi Supriadi (1989), mengembangkan studi kreativitas terhadap ilmuan senior. Analog dengan hal itu, maka guru kreatif dapat dikenali dari kriteria;
a.       Sumbangan mereka terhadap ilmu pengetahuan.
b.      Keanggotaan dalam organisasi profesi’
c.       Penghargaan yang diterima
d.      Jabatan keahlian yang pernah atau sedang dipegang.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa kreativitas adalah kemampuan guru untuk mempergunakan imajinasi dan berbagai kemungkinan yang diperoleh dari interaksi dengan ide atau gagasan, orang lain dan lingkungan untuk membuat koneksi dan hasil yang baru serta bermakna.
Proses kreatif dapat digambarkan dalam empat tingkatan, yaitu:
1. Tingkat persiapan, usaha dibuat oleh guru untuk memahami dan mengerti tentang kebutuhan personal. Guru memberikan perhatian secara mendetail terhadap objek sehingga dipahami secara utuh dalam berbagai dimensi sudut pandang. Sudut pandang paling tidak meliputi kondisi fisik objek, kegunaan atau manfaat, serta suasana atau situasi yang terbentuk karena keberadaan objek. Kebutuhan guru akan terkait dengan ketiga sudut pandang secara parsial, kombinasi maupun sebagai keutuhan. Contoh pada saat melihat kursi siswa, guru akan memberikan perhatian dari sisi fisik apakah bentuknya cukup mewakili sebuah kursi atau tempat untuk duduk dan apakah tidak ada bagian yang membahayakan. Dari sudut pandang kegunaan atau manfaat apakah kursi cukup kuat untuk diduduki atau menahan berat badan siswa. Dari sudut pandang suasana atau situasi yang tercipta apakah posisi kursi tidak menghalangi siswa atau guru berjalan, mendukung suanasana kelas yang menyamankan dan apakah cukup pantas untuk menempati bagian dari ruangan.
2. Tingkat inkubasi (pengeraman), yaitu upaya untuk mengembangkan ide dari perhatian yang diberikan untuk menjawab persoalan yang dihadapi guru. Contoh : pada saat sekolah memiliki ruangan  dengan ukuran tertentu yang harus menampung sejumlah siswa untuk duduk dan menulis, maka bentuk dan ukuran kursi seperti apa yang harus dibuat atau dibeli sehingga memenuhi tujuan yang diharapkan.
3. Tingkat wawasan, yang membawa guru pada pengertian baru. Artinya terbuka kemungkinan terjadi perubahan bentuk, ukuran dan fungsi dari suatu objek untuk memenuhi beberapa tujuan yang diharapkan. Contoh: ruangan yang ada tidak memungkinkan diisi dengan meja dan kursi karena akan membuat siswa tidak leluasa bergerak. Hal yang dibutuhkan adalah kursi yang juga berfungsi sebagai meja dan tempat menyimpan barang/tas, cukup ringan untuk dipindahkan dan dirapikan dengan cara melipat kursi, mampu menahan beban sebarat 30 – 50 kg dan tinggi 120 – 160 cm, serta cukup memberi ruangan untuk bergerak keluar dan duduk.
4. Tingkat pengesahan/penemuan, yang menyadarkan guru tentang ide kreatif pengesahan atau tingkat implementasi. Upaya mewujudkan ide dalam bentuk nyata. Contoh: untuk memperoleh kursi sesuai kebutuhan pada tingkat wawasan awalnya perlu dibuatkan gambar, mempertimbangkan bahan, mengerjakan, menata dalam ruangan dan memanfaatkan benda baru.
Kreativitas tidak hanya tergantung pada potensi bawaan yang khusus, tetapi juga pada perbedaan mekanisme mental atau sikap mental yang menjadi sarana untuk mengungkapkan sifat bawaan tersebut. Menurut Hurlock (2005:11) beberapa kegiatan untuk meningkatkan kreativitas adalah:
a. Waktu. Untuk menjadi kreatif kegiatan anak seharusnya jangan diatur sedemikian rupa sehingga anak mempunyai sedikit waktu bebas untuk bermain-main dengan gagasan dan konsep yang dipahaminya.
b. Kesempatan. Apabila mendapat tekanan dari kelompok, kemudian anak menyendiri, maka ia menjadi lebih kreatif.
