Kamis, 18 Desember 2014

MENGEMBANGKAN BERPIKIR ILMIAH PADA PESERTA DIDIK DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH

 







KETERLIBATAN AMERIKA SERIKAT DENGAN INDONESIA

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Amerika
Dosen Pengampuh Dr. Suranto, M.Pd




Oleh
EVIE EKA YULIATI (120210302105)
Kelas B


                                                                                                                   





PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER

2014





KATA PENGANTAR


Dengan mengucap puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya, tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada pembimbing yang telah bersedia membimbing kami dalam penyusunan makalah ini, sehingga penyusunan makalah dengan judul “MENGEMBANGKAN BERPIKIR ILMIAH PADA PESERTA DIDIK DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH” dapat berjalan dengan lancar tanpa ada halangan suatu apapun. Perencanaan, pelaksanaan dan penyelesaian makalah sebagai salah satu tugas matakuliah Strategi Belajar Mengajar.
Penulisan makalah ini berdasarkan literatur yang ada. Penyusun menyadari akan kemampuan yang sangat terbatas sehingga dalam penyusunan makalah ini banyak kekurangannya. Namun, makalah yang disajikan sedikit banyak bermanfaat bagi penyusun khususnya dan mahasiswa lain pada umumnya.
Penyusun juga menyadari penulisan makalah ini masih jauh dari sempurna, maka dengan hati terbuka penyusun menerima segala kritik dan saran yang sifatnya membangun demi kesempurnaan makalah tersebut.


Jember, Oktober 2014



Penulis





DAFTAR ISI

Halaman Judul ............................................................................................  i
Kata Pengantar ............................................................................................  ii
Daftar Isi .....................................................................................................  iii
BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................................  1
1.1 Latar Belakang....................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................  2
1.3 Tujuan ...................................................................................................  2
BAB 2 PEMBAHASAN ...........................................................................  3
2.1 Definisi Berpikir Ilmiah ........................................................................  3
2.2 Karakteristik berpikir Ilmiah .................................................................  5
2.3 Langkah-langkah Berpikir Ilmiah.......................................................... 7
2.4 Penerapan Berpikir Ilmiah dalam pembelajaran Sejarah .......................  10
BAB III PENUTUP ..................................................................................  23
3.1 Kesimpulan ...........................................................................................  23
3.2 Saran .....................................................................................................  23
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................  24





BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Pendidikan karakter bukan merupakan wacana baru dalam sistem pendidikan, karena esensi pendidikan adalah untuk membentuk karakter bangsa. Begitu juga dengan mata pelajaran sejarah di sekolah-sekolah mempunyai nilai dan esensi yang disampaikan oleh guru terhadap peserta didik. Kurikulum sebagai komponen penting dalam pendidikan harus memiliki tujuan dan sasaran yang akan dicapai, seleksi dan organisasi bahan dan isi pelajaran, bentuk dan kegiatan belajar dan mengajar, dan akhirnya evaluasi hasil belajar.
Kurikulum 2013 adalah rancangan yang akan menekankan pada karakter peserta didik dengan mengembangkan dan memperhatikan keragaman karakteristik peserta didik, kondisi daerah, jenjang dan jenis pendidikan. Mata pelajaran sejarah mempunyai nilai dalam berbagai aspek seperti mengembangkan nilai jujur, adil, menghargai, dan demokratis. Nilai dari mata pelajaran sejarah dapat diambil dari kajian peristiwa masa lalu dan menjadi acuan dalam memaknai suatu masalah kehidupan demi kemajuan masa depan.
Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang dilengkapi dengan akal dan pikiran. Tanpa akal manusia tidak akan bisa membuat waduk/bendungan, jalan dan jembatan, rumah-rumah bertingkat dan sebagainya. Hanya dengan akal dan pikiran, manusia dapat berubah taraf kehidupannya dari tradisional, berkembang dan mengikuti perkembangan sampai dengan modern.
Akal digunakan manusia untuk berpikir, berpikir merupakan sebuah  kegiatan mental yang menghasilkan pengetahuan. Jadi apabila manusia benar-benar memaksimalkan fungsi otaknya untuk berpikir dalam menemukan pengetahuan atau menghasilkan pengetahuan termasuk kategori berpikir ilmiah. Berpikir ilmiah sebuah kegiatan yang seringkali dilakukan oleh para ilmuwan. Ilmuwan dalam mengkaji dan meneliti hubungankausalitas (sebab akibat) antara berbagai macam peristiwa yang terjadi dalam kehidupan manusia di alam semesta ini  menggunakan daya pikir yang logis analitis serta kritis. Maka dengan kemampuan  berpikirnya manusia bisa mengembangkan pengetahuan, baik ilmu pengetahuan yang bersifat penyempurna dari ilmu pengetahuan sebelumnya ataupun ilmu pengetahuan yang bersifat baru.
Ilmu pengetahuan dikatakan ilmiah jika memiliki metode dan cara yang benar dan bisa dipertanggungjawabkan paling tidak ditunjang oleh tiga komponen utama : pertama adanya objek, kedua adanya metode yang digunakan dan ketiga adanya sistematika tertentu. Jadi berpikir ilmiah merupakan cara berpikir yang memiliki tata cara dan aturan main yang berlandaskan sistematika tertentu dan benar berdasarkan atas data empiris. Selanjutnya agar berpikir ilmiah bisa terlaksana dan dilakukan dengan baik dan benar tentunya harus menggunakan langkah-langkah dalam kerangka berpikir ilmiah. Kerangka berpikir ilmiah inilah yang penulis jadikan tema pokok dalam penjelasan isi makalah ini.

1.2 Rumusan Masalah
1)      Apa pengertian dari Berpikir Ilmiah?
2)      Bagaimana karakteristik dalam Berpikir Ilmiah?
3)      Bagaimanakah langkah-langkah dalam Berpikir Ilmiah?
4)      Bagaimanakah cara mengembangkan Berpikir Ilmiah Pada Peserta didik Dalam Pembelajaran Sejarah?

1.3 Tujuan
1)      Untuk mengetahui pengertian dari Berpikir Ilmiah
2)      Untuk mengetahui dan memahami karakteristik dalam Berpikir Ilmiah
3)      Untuk mengetahui langkah-langkah dalam Berpikir Ilmiah
4)      Untuk mengetahui dan memahami cara mengembangkan Berpikir Ilmiah Pada Peserta didik Dalam Pembelajaran Sejarah






BAB II PEMBAHASAN

1.1  Definisi berpikir Ilmiah

Akal digunakan manusia untuk berpikir, berpikir merupakan sebuah  kegiatan mental yang menghasilkan pengetahuanJadi apabila manusia benar-benar memaksimalkan fungsi otaknya untuk berpikir dalam menemukan pengetahuan atau menghasilkan pengetahuan termasuk kategori berpikir ilmiah. Berpikir ilmiah sebuah kegiatan yang seringkali dilakukan oleh para ilmuwan. Ilmuwan dalam mengkaji dan meneliti hubungan kausalitas (sebab akibat) antara berbagai macam peristiwa yang terjadi dalam kehidupan manusia di alam semesta ini  menggunakan daya pikir yang logis analitis serta kritis. Maka dengan kemampuan  berpikirnya manusia bisa mengembangkan pengetahuan, baik ilmu pengetahuan yang bersifat penyempurna dari ilmu pengetahuan sebelumnya ataupun ilmu pengetahuan yang bersifat baru.

Sebelum lebih jauh menjelaskan apa yang dimaksud berpikir ilmiah, ada baiknya lebih dahulu kita ketahui arti per kata dari kelompok kata tersebut. Pertama  kata berpikir. Berpikir adalah menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan dan memutuskan sesuatu. Sedangkan menurut Poespoprodjo berpikir adalah suatu aktifitas yang banyak seluk-beluknya, berlibat-libat, mencakup berbagai unsur dan langkah-langkah. Menurut Anita Taylor et. Al. berpikir adalah proses penarikan kesimpulan. Jadi berpikir merupakan sebuah proses tertentu yang dilakukan akal budi dalam memahami, mempertimbangkan, menganalisa, meneliti, menerangkan dan memikirkan sesuatu dengan jalan tertentu atau langkah-langkah tertentu sehingga sampai pada sebuah kesimpulan yang benar.

Sedangkan Ilmiah yakni bersifat ilmu, secara ilmu pengetahuan, memenuhi syarat kaidah ilmu pengetahuan. Berpikir ilmiah adalah berpikir rasional dan berpikir empiris. Bersifat ilmiah apabila ia mengandung kebenaran secara objektif, karena didukung oleh informasi yang telah teruji kebenarannya dan disajikan secara mendalam, berkat penalaran dan analisa yang tajam. Berpikir rasional adalah berpikir menggunakan dan mengandalkan otak atau rasio atau akal budi manusia sedangkan berpikir empiris berpikir dengan melihat realitas empiris, bukti nyata atau fakta nyata yang terjadi di lingkungan yang ada melalui panca indera manusia.

Proses pembelajaran dapat dipadankan dengan suatu proses ilmiah. Karena itu Kurikulum 2013 mengamanatkan esensi pendekatan ilmiah dalam pembelajaran. Pendekatan ilmiah diyakini sebagai titian emas perkembangan dan pengembangan sikap, keterampilan, dan pengetahuan peserta didik. Dalam pendekatan atau proses kerja yang memenuhi kriteria ilmiah, para ilmuan lebih mengedepankan pelararan induktif (inductive reasoning) ketimbang penalaran deduktif (deductivereasoning). Penalaran deduktif melihat fenomena umum untuk kemudian menarik simpulan yang spesifik. Sebaliknya, penalaran induktif memandang fenomena atau situasi spesifik untuk kemudian menarik simpulan secara keseluruhan. Sejatinya, penalaran induktif menempatkan bukti-bukti spesifik ke dalam relasi idea yang lebih luas. Metode ilmiah umumnya menempatkan fenomena unik dengan kajian spesifik dan detail untuk kemudian merumuskan simpulan umum.
Metode ilmiah merujuk pada teknik-teknik investigasi atas suatu atau beberapa fenomena atau gejala, memperoleh pengetahuan baru, atau mengoreksi dan memadukan pengetahuan sebelumnya. Untuk dapat disebut ilmiah, metode pencarian (method of inquiry) harus berbasis pada bukti-bukti dari objek yang dapat diobservasi, empiris, dan terukur  dengan prinsip-prinsip penalaran yang spesifik. Karena itu, metode ilmiah umumnya memuat serangkaian aktivitas pengumpulan data melalui observasi atau ekperimen, mengolah informasi atau data, menganalisis, kemudian memformulasi, dan menguji hipotesis.
Berfikir ilmiah adalah berfikir yang logis dan empiris. Logis: masuk akal, empiris: Dibahas secara mendalam berdasarkan fakta yang dapat dipertanggung jawabkan. (Hillway,1956). Berpikir ilmiah adalah menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan, memutuskan, mengembangkan dsb. secara ilmu pengetahuan (berdasarkan prinsip-prinsip ilmu pengethuan. Atau menggunakan prinsip-prinsip logis terhadap penemuan, pengesahan dan penjelasan kebenaran.
Menurut Salam (1997:139) Pengertian berpikir ilmiah
1.      Proses atau aktivitas manusia untuk  menemukan/ mendapatkan ilmu. 
2.      Proses berpikir untuk sampai pada suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan.
3.      Sarana berpikir ilmiah.
4.      Sarana berpikir ilmiah merupakan alat yang membantu kegiatan ilmiah dalam berbagai langkah yang harus ditempuh.
5.      Tanpa penguasaan sarana berpikir ilmiah kita tidak akan dapat melaksanakan kegiatan berpikir ilmiah yang baik.
6.      Merupakan alat bagi metode ilmiah dalam melakukan fungsinya dengan baik.
7.      Mempunyai metode tersendiri yang berbeda dengan metode ilmiah dalam mendapatkan pengetahuannya sebab fungsi sarana berpikir ilmiah adalah membantu proses metode ilmiah.

Jadi  memang tidak semua berpikir akan mengahasilkan pengetahuan dan ilmu dan juga tidak semua berpikir disebut berpikir ilmiah. Karena berpikir ilmiah memiliki aturan dan kaidah tersendiri yang harus diikuti oleh para pemikir dan ilmuwan sehingga proses berpikir mereka bisa dikatakan sebagai produk ilmu pengetahuan dan bermanfaat bagi khalayak ramai dan manusia pada umumnya.