c. Dorongan. Orang tua sangat berperan dalam hal ini, anak seharusnya dibebaskan dari ejekan dan kritik yang sering kali memojokkan anak.
d. Sarana. Harus disediakan untuk merangsang dorongan eksperimen dan eksplorasi yang merupakan unsur penting dari kreativitas.
e. Lingkungan. Keadaan lingkungan yang merangsang kreativitas anak.
f. Hubungan dengan orang tua. Orang tua yang terlalu melindungi atau terlalu posesif terhadap anak dapat menghambat proses kreativitas.
g. Cara mendidik anak. Mendidik secara demokratis dan permisif di rumah dan di sekolah akan meningkatkan kreativitas, sedangkan mendidik dengan cara otoriter menghambat proses kreativitas.
h. Pengetahuan. Semakin banyak pengetahuan yang diperoleh anak maka semakin banyak dasar untuk mencapai peningkatan kreativitas.

2.2 Tipe-tipe atau Jenis-jenis Kreativitas
Berdasarkan penelitian kreativitas dapat diidentifikasikan menjadi tiga tipe kreativitas yang berbeda yaitu :
1.      Menciptakan
Menciptakan adalah proses, berupa untuk mencari sesuatu dari tidak ada menjadi ada
2.      Memodifikasi sesuatu
Dalam memodifikasi sesuatu, berupa untuk mencari cara-cara membentuk fungsi-fungsi baru atau menjadikan sesuatu menjadi berbeda penggunaannya oleh orang lain.
3.      Mengkombinasikan
Mengkombinasikan dua hal atau lebih yang sebelumnya tidak saling berhubungan. Contohnya seperti pesawat telepon yang diciptakan karena hasil sintesis atau kombinasi.

2.3 Mengembangkan Kreativitas Peserta didik dalam Pembelajaran Sejarah
Selama di sekolah, guru mempunyai peran penting terhadap penyesuaian emosional dan sosial anak dan terhadap perkembangan kepribadiannya. Sehubungan dengan perkembangan intelektual, pada semua jenjang pendidikan guru merupakan kunci kegiatan belajar siswa yang berhasil guna (efektif), terutama pada tingkat sekolah dasar. Hal ini mudah dipahami karena di sekolah dasar umumnya seluruh pelajaran dipegang oleh guru kelas, kecuali mingkin untuk pelajaran seperti Agama, Olahraga, dan Kesenian yang menuntut keterampilan khusus dari guru.
Masalah khusus yang berhubungan dengan pengajaran anak berbakat pada dasarnya merupakan masalah bagaimana menghadapi perbedaan-perbedaan anak. Perbedaan dalam peran guru berdasarkan ciri-ciri khas anak berbakat, yang terampil dalam situasi belajar dan cara guru menangani ciri-ciri tersebut. Karena falsafah pendidikan mengakui adanya perbedaan individual dan bertujuan mengembangkan bakat dan kemampuan setiap anak didik secara optimal, maka dengan sendirinya kualifikasi guru harus berbeda sesuai dengan sifat-sifat dan kemampuan anak didik.
Apakah implikasinya bagi guru anak berbakat? Implikasi tersebut disimpulkan oleh Barbed an Renzulli (Munandar, 1999: 62) sebagai berikut:
1.      Pertama-tama guru perlu memahami diri sendiri, karena anak yang belajar tidak hanya dipengaruhi oleh apa yang dilakukan guru, tapi juga bagaimana guru melakukannya. Mustahil mengharapkan seseorang dapat memahami kebutuhan, perasaan, dan perilaku orang lain, jika ia tidak mengenal diri sendiri. Dalam menghadapi siswa-siswanya, guru yang baik selalu menilai kemampuan, persepsi, motivasi, dan perasaan-perasaanya sendiri. Guru perlu menyadari baik kekuatan-kekuatan maupun kelemahan-kelemahannya. Anak berbakat akan paling maju di bawah bimbingan guru yang memiliki kecerdasan cukup tinggi, memiliki pengetahuan umum yang luas, serta menguasai mata pelajaran yang diajarkannya secara cukup mendalam.