1.2 Karakteristik Berpikir Ilmiah
Pendekatan ilmiah adalah pendekatan disipliner dan pendekatan ilmu pengetahuan yang fungsional terhadap masalah tertentu. (Kamus Besar Bahasa Indonesia; PN Balai Pustaka, 1989). Pendekatan ilmiah wujudnya adalah metode ilmiah. Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi ilmu merupakan pengetahuan yang didapat lewat metode ilmiah.
Menurut Checkland (1993), berdasarkan sejarah perkembangan ilmu, didapatkan tiga karakteristik utama dari pendekatan ilmiah, yaitu:
1.      Reductionism
2.      Repeatability
3.      Refutation
Reductionism adalah pendekatan yang mereduksi kompleksitas permasalahan menjadi bagian-bagian yang lebih kecil, sehingga dapat dengan mudah diamati dan diteliti. Pendekatan analitikal adalah nama lain dari reductionism, yaitu mencoba untuk mencari unsur-unsur yang menjelaskan fenomena tersebut dengan hukum sebab akibat. Asumsi dari reductionism ini adalah bahwa fenomena keseluruhan dapat dijelaskan dengan mengetahui fenomena dari unsur-unsurnya. Ada satu istilah yang sering digunakan dalam hal ini, yaitu keseluruhan adalah merupakan hasil penjumlahan dari unsur-unsurnya. Oleh karena itu, berfikir linier adalah juga merupakan nama lain dari reductionism.
Sifat kedua dari ilmu adalah repeatability, yaitu suatu pengetahuan disebut ilmu, bila pengetahuan tersebut dapat dicheck dengan mengulang eksperimen atau penelitian yang dilakukan oleh orang lain di tempat dan waktu yang berbeda. Sifat ini akan menghasilkan suatu pengetahuan yang bebas dari subyektifitas, emosi, dan kepentingan. Ini didasarkan pada pemahaman bahwa ilmu adalah pengetahuan milik umum, sehingga setiap orang yang berkepentingan harus dapat mengecheck kebenarannya dengan mengulang eksperimen atau penelitian yang dilakukan.
Sifat ilmu yang ketiga adalah refutation. Sifat ini mensyaratkan bahwa suatu ilmu harus memuat informasi yang dapat ditolak kebenarannya oleh orang lain. Suatu pernyataan bahwa besok mungkin hujan atau pun tidak, memuat informasi yang tidak layak untuk disebut ilmu, karena tidak dapat ditolak. Ilmu adalah pengetahuan yang memiliki resiko untuk ditolak, sehingga ilmu adalah pengetahuan yang dapat berkembang, sebagai contoh Teori Newton ditolak oleh Eisntein sehingga menghasilkan teori baru tentang relativitas.)
Metode ilmiah merupakan ekspresi cara bekerja pikiran. Sistematika dalam metode ilmiah sesungguhnya merupakan manifestasi dari alur berpikir yang dipergunakan untuk menganalisis suatu permasalahan. Alur berpikir dalam metode ilmiah memberi pedoman kepada para ilmuwan dalam memecahkan persoalan menurut integritas berpikir deduktif dan induktif. Berfikir deduktif adalah proses pengambilan kesimpulan berdasarkan premis-premis yang kebenarannya telah ditentukan. Metode deduktif menurut kamus umum Bahasa Indonesia adalah yang dimulai dari hal-hal yang bersifat umum kemudian ditarik kesimpulan kepada yang khusus. Sedangkan berfikir induktif adalah penalaran yang mengambil contoh-contoh khusus yang khas untuk kemudian diambil kesimpulan yang lebih umum. Metode induktif menurut kamus umum Bahasa Indonesia adalah metode yang digunakan menarik kesimpulan dari hal yang khusus untuk menuju kepada kesimpulan bersifat umum
Metode ilmiah merupakan gabungan dari pendekatan rasional dengan pendekatan empiris. Secara rasional maka ilmu menyusun pengetahuan secara konsisten dan komulatif, sedangkan secara empiris ilmu memisahkan antara pengetahuan yang sesuai fakta dengan yang tidak. Alur berfikir yang tercakup dalam metode ilmiah dapat dijabarkan dalam beberapa langkah yang mencerminkan tahap-tahap dalam kegiatan ilmiah. Kerangka berfikir ilmiah yang berintikan proses logico-hypotetico-verifikasi ini pada dasarnya terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut.
1.      Perumusan masalah.
2.      Penyusunan kerangka berfikir dalam penyususnan hipotesis.
3.      Perumusan hipotesis
4.      Pengujian hipotesis
5.      Penarikan kesimpulan
Keseluruhan langkah ini harus ditempuh agar suatu penelaahan dapat disebut ilmiah. Hubungan langkah yang satu dengan yang lainnya bersifat dinamis dengan proses pengkajian ilmiah yang tidak semata mengandalkan penalaran melainkan juga imajinasi dan kreativitas. Langkah-langkah tersebut harus dianggap sebagai patokan utama walaupun dalam penelitian yang sesungguhnya mungkin saja berkembang berbagai variasi sesuai dengan bidang dan permasalahan yang diteliti.

1.3 Langkah-langkah Berpikir Ilmiah

Bagaimanapun juga berpikir ilmiah tetap menggunakan atau memakai proses berpikir ilmiah sebagai salah satu syarat untuk dikatakan bahwa apa yang dipikirkan termasuk dalam kerangka berpikir ilmiah. Adapun proses berpikir ilmiah menurut Sudjana menempuh langkah-langkah tertentu yang disanggah oleh tiga unsur pokok, yakni pengajuan masalah, perumusan hipotesis, dan verifikasi data.

Menurut Jujun ada lima langkah dalam kerangka berpikir ilmiah. Pertama merumuskan masalah, kedua menyusun kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis, ketiga merumuskan hipotesis, keempat menguji hipotesis dan langkah terakhir adalah menarik suatu kesimpulan. Demikian pula menurut Nazir penelitian menggunakan metode ilmiah sekurang-kurangnya dilakukan dengan langkah-langkah berikut : (1) merumuskan serta mendefinisikan masalah, (2) mengadakan studi kepustakaan, (3) memformulasikan hipotesa, (4) menentukan model untuk menguji hipotesa, (5) mengumpulkan data, (6) menyusun, menganalisa dan memberikan interpretasi, (7) membuat generalisasi kesimpulan.

Jadi dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya langkah-langkah atau taraf berpikir ilmiah dimulai dengan munculnya sebuah masalah yang kemudian disusun dalam suatu bentuk rumusan masalah, selanjutnya memberikan suatu solusi pemecahannya dalam bentuk jawaban atau kesimpulan yang bersifat sementara terhadap pertanyaan atau permasalahan yang diajukan, setelah itu menentukan cara yang benar untuk menguji hipotesis dengan mengumpulkan data-data dan fakta-fakta empiris yang relevan dengan hipotesis yang diajukan sehingga akan menampakkan apakah benar terdapat fakta dan data nyata tersebut atau tidak. Terakhir dapat ditarik sebuah kesimpulan apakah betul sebuah hipotesis yang telah diajukan itu ditolak atau bahkan diterima,  berdasarkan data dan fakta yang ada, bukan berlandaskan terhadap opini atau asumsi.

Berikut penjelasan langkah-langkah berpikir ilmiah dari dengan didukung pendapat para ahli.

Langkah pertama dalam kerangka berpikir ilmiah adalah perumusan masalah. Perumusan masalah merupakan hulu dari penelitian, dan merupakan langkah yang penting dan pekerjaan yang sulit dalam penelitian ilmiah. Penting karena rumusan masalah adalah ibarat pondasi rumah atau bangunan, tempat berpijak awal, apabila salah menentukan dan tidak jelas batasan dalam melakukan akan menyulitkan proses selanjutnya. Diantaranya akan menyulitkan seseorang atau pembaca dalam memahami kejelasan judul, sehingga membuat pembaca memahaminya dengan multi tafsir, oleh karena itu kejelasan judul perlu dituangkan dalam perumusan masalah. Perumusan masalah merupakan pedoman dasar yang kuat bagi pelaksanaan penelitian. Khususnya untuk menyusun butir-butir pertanyaan dalam alat (instrumen), angket, pedoman wawancara, pedoman menelusur dokumen dan sebagainya dan  membatasi permasalahan yang akan diteliti.

Dalam perumusan masalah seorang peneliti dituntut untuk teliti dan cermat menentukan batasan-batasan sebuah masalah yang akan diteliti sehingga tidak membuat kabur permasalahan yang diteliti. Perumusan masalah umumnya dan biasanya disusun dalam bentuk kalimat tanya, rumusan harus jelas dan berisi implikasi adanya data untuk memecahkan atau menyelesaikan masalah, rumusan masalah juga harus merupakan dasar dalam membuat hipotesa dan menjadi dasar bagi judul suatu kegiatan penelitian.

Langkah berikutnya perumusan hipotesis. "Hypo" artinya dibawah dan "thesa" artinya kebenaran. Dalam bahasa Indonesia dituliskan hipotesa, dan berkembang menjadi hipotesis. Hipotesis merupakan jawaban sementara atau dugaan terhadap pertanyaan yang diajukan yang materinya merupakan kesimpulan dari kerangka berpikir yang dikembangkan.

Pendapat lain mengatakan bahwa hipotesis adalah jawaban sementara atas pertanyaan penelitian yang diajukan terhadap masalah yang telah dirumuskan. Oleh karena itulah, suatu hipotesis mesti dikembang dari suatu teori terpercaya. Jika hipotesis itu telah teruji oleh data empirik dan ternyata benar, maka jadilah hipotesa itu menjadi teori atau tesis. Karena berdasarkan isi dan rumusannya hipotesis dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu jenis hipotesis alternatif (Ha) dan hipotesis nol (Ho).

Hipotesis alternatif atau hipotesis kerja menyatakan adanya hubungan antara dua variabel atau lebih, atau menyatakan adanya perbedaan dalam hal tertentu pada kelompok yang berbeda. Sedangkan hipotesis nol (Ho) adalah kebalikan dari hipotesis alternatif, yaitu menyatakan tidak adanya hubungan atau tidak adanya perbedaan antara dua variabel atau lebih.

Namun biasanya dalam penelitian deskriptif biasanya hipotesis bertujuan untuk membuat deskripsi mengenai hal yang diteliti, bukan bertujuan untuk menguji hipotesis. Setelah perumusan hipotesis langkah selanjutnya adalah pengujian hipotesis. Pengujian hipotesis merupakan pengumpulan fakta-fakta yang relevan dengan hipotesis yang diajukan untuk memperlihatkan apakah terdapat fakta-fakta yang mendukung hipotesis tersebut atau tidak. Setiap hipotesis dapat diuji kebenarannya tentu saja dengan menggunakan bukti-bukti empiris serta teknik analisis yang secermat mungkin, karena dengan demikian halnya, maka suatu hipotesis akan menentukan arah dan fokus upaya pengumpulan dan penganalisaan data.

Jadi hipotesis adalah usaha untuk mengumpulkan bukti-bukti yang relevan dan berhubungan serta mendukung terhadap hipotesis yang telah diajukan sehingga bisa teruji kebenaran hipotesis tersebut atau tidak dan hal ini sangat penting untuk dilakukan karena tanpa ada proses pengujian hipotesis dalam sebuah penelitian akan sulit penelitian tersebut dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.

Langkah terakhir dalam kerangka berpikir ilmiah adalah penarikan kesimpulan. Kesimpulan merupakan salah satu faktor yang penting dalam sebuah proses penelitian, kenapa demikian, karena dengan kesimpulan yang ada dalam suatu penelitian akan menjawab permasalahan yang ada dalam penelitian. Kesimpulan itu berupa natijah hasil dari penafsiran dan pembahasan data yang diperoleh dalam penelitian, sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan  dalam perumusan masalah.