Jika guru pada saat-saat tertentu tidak mengetahui sesuatu dan tidak dapat menjawab pertanyaan siswanya, adalah lebih baik mengatakan “Saya tidak tahu: marilah kita cari jawabannya bersama-sama!” atau “Berilah saya waktu untuk memikirkannya!” Jawaban seperti ini akan lebih mendapat penghargaan dan kepercayaan siswa daripada jika guru menjawab asal saja. Mengapa? Karena anak berbakat bersifat kritis, mempunyai kemampuan penalaran yang tinggi, dan suka mempertanyakan segala sesuatu.
Guru perlu juga menguji perasaan-perasaannya terhadap anak berbakat. Sikap menguji atau mempertanyakan dari anak berbakat dapat menjengkelkan guru yang bersifat otoriter. Penjelasan guru yang biasanya diterima begitu saja oleh kebanyakan anak mungkin diragukan oleh anak berbakat. Jika guru menunjukkan perasaan tidak senang oleh pertanyaan-pertanyaan anak berbakat, ia dapat mematikan rasa ingin tahu anak, sedangkan guru yang terbuka terhadap gagasan dan pengalaman baru akan meluaskan dimensi minat anak.
2.      Di samping memahami diri sendiri, guru guru perlu memiliki pengertian tentang keberbakatan.
      Oleh karena itu, guru yang akan membina anak berbakat perlu memperoleh informasi    dan pengalaman mengenai keberbakatan, tentang apa yang diartikan tentang keberbakatan, bagaimana cirri-ciri anak berbakat, dan dengan cara-cara apa saja kebutuhan pendidikan anak berbakat dapat terpenuhi. Dengan mengetahui kebutuhan-kebutuhan pendidikan anak berbakat, guru akan menyadari bahwa anak-anak ini memerlukan pelayanan pendidikan khusus yang terletak di luar jangkauan kurikulum biasa.
3.    Setelah anak berbakat diidentifikasi, guru hendaknya mengusahakan suatu lingkungan belajar sesuai dengan perkembangan yang unggul dari kemampuan-kemampuan anak.
Sehubungan dengan ini guru hendaknya lebih berfungsi sebagai  fasilitator belajar daripada sbagai instructor (pengajar) yang menentukan semuanya. Fungsi pendidik adalah mempersiapkan siswa untuk belajar seumur hidup. Setiap anak dilahirkan dengan rasa ingin tahu. Ia terbuka terhadap pengalaman baru dan belajar dari pengalamannya sesuai dengan kebutuhannya. Hanya sayang, pada waktu anak mulai masuk sekolah sering dorongan alamiah untuk belajar ini terkekang karena kurikulu yang kaku dan program belajar yang tidak beragam (berdiferensiasi), artinya tidak disesuaikan dengan kemampuan dan minat anak.
Jika dorongan alamiah ini terhambat di sekolah, rasa ingin tahu anak akan mati dan berganti menjadi sikap apatis, acuh tak acuh. Karena itu, diperlukan motivasi eksternal (berupa dorongan, pujian, teguran dari guru dan orang tua) dan system penghargaan (nilai-nilai prestasi belajar, angka rapor) untuk menumbuhkan minat anak. Terutama anak yang cerdas dan berbakat dengan rasa ingin tahu yang kuat dan minat yang luas akan merasa terhambat dengan kurikulum yang hanya berorientasi pada mayoritas anak.
Barbe dan Renzulli (Munandar, 1999: 64) mengungkapkan beberapa saran untuk guru yang dapat diterapkan pada semua anak, tetapi terutama penting demi peningkatan kebiasaan belajar seumur hidup dari anak berbakat:
1. Bentuklah pengalaman belajar dengan rasa ingin tahu alamiah anak dengan menghadapkan masalah-masalah yang relevan dengan kebutuhan, tujuan, dan minat anak.
2. Perkenankanlah anak untuk ikut serta dalam menyusun dan merencanakan kegiatan-kegiatan belajar.
3. Berikanlah pengalaman dari kehidupan nyata yang meminta peran serta aktif anak dan kembangkan kemampuan yang perlu untuk itu.
4. Bertindaklah, lebih sebagai sumber belajar daripada sebagai penyampai infomasi; jangan paksakan pengetahuan yang belum siap diterima anak.