2.4 Contoh penerapan pendekatan Ilmiah dalam pembelajaran Sejarah
Untuk dapat disebut ilmiah, metode pencarian (method of inquiry) harus berbasis pada bukti-bukti dari objek yang dapat diobservasi, empiris, dan terukur dengan prinsip-prinsip penalaran yang spesifik. Karena itu, metode ilmiah umumnya memuat rangkaian kegiatan koleksi data atau fakta melalui observasi dan eksperimen, kemudian memformulasi dan menguji hipotesis. Sebenarnya apa yang kita bicarakan dengan metode ilmiah merujuk pada: (1) adanya fakta, (2) sifat bebas prasangka, (3) sifat objektif, dan (4) adanya analisa. Dengan metode ilmiah seperti ini diharapkan kita akan mempunya sifat. Selanjutnya secara sederhana pendekatan ilmiah merupakan suatu cara atau mekanisme untuk mendapatkan pengetahuan dengan prosedur yang didasarkan pada suatu metode ilmiah. Ada juga yang mengartikan pendekatan ilmiah sebagai mekanisme untuk memperoleh pengetahuan yang didasarkan pada struktur logis. Pendekatan ilmiah ini memerlukan langkah-langkah pokok:
1) Mengamati
2) Menanya
3) Menalar
4) Mencoba
5) Membentuk jejaring
Langkah-langkah di atas boleh dikatakan sebagai pembelajaran terhadap pengetahuan ilmiah yang diatur oleh pertimbangan-pertimbangan logis dalam sejarah. Karena yang dikehendaki adalah jawaban mengenai fakta-fakta sejarah, maka pendekatan dengan langkah-langkah tersebut dikatakan sangat erat dengan metode ilmiah. Langkah-langkah Pembelajaran Sejarah dengan Pendekatan Ilmiah
Proses pembelajaran pada Kurikulum 2013 dilaksanakan menggunakan pendekatan ilmiah. Proses pembelajaran menyentuh tiga ranah, yaitu sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Dalam proses pembelajaran berbasis pendekatan ilmiah, ranah sikap menggamit transformasi substansi atau materi ajar agar peserta didik “tahu mengapa.” Ranah keterampilan menggamit transformasi substansi atau materi ajar agar peserta didik “tahu bagaimana”. Ranah pengetahuan menggamit transformasi substansi atau materi ajar agar peserta didik “tahu apa.” Hasil akhirnya adalah peningkatan dan keseimbangan antara kemampuan untuk menjadi manusia yang baik (soft skills) dan manusia yang memiliki kecakapan dan pengetahuan untuk hidup secara layak (hard skills) dari peserta didik yang meliputi aspek kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan. Kurikulum 2013 menekankan pada dimensi pedagogik modern dalam pembelajaran, yaitu menggunakan pendekatan ilmiah. Pendekatan ilmiah (scientific approach) dalam pembelajaran sebagaimana dimaksud meliputi mengamati, menanya, mencoba, mengolah, menyajikan, menyimpulkan, dan mencipta untuk semua mata pelajaran. Pendekatan ilmiah pembelajaran sejarah disajikan berikut ini.
1. Mengamati
Metode mengamati mengutamakan kebermaknaan proses pembelajaran (meaningfull learning). Metode ini memiliki keunggulan tertentu, seperti menyajikan media obyek secara nyata, peserta didik senang dan tertantang, dan mudah pelaksanaannya. Tentu saja kegiatan mengamati dalam rangka pembelajaran ini biasanya memerlukan waktu persiapan yang lama dan matang, biaya dan tenaga relatif banyak, dan jika tidak terkendali akan mengaburkan makna serta tujuan pembelajaran.
Dalam pembelajaran sejarah, pengamatan dilakukan pada objek sejarah yang berupa situs sejarah. Oleh karena sejarah itu adalah sesuatu yang sudah terjadi, dalam pembelajaran bisa ditampilkan dalam bentuk media; media video, gambar dan seterusnya. Dalam tema akulturasi Hindu Buddha, misalnya dapat ditampilkan gambar candi Borobudur, candi Prambanan. Kegiatan mengamati dalam pembelajaran dilakukan dengan menempuh langkah-langkah seperti berikut ini.
1.      Menentukan objek apa yang akan diobservasi
2.      Membuat pedoman observasi sesuai dengan lingkup objek yang akan diobservasi
3.      Menentukan secara jelas data-data apa yang perlu diobservasi, baik primer maupun sekunder
4.      Menentukan di mana tempat objek yang akan diobservasi
5.      Menentukan secara jelas bagaimana observasi akan dilakukan untuk mengumpulkan data agar berjalan mudah dan lancer
6.      Menentukan cara dan melakukan pencatatan atas hasil observasi , seperti menggunakan buku catatan, kamera, tape recorder, video perekam, dan alatalat tulis lainnya.