5. Usahakan agar program belajar cukup luwes untuk mendorong siswa melakukan penyelidikan, percobaan, (eksperimen), dan penemuan sendiri.
6. Doronglah dan hargailah inisiatif, keinginan mengetahui dan menguji, serta orisinalitas.
7. Biarkan anak belajar dari kesalahannya dan menerima akibatnya (tentu saja selama tidak berbahaya dan membahayakan).
Macam kegiatan belajar yang lebih berorientasi kepada proses daripada terhadap produk semata-mata dapat dilihat dari contoh-contoh berikut ini.
Pemecahan masalah dengan lebih menekankan pada proses memperoleh jawaban daripada jawabannya sendiri.
a.       Membuat klasifikasi (penggolongan).
b.      Membandingkan dan mempertentangkan.
c.       Membuat pertimbangan sesuai dengan criteria tertentu.
d.      Menggunakan sumber-sumber (kamus, ensiklopedi, perpustakaan).
e.       Melakukan proyek penelitian.
f.       Melakukan diskusi.
g.      Membuat perencanaan kegiatan.
h.      Mengevaluasi pengalaman.
Anak harus belajar menilai pekerjaannya sendiri, tidak dalam angka tetapi dalam kaitan dengan kebutuhan dan tujuannya. Penilaian oleh diri sendiri ini disebut evaluasi intrinsik sedangkan penilaian dari luar (oleh orang lain) disebut evaluasi ekstrinsik. Ini tidak berarti bahwa guru tidak boleh menilai kemajuan dan prestasi anak. Hal ini perlu agar guru dapat mengetahui kekuatan dan kelemahan anak sebagai dasar untuk membantu meningkatkan prestasinya. Guru dapat memberikan umpan-balik dengan membuat catatan yang menyatakan dimana letak kesalahan anak dan bagaimana ia sendiri dapat memperbaikinya. Jika nilai dalam bentuk angka harus diberikan, maka sebaiknya dilengkapi dengan catatan penjelasan.
Guru anak berbakat harus menyediakan beberapa alternatif strategi belajar. Termasuk salah satu hal penting yang perlu diketahui anak ialah bahwa ada lebih dari satu cara untuk mencapai sasaran atau tujuan, ada macam-macam kemungkinan jawaban terhadap satu masalah, ada beberapa cara untuk mengelompokkan objek, dan ada beberapa sudut pandang dalam diskusi. Sering guru menekankan bahwa suatu tujuan atau jawaban hanya dapat dicapai dengan satu cara, bahwa hanya satu jawaban yang benar terhadap suatu masalah.
Hendaknya anak diperbolehkan menjajaki beberapa cara atau jalan untuk mencapai tujuan. Kreativitas akan berkembang dalam suasana yang memberika kebebasan untuk menyelidiki. Jika anak tidak dengan sendirinya melihat macam-macam jalan yang dapat ditempuh, hendaknya guru mengarahkan sehingga ia dapat melihat adanya macam-macam alternative strategi belajar.
8.      Guru hendaknya dapat menciptakan suasana di dalam kelas yang menunjang rasa percaya diri anak serta dimana anak merasa aman dan berani mengambil resiko dalam menentukan pendapat dan keputusan. Hendaknya setiap anak merasa aman untuk mencoba cara-cara baru dan menjajaki gagasan-gagasan baru di dalam kelas. Banyak anak yang kreatif terlambat dalam ungkapan diri karena takut mendapat kritik, takut gagal, takut membuat kesalahan, takut tidak disenangi guru, atau takut tidak memenuhi harapan orang tua.
Dengan menciptakan suasana di dalam kelas dimana setiap anak merasa dirinya diterima dan dihargai, serta guru menunjukkan bahwa ia percaya akan kemampuan anak, maka akan terpupuk rasa harga diri anak.
Bagaimana guru dapat menciptakan suasana seperti ini?