2. Menanya
Guru yang efektif mampu menginspirasi peserta didik untuk meningkatkan dan mengembangkan ranah sikap, keterampilan, dan pengetahuannya. Pada saat guru bertanya, pada saat itu pula dia membimbing atau memandu peserta didiknya belajar dengan baik. Ketika guru menjawab pertanyaan peserta didiknya, ketika itu pula dia mendorong asuhannya itu untuk menjadi penyimak dan pembelajar yang baik. Artinya guru dapat menumbuhkan sikap ingin tahu siswa, yang diekspresikan dalam bentuk pertanyaan. Misalnya: Kenapa bentuk candi Borobudur dan Prambanan itu tidak sama? Apakah seni bangun candi itu asli Indonesia atau ada pengaruh dari luar? Diusahakan setelah ada pengamatan, yang bertanya bukan guru, tetapi yang bertanya peserta didik. Berikut tip-tip fungsi bertanya:
1.      Membangkitkan rasa ingin tahu, minat, dan perhatian peserta didik tentang suatu tema atau topik pembelajaran.
2.      Mendorong dan menginspirasi peserta didik untuk aktif belajar, serta mengembangkan pertanyaan dari dan untuk dirinya sendiri.
3.      Mendiagnosis kesulitan belajar peserta didik sekaligus menyampaikan ancangan untuk mencari solusinya.
4.      Menstrukturkan tugas-tugas dan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menunjukkan sikap, keterampilan, dan pemahamannya atas substansi pembelajaran yang diberikan.
5.      Membangkitkan keterampilan peserta didik dalam berbicara, mengajukan pertanyaan, dan memberi jawaban secara logis, sistematis, dan menggunakan bahasa yang baik dan benar.
6.      Mendorong partisipasi peserta didik dalam berdiskusi, berargumen, mengembangkan kemampuan berpikir, dan menarik simpulan.
7.      Membangun sikap keterbukaan untuk saling memberi dan menerima pendapat atau gagasan, memperkaya kosa kata, serta mengembangkan toleransi sosial dalam hidup berkelompok.
8.      Membiasakan peserta didik berpikir spontan dan cepat, serta sigap dalam merespon persoalan yang tiba-tiba muncul.
9.      Melatih kesantunan dalam berbicara dan membangkitkan kemampuan berempati satu sama lain.
10.  Bobot pertanyaan yang menggambarkan tingkatan kognitif yang lebih rendah hingga yang lebih tinggi.
3. Menalar
Istilah “menalar” dalam kerangka proses pembelajaran dengan pendekatan ilmiah yang dianut dalam Kurikulum 2013 untuk menggambarkan bahwa guru dan peserta didik merupakan pelaku aktif. Titik tekannya tentu dalam banyak hal dan situasi peserta didik harus lebih aktif daripada guru. Penalaran adalah proses berfikir yang logis dan sistematis atas fakta-kata empiris yang dapat diobservasi untuk memperoleh simpulan berupa pengetahuan. Penalaran dimaksud merupakan penalaran ilmiah, meski penakaran nonilmiah tidak selalu tidak bermanfaat.
Terdapat dua cara menalar, yaitu penalaran induktif dan penalaran deduktif. Penalaran induktif merupakan cara menalar dengan menarik simpulan dari fenomena atau atribut-atribut khusus untuk hal-hal yang bersifat umum. Jadi, menalar secara induktif adalah proses penarikan simpulan dari kasuskasus yang bersifat nyata secara individual atau spesifik menjadi simpulan yang bersifat umum. Kegiatan menalar secara induktif lebih banyak berpijak pada observasi inderawi atau pengalaman empirik. Dalam pembelajaran sejarah, peristiwa sejarah bersifat unik. Oleh karena itu karena keunikannya itulah, maka tidak bisa ditarik kesimpulan/digeneralisasi. Yang dapat digeneral adalah gejalanya saja. Ada lagi cara menalar kontekstual, yang menganggap bahwa bahwa peristiwa sejarah harus diambil benang merahnya dengan peristiwa kekinian/kontemporer.
Contoh:
_ Deduktif: bangsa Indonesia tidak mau dijajah bangsa asing, buktinya ada perlawanan/perang Diponegoro, Hasannudin, Pattimura
_ Induktif: diberbagai daerah ada perlawanan/perang Diponegoro, Hasannudin, Pattimura, pertanda bahwa bangsa Indonesia tidak mau dijajah.
_ Unik: perlawanan/perang Diponegoro, Hasannudin, Pattimura itu tidak sama satu sama lain, karena pada peristiwa itu memiliki latar belakang dan setting yang berbeda. Jadi ketiga perlawanan/perang itu tidak sama satu dengan yang lain.
_ Kontekstual: peristiwa Tanjung Priok yang menggambarkan akan dibongkarnya makam ulama, menemui protes besar dari masyarakat, mestinya tidak perlu terjadi. Karena meletusnya perlawanan/perang Diponegoro karena Belanda mau membuat jalan, dimana jalan yang akan dibuat itu melewati makam leluhur Diponegoro.
b. Analogi dalam Pembelajaran
Selama proses pembelajaran, guru dan peserta didik sering kali menemukan fenomena yang bersifat analog atau memiliki persamaan. Dengan demikian, guru dan peserta didik adakalanya menalar secara analogis. Analogi adalah suatu proses penalaran dalam pembelajaran dengan cara membandingkan sifat esensial yang mempunyai kesamaan atau persamaan. Berpikir analogis sangat penting dalam pembelajaran, karena hal itu akan mempertajam daya nalar peserta didik. Seperti halnya penalaran, analogi terdiri dari dua jenis, yaitu analogi induktif dan analogi deduktif. Kedua analogi itu dijelaskan berikut ini.
Analogi induktif disusun berdasarkan persamaan yang ada pada dua fenomena atau gejala. Atas dasar persamaan dua gejala atau fenomena itu ditarik simpulan bahwa apa yang ada pada fenomena atau gejala pertama terjadi juga pada fenomena atau gejala kedua. Analogi induktif merupakan suatu “metode menalar” yang sangat bermanfaat untuk membuat suatu simpulan yang dapat diterima berdasarkan pada persamaan yang terbukti terdapat pada dua fenomena atau gejala khusus yang diperbandingkan.
Contoh:
Hakekat Pergerakan Nasional bagi peserta didik adalah jiwa nasionalisme dan ketekunan dalam belajar. Peserta didik adalah generasi muda yang harus memiliki jiwa nasionalisme dan harus giat belajar.
Analogi deklaratif merupakan suatu “metode menalar” untuk menjelaskan atau menegaskan sesuatu fenomena atau gejala yang belum dikenal atau masih samar, dengan sesuatu yang sudah dikenal. Analogi deklaratif ini sangat bermanfaat karena ide-ide baru, fenomena, atau gejala menjadi dikenal atau dapat diterima apabila dihubungkan dengan hal-hal yang sudah diketahui secara nyata dan dipercayai.
Contoh:
Proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia dapat dilaksanakan karena adanya sinergitas, saling menghargai, sikap pantang menyerah antara golongan muda dan golongan tua. Begitu pula tercapainya suatu prestasi disekolah tidak terlepas dari sinergitas, saling menghargai, sikap pantang menyerah dari dewan guru, peserta didik, dan seluruh stake holder sekolah.
c. Hubungan Antar fenomena
Seperti halnya penalaran dan analogi, kemampuan menghubungkan antar fenomena atau gejala sangat penting dalam proses pembelajaran, karena hal itu akan mempertajam daya nalar peserta didik. Di sinilah esensi bahwa guru dan peserta didik dituntut mampu memaknai hubungan antar fenomena atau gejala, khususnya hubungan sebab-akibat.