Beberapa saran yang dapat diberikan:
a.       Guru menghargai kreativitas anak.
b.      Guru bersikap terbuka terhadap gagasan-gagasan baru.
c.       Guru mengakui dan menghargai adanya perbedaan individual.
d.      Guru bersikap menerima dan menunjang anak.
e.       Guru menyediakan pengalaman belajar yang berdiferensiasi.
f.       Guru cukup memberikan struktur dalam mengajar sehingga anak tidak merasa ragu-ragu tetapi di lain pihak cukup luwes sehingga tidak menghambat pemikiran, sikap, dan perilaku kreatif anak.
g.      Setiap anak ikut mengambil bagian dalam merencanakan pekerjaan sendiri dan pekerjaan kelompok.
h.      Guru tidak bersikap sebagai tokoh yang “maha mengetahui” tetapi menyadari keterbatasannya sendiri.
Mata Pelajaran IPS Sejarah merupakan pengetahuan tentang peristiwa dan perubahan masyarakat masa lalu dengan prinsip sebab akibat dan kronologis peristiwa yang terjadi di masyarakat. Dengan mempelajari sejarah diharapkan siswa mampu memahami fakta, peristiwa dan perubahan masyarakat masa lalu, mengembangkan cara berfikir kritis dan mengimplementasikan ilmu yang diperolehnya dalam kehidupan sehari-hari.
Tingkat pengetahuan dan pemahaman siswa dalam materi sejarah masih tergolong rendah. Hal ini disebabkan minat siswa belajar sejarah cenderung rendah dan akhirnya berimplikasi pada rendahnya hasil belajar siswa. Rata-rata nilai ulangan harian siswa hanya mencapai nilai KKM, yaitu 72. Padahal tingkat pemahaman konsep dan analisis materinya tidaklah terlalu sulit.
Kurangnya minat dan rendahnya prestasi belajar siswa dalam mata pelajaran Sejarah kemungkinan juga disebabkan oleh faktor guru yang belum mampu mengembangkan kreativitas dan kurang optimal dalam melibatkan siswa pada kegiatan belajar mengajar serta belum melakukan berbagai inovasi dalam pembelajaran.
Pada kegiatan pembelajaran siswa menyimak materi dan terlihat seakan-akan telah memahami materi, tetapi ketika diadakan evaluasi dengan memberikan soal ulangan harian, rata-rata ketuntasan siswa tidak mencapai hasil yang diharapkan. Bertolak dari kenyataan di atas, maka penulis sebagai guru IPS Sejarah mencoba melakukan inovasi pembelajaran dengan tujuan meningkatkan kualitas proses belajar mengajar sehingga hasil belajar siswa dapat dioptimalkan. Perhatian tertuju pada berbagai kegiatan yang disenangi siswa dengan tujuan melakukan sinkronisasi kesenangan siswa dengan kegiatan pembelajaran. Salah satu kegiatan yang banyak disukai oleh siswa adalah menonton siaran televisi. Mereka sering menghabiskan berjam-jam waktu menonton acara kesayangan mereka di televisi. Berdasarkan pengamatan tersebut, maka dicoba mengembangkan suatu model pembelajaran dengan mengadopsi salah satu acara televisi, yaitu acara Dialog Interaktif. Dialog interaktif ini dipilih karena sesuai dengan karasteristik materi sejarah yang banyak mendeskripsikan peristiwa-peristiwa penting pada masa lampau.
Prestasi belajar siswa banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik berasal dari dirinya (internal) maupun dari luar dirinya (eksternal). Prestasi belajar yang dicapai siswa pada hakekekatnya merupakan hasil interaksi antara berbagai faktor tersebut. Oleh karena itu, pengenalan guru terhadap faktor yang dapat mempengaruhi prestasi belajar siswa penting sekali artinya dalam rangka membantu siswa mencapai prestasi belajar yang optimal sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Adapun karakteristik anak dalam belajar  menurut Usman (1993: 11) meliputi: (1) cepat dalam belajar; (2) lambat belajar; (3) anak yang kreatif; (4) underachiever; dan (4) anak yang gagal (drop-out).
Membaca judul barangkali ada yang ganjil terbersit dalam pikiran. Bukankah selama ini saat belajar sejarah, kita hanya menemukan sesuatu yang monoton bahkan cenderung membosankan. Hafalin nama tokoh, nama tempat dan yang paling menyedihkan harus mengingat angka-angka tanggal yang tak ada rumus pembagi atau pengurangnya, pokoknya hafal mati, titik! Hal ini jelas sangat jauh dari kata kreatif yang tertera di judul tersebut. Berpikir berbeda dari apa yang selama ini dimengerti memang tidak mudah, namun tidak ada salahnya jika mencoba menelusuri guna mencari tahu; apa dan bagaimana sebenarnya sejarah atau pelajaran sejarah itu semestinya dipelajari.
            Objek kajian sejarah adalah masa lalu, utamanya berkenaan dengan apa yang dilakukan, dipikirkan dan dihasilkan oleh manusia. Mengapa harus dipelajari? Ini berkaitan dengan kepentingan masa kini, setidaknya agar manusia mengerti dan memahami keberadaan dirinya. Karena apa yang terjadi di masa kini sangat berkaitan dengan apa yang telah dilakukan oleh manusia di masa lalunya. Dan bagi masa depan setidaknya hal tersebut dapat dijadikan acuan atau pembelajaran. Sehingga kualitas hidup manusia dari waktu ke waktu menjadi lebih baik. Berdasarkan hal tersebut maka poin utama dalam mempelajari sejarah adalah belajar tentang nilai-nilai kehidupan dan kehidupan manusia di masa lalu sebagai sumber belajarnya.
Rentang waktu masa lalu sebagai objek kajian sejarah tidak terbatas. Sejam, sehari, seminggu, sebulan, setahun, seabad, seribu atau bahkan sejuta tahun yang lalu, semuanya adalah masa lalu. Sementara kita, sebagai orang yang mempelajari peristiwa di masa lalu tersebut hidup di masa sekarang. Jika masa lalu yang akan dipelajari itu belum lama, maka sumber yang dapat dipakai tentunya masih banyak. Namun jika yang dikaji ribuan tahun yang lalu, tentu sumbernya sangat terbatas. Bahkan seringkali hanya berupa benda, atau bekas-bekas aktivitas manusia yang berserakan. Tak ada cerita apapun yang tersampaikan dari sisa-sisa tersebut. Beruntung para sejarawan sudah melakukan rekonstruksinya untuk kita, namun bukan berarti kita pun tak memiliki kebebasan untuk ikut juga menganalisis apa yang telah terjadi dari sudut pandang yang dapat kita pahami.
Seperti apapun sisa yang didapat dari kehidupan masa lalu manusia itu, sejarawan dituntut dapat mengungkapkan apa yang terjadi. Mulai dari peristiwa, pelaku, motif, cara hidup atau apa saja dibalik sisa-sisa yang tertinggal tersebut. Berperan seperti detektif, sejarawan melakukan rekonstruksi, yaitu membangun kembali suasana kehidupan masa lalu dengan berdasarkan sumber yang tersedia. Mereka mencoba menginterpretasi setiap sumber yang ada.
Pada konteks inilah imajinasi diperlukan. Imajinasi sejarawan yang didasarkan data dan tentu saja dukungan ilmu-ilmu yang lain digunakan untuk menghadirkan masa lalu yang kemudian dibuatkan deskripsinya, dan pada akhirnya pembaca atau manusia masa kini dapat mengerti seperti apa masa lalu di balik sisa-sisa peninggalan tersebut. Realitas demikian tentu membutuhkan kreatifitas dalam berpikir, dan kreatifitas seperti itu bukan merupakan monopoli sejarawan saja, melainkan bagi kita yang mempelajari sejarah. Memadukan antara penggalan fakta yang satu dengan fakta lainnya membutuhkan daya analisa yang membuat kita dicerdaskan. Belum lagi jika kita juga turut mencoba mencari kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi namun belum diungkap oleh sejarawan penulisnya, pasti lebih mengasyikkan dan hal seperti ini sangat dianjurkan dalam mempelajari sejarah. Sebab kebenaran sejarah itu tidak tunggal. Misalnya saja saat kita mempelajari sejarah Kerajaan Mataram Kuno (Mataram Jaman Hindu-Budha).
Peninggalan yang dapat dijadikan sumber bagi pembahasan adalah candi Prambanan atau Borobudur. Dengan menggunakan imajinasi kita bisa melakukan eksplorasi lebih lanjut, tidak sekedar mengetahui bahwa kedua candi tersebut merupakan peninggalan kerajaan Mataram. Melalui pertanyaan-pertanyaan kritis, kita bisa mengetahui bagaimana kehidupan masyarakat  pada saat tersebut. Seperti; bagaimana candi itu di bangun, ukuran seperti apa yang di gunakan, siapa yang merancang, siapa yang jadi pekerja, bagaimana suplai logistic bagi para pekerjanya, dimana mereka tinggal, bagaimana manajemen operasionalnya, dan masih banyak lagi pertanyaan yang bisa di ajukan.