Hubungan sebab-akibat diambil dengan menghubungkan satu atau beberapa fakta yang satu dengan datu atau beberapa fakta yang lain. Suatu simpulan yang menjadi sebab dari satu atau beberapa fakta itu atau dapat juga menjadi akibat dari satu atau beberapa fakta tersebut. Penalaran sebab-akibat ini masuk dalam ranah penalaran induktif, yang disebut dengan penalaran induktif sebab-akibat. Penalaran induksi sebab akibat terdiri dari tiga jenis.
1.      Hubungan sebab–akibat. Pada penalaran hubungan sebab-akibat, hal-hal yang menjadi sebab dikemukakan terlebih dahulu, kemudian ditarik simpulan yang berupa akibat.
Contoh:
Sehubungan adanya pembuatan jalan oleh Belanda yang melewati makam leluhur Diponegoro, maka pecahlah perang Diponegoro melawan Belanda 1825 – 1830.
2.      Hubungan akibat–sebab. Pada penalaran hubungan akibat-sebab, hal-hal yang menjadi akibat dikemukakan terlebih dahulu, selanjutnya ditarik simpulan yang merupakan penyebabnya.
Contoh :
Perang Diponegoro 1825 – 1830 melawan Belanda, sampai-sampai Belanda mengalami kerugian besar, dan nyaris dikalahkan, disebabkan Belanda membuat jalan yang melewati makam leluhur Diponegoro.
3.      Hubungan sebab–akibat 1 – akibat 2. Pada penalaran hubungan sebab-akibat 1–akibat 2, suatu penyebab dapat menimbulkan serangkaian akibat. Akibat yang pertama menjadi penyebab, sehingga menimbulkan akibat kedua. Akibat kedua menjadi penyebab sehingga menimbulkan akibat ketiga, dan seterusnya.
Contoh:
Perjuang bangsa Indonesia melalui Pergerakan Nasional, mengakibatkan diproklasikan kemerdekaan. Akibat proklamasi kemerdekaan datanglah Sekutu yaitu Inggris dan Belanda datang ke Indonesia . Kedatangan Sekutu yang berkeinginan menjaga status quo, tentu tidak diharapkan oleh pemuda Indonesia, terjadilah perang.
4.      Mencoba
Untuk memperoleh hasil belajar yang nyata atau otentik, peserta didik harus mencoba atau melakukan percobaan, terutama untuk materi atau substansi yang sesuai. Pada mata pelajaran sejarah, misalnya, peserta didik harus memahami kaitan fakta-fakta sejarah yang dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari. Peserta didik pun harus memiliki keterampilan proses untuk mengembangkan pengetahuan fakta sejarah, serta mampu menggunakan metode ilmiah dan bersikap ilmiah untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya sehari-hari.
Kegiatan ini merujuk pada semboyan kuno: historia vitae magistra , belajar sejarah agar bijaksana. Hal ini dimaksudkan bahwa belajar sejarah, seseorang yang mempelajari sejarah, termasuk peserta didik, diharapkan dapat mengambil pelajaran, dapat mengambil hikmah untuk dipakai dalam kehidupan sehari-hari dari peristiwa sejarah. Semua peristiwa sejarah tentu memiliki nilai yang dapat member inspirasi untuk mengembangkan sikap, ketrampilan, dan pengetahuan peserta didik. Sebut saja dari peristiwa perkelaian antar pelajar yang akhir-akhir ini sering terjadi. Perkelaian itu sebenarnya sudah tidak baik, karena tidak hanya melanggar aturan, tetapi bahkan melanggar norma kehidupan.
Melanggar aturan, melanggar norma kehidupan adalah sesuatu yang harus dihindari, harus dicegah, jangan sampai peserta didik sekarang terkena virus negative tersebut. Jadilah peserta didik yang taat aturan, memiliki martabat yang menjunjung tinggi kemanusiaan, dapat merefleksikan kehidupan yang positif dalam kehihudupan sehari-hari dan memiliki daya piker yang cerdas.
Jejaring Pembelajaran atau Pembelajaran Kolaboratif
Apa yang dimaksud dengan pembelajaran kolaboratif? Pembelajaran kolaboratif merupakan suatu filsafat personal, lebih dari sekadar sekadar teknik pembelajaran di kelas-kelas sekolah. Kolaborasi esensinya merupakan filsafat interaksi dan gaya hidup manusia yang menempatkan dan memaknai kerjasama sebagai struktur interaksi yang dirancang secara baik dan disengaja rupa untuk memudahkan usaha kolektif dalam rangka mencapai tujuan bersama.
Pada pembelajaran kolaboratif kewenangan guru lebih bersifat direktif atau manajer belajar, sebaliknya, peserta didiklah yang harus lebih aktif. Jika pembelajaran kolaboratif diposisikan sebagai satu falsafah peribadi, maka ia menyentuh tentang identitas peserta didik terutama jika mereka berhubungan atau berinteraksi dengan yang lain atau guru. Dalam situasi kolaboratif itu, peserta didik berinteraksi dengan empati, saling menghormati, dan menerima kekurangan atau kelebihan masing-masing. Dengan cara semacam ini akan tumbuh rasa aman, sehingga memungkin peserta didik menghadapi aneka perubahan dan tntutan belajar secara bersama-sama.
Ada empat sifat kelas atau pembelajaran kolaboratif. Dua sifat berkenaan dengan perubahan hubungan antara guru dan peserta didik. Sifat ketiga berkaitan dengan pendekatan baru dari penyampaian guru selama proses pembelajaran. Sifat keempat menyatakan isi kelas atau pembelajaran kolaboratif.
a.       Guru dan peserta didik saling berbagi informasi. Dengan pembelajaran kolaboratif, peserta didik memiliki ruang gerak untuk menilai dan membina ilmu pengetahuan, pengalaman personal, bahasa komunikasi, strategi dan konsep pembelajaran sesuai dengan teori, serta menautkan kondisi sosiobudaya dengan situasi pembelajaran. Di sini, peran guru lebih banyak sebagai pembimbing dan manajer belajar ketimbang memberi instruksi dan mengawasi secara rijid.
Contoh: Jika guru mengajarkan topik “hidup bersama secara damai.” Peserta didik yang mempunyai pengalaman yang berkaitan dengan topik tersebut berpeluang menyatakan sesuatu pada sesi pembelajaran, berbagi idea, dan memberi garisgaris besar arus komunikasi antar peserta didik. Jika peserta didik memahami dan melihat fenomena nyata kehidupan bersama yang damai itu, pengalaman dan pengetahuannya dihargai dan dapat dibagikan dalam jaringan pembelajaran mereka. Mereka pun akan termotivasi untuk melihat dan mendengar. Di sini peserta didik juga dapat merumuskan kaitan antara proses pembelajaran yang sedang dilakukan dengan dunia sebenarnya.
b. Berbagi tugas dan kewenangan. Pada pembelajaran atau kelas kolaboratif, guru berbagi tugas dan kewenangan dengan peserta didik, khususnya untuk hal-hal tertentu. Cara ini memungkinan peserta didik menimba pengalaman mereka sendiri, berbagi strategi dan informasi, menghormati antarsesa, mendoorong tumbuhnya ide-ide cerdas, terlibat dalam pemikiran kreatif dan kritis serta memupuk dan menggalakkan mereka mengambil peran secara terbuka dan bermakna.
c. Guru sebagai mediator.Pada pembelajaran atau kelas kolaboratif, guru berperan sebagai mediator atau perantara. Guru berperan membantu menghubungkan informasi baru dengan pengalaman yang ada serta membantu peserta didik jika mereka mengalami kebutuan dan bersedia menunjukkan cara bagaimana mereka memiliki kesungguhan untuk belajar.