Dengan imajinasi dan data yang tersedia kita dapat menjawab berbagai hal dari pertanyaan-pertanyaan tersebut. Tentu jawaban-jawaban yang ada adalah jawaban spekulatif, dan perlu pembuktian melalui berbagai argument pembanding, dan tidak kalah pentingnya adalah hal-hal yang bersifat akademis. Salah atau benar jawaban yang bisa dimunculkan bukanlah hal terpenting, namun kemampuan membingkai serpihan menjadi sebuah deskripsi yang bermakna menjadi lebih penting, dan tentunya kreatifitas berpikir menjadi terasah.
Berdasarkan hal tersebut banyak ilmuwan kemudian sepakat, bahwa selain sains, sejarah juga adalah seni. Sebab tidak sekedar pemaparan data atau fakta, namun dalam mendeskripsikan hasil rekonstruksi selain atas dukungan imajinasi, juga harus dapat menghadirkan masa lalu pada pembacanya yang hidup di masa kini, sehingga intuisi dan gaya bahasa yang sesuai pun wajib digunakan. Jika demikian tentu sejarah tak ubahnya seperti seni-seni yang lain























BAB III PENUTUP

3.1  Kesimpulan
Guru memegang peran yang amat sentral dalam keseluruhan proses pembelajaran. Guru pun dituntut untuk mampu mewujudkan perilaku mengajar secara tepat agar terjadi perilaku belajar yang efektif pula dalam diri siswa. Dalam proses belajar mengajar, guru bisa sebagai motivator belajar. Guru memiliki banyak tugas, baik yang terikat oleh dinas maupun di luar dinas, dalam bentuk pengabdian. Guru merupakan profesi/jabatan atau pekerjaan yang memerlukan keahlian khusus sebagai guru dan tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang di luar bidang kependidikan.
Noor Rachman Hadjam (2012), mengatakan bahwa kreativitas dalam pembelajaran merupakan bagian dari suatu sistem yang tidak terpisahkan dengan terdidik dan pendidik. Peranan kreativitas guru tidak sekedar membantu proses belajar mengajar dengan mencakup satu aspek dalam diri manusia saja, akan tetapi mencakup aspe-aspek lainnya yaitu kognitif, afektif, dan psokomotorik. Secara umum kreativitas guru memiliki fungsi utama yaitu membantu menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat dan efisien. Salah satu cermin keberhasilan guru dalam pembelajaran adalah kemampuan dalam mengkreasi media pembelajaran dan menata lingkungan pembelajaran. Guru akan kesulitan menumbuhkan kreativitasnya jika ia tidak memahami media pembelajaran, bila dimanfaatkan secara optimal, memiliki daya tarik tersendiri di mata peserta didik.

3.2  Saran
Setelah membahas materi tentang Mengembangan Kreativitas Peserta Didik dalam Pembelajaran Sejarah, saran yang dapat disampaikan umumnya bagi khalayak yang telah membaca makalah ini, diharapkan mampu mengetahui bagaimana cara untuk mengembangkan kreativitas peserta didik, sehingga dengan mengkaji hal tersebut diharapkan mampu menambah wawasan dan pengetahuan serta dapat diterapkan bagi calon guru.

DAFTAR PUSTAKA

Asrori, Mohammad. 2009.  Psikologi Pembelajaran, Bandung : CV Wacana Prima
Utami Mundandar. 1992. Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah. Jakarta : Gramedia Widiasarana Indonesia.
Usman,  Moh. Uzer dan Lilis Setiawati.  1998. Optimalisasi Kegiatan Belajar Mengajar, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
- See more at: http://publik22.blogspot.com/2014/05/pengertian-dan-indikator-kreativitas.html#sthash.AGzjTu8v.dpuf










Tidak ada komentar:

Posting Komentar