d. Kelompok peserta didik yang heterogen. Sikap, keterampilan, dan pengetahuan peserta didk yang tumbuh dan berkembang sangat penting untuk memperkaya pembelajaran di kelas. Pada kelas kolaboratif peserta didikdapat menunjukkan kemampuan dan keterampilan mereka, berbagi informasi,serta mendengar atau membahas sumbangan informasi dari peserta didik lainnya. Dengan cara seperti ini akan muncul “keseragaman” di dalam heterogenitas peserta didik.
Contoh Pembelajaran Kolaboratif
Guru ingin mengajarkan tentang konsep, penggolongan sifat, fakta, atau mengulangi informasi tentang objek. Untuk keperluan pembelajaran ini dia menggunakan media sortir kartu (card sort). Prosedurnya dapat dilakukan seperti berikut ini.
·         Kepada peserta didik diberikan kartu indeks yang memuat informasi atau contoh yang cocok dengan satu atau lebih katagori.
·         Peserta didik diminta untuk mencari temannya dan menemukan orang yang memiliki kartu dengan katagori yang sama.
·         Berikan kepada peserta didik yang kartu katagorinya sama menyajikan sendiri kepada rekanhya.
·         Selama masing-masing katagori dipresentasikan oleh peserta didik, buatlah catatan dengan kata kunci (point) dari pembelajaran tersebut yang dirasakan penting.
b. Macam-macam Pembelajaran Kolaboratif
Banyak merode yang dipakai dalam pembelajaran atau kelas kolaboratif. Beberapa di antaranya dijelaskan berikut ini.
_ JP = Jigsaw Proscedure. Pembelajaran dilakukan dengan cara peserta didik sebagai anggota suatu kelompok diberi tugas yang berbeda-beda mengenai suatu pokok bahasan. Agar masing-masing peserta didik anggota dapat memahami keseluruhan pokok bahasan, tes diberikan dengan materi yang menyeluruh. Penilaian didasari pada rata-rata skor tes kelompok.
_ STAD = Student Team Achievement Divisions.Peserta didik dalam suatu kelas dibagi menjadi beberapa kelompok kecil. Anggota-anggota dalam setiap kelompok bertindak saling membelajarkan. Fokusnya adalah keberhasilan seorang akan berpengaruh terhadap keberhasilan kelompok dan demikian pula keberhasilan kelompok akan berpengaruh terhadap keberhasilan individu peserta didik lainnya. Penilaian didasari pada pencapaian hasil belajar individual maupun kelompok peserta didik.
_ CI = Complex Instruction.Titik tekan metode ini adalam pelaksanaan suatu proyek yang berorientasi pada penemuan, khususnya dalam bidang sains, matematika, dan ilmu pengetahuan sosial. Fokusnya adalah menumbuhkembangkan ketertarikan semua peserta didiksebagai anggota kelompok terhadap pokok bahasan. Metode ini umumnya digunakan dalam pembelajaran yang bersifat bilingual (menggunakan dua bahasa) dan di antara para peserta didik yang sangat heterogen. Penilaian didasari pada proses dan hasil kerja kelompok.
_ TAI = Team Accelerated Instruction. Metodeini merupakan kombinasi antara pembelajaran kooperatif/kolaboratif dengan pembelajaran individual. Secara bertahap, setiap peserta didik sebagai anggota kelompok diberi soal-soal yang harus mereka kerjakan sendiri terlebih dulu. Setelah itu dilaksanakan penilaian bersama-sama dalam kelompok. Jika soal tahap pertama telah diselesaikan dengan benar, setiap peserta didik mengerjakan soal-soal berikutnya. Namun jika seorang peserta didik belum dapat menyelesaikan soal tahap pertama dengan benar, ia harus menyelesaikan soal lain pada tahap yang sama. Setiap tahapan soal disusun berdasarkan tingkat kesukaran soal. Penilaian didasari pada hasil belajar individual maupun kelompok.
_ CLS = Cooperative Learning Stuctures. Pada penerapan metode pembelajaran ini setiap kelompok dibentuk dengan anggota dua peserta didik (berpasangan). Seorang peserta didik bertindak sebagai tutor dan yang lain menjadi tutee. Tutor mengajukan pertanyaan yang harus dijawab oleh tutee. Bila jawaban tutee benar, ia memperoleh poin atau skor yang telah ditetapkan terlebih dulu. Dalam selang waktu yang juga telah ditetapkan sebelumnya, kedua peserta didik yang saling berpasangan itu berganti peran.
_ LT = Learning Together. Pada metode ini kelompok-kelompok sekelas beranggotakan peserta didik yang beragam kemampuannya. Tiap kelompok bekerjasama untuk menyelesaikan tugas yang diberikan oleh guru. Satu kelompok hanya menerima dan mengerjakan satu set lembar tugas. Penilaian didasarkan pada hasil kerja kelompok.
_ TGT = Teams-Games-Tournament. Pada metode ini, setelah belajar bersama kelompoknya sendiri, para anggota suatu kelompok akan berlomba dengan anggota kelompok lain sesuai dengan tingkat kemampuan masing-masing. Penilaian didasari pada jumlah nilai yang diperoleh kelompok peserta didik.
_ GI = Group Investigation. Pada metode ini semua anggota kelompok dituntut untuk merencanakan suatu penelitian beserta perencanaan pemecahan masalah yang dihadapi. Kelompok menentukan apa saja yang akan dikerjakan dan siapa saja yang akan melaksanakannya berikut bagaimana perencanaan penyajiannya di depan forum kelas. Penilaian didasari pada proses dan hasil kerja kelompok.
_ AC = Academic-Constructive Controversy. Pada metode ini setiap anggota kelompok dituntut kemampuannya untuk berada dalam situasi konflik intelektual yang dikembangkan berdasarkan hasil belajar masingmasing, baik bersama anggota sekelompok maupun dengan anggota kelompok lain. Kegiatan pembelajaran ini mengutamakan pencapaian dan pengembangan kualitas pemecahan masalah, pemikiran kritis, pertimbangan, hubungan antarpribadi, kesehatan psikis dan keselarasan. Penilaian didasarkan pada kemampuan setiap anggota maupun kelompok mempertahankan posisi yang dipilihnya.
_ CIRC = Cooperative Integrated Reading and Composition. Pada metode pembelajaran ini mirip dengan TAI. Metode pembelajaran ini menekankan pembelajaran membaca, menulis dan tata bahasa. Dalam pembelajaran ini, para peserta didik saling menilai kemampuan membaca, menulis dan tata bahasa, baik secara tertulis maupun lisan di dalam kelompoknya.
c. Pemanfaatan Internet
Pemanfaatan internet sangat dianjurkan dalam pembelajaran atau kelas kolaboratif. Karena memang, internet merupakan salah satu jejaring pembelajaran dengan akses dan ketersediaan informasi yang luas dan mudah. Saat ini internet telah menyediakan diri sebagai referensi yang murah dan mudah bagi peserta didik atau siapa saja yang hendak mengubah wajah dunia. Penggunaan internet disarakan makin mendesak sejalan denan perkembangan pengetahuan terjadi secara eksponensial. Masa depan adalah milik peserta didik yang memiliki akses hampir ke seluruh informasi tanpa batas dan mereka yang mampu memanfaatkan informasi diterima secepat mungkin.






BAB III PENUTUP

3.1  Kesimpulan
Proses pembelajaran dapat dipadankan dengan suatu proses ilmiah. Karena itu Kurikulum 2013 mengamanatkan esensi pendekatan ilmiah dalam pembelajaran. Pendekatan ilmiah diyakini sebagai titian emas perkembangan dan pengembangan sikap, keterampilan, dan pengetahuan peserta didik. Dalam pendekatan atau proses kerja yang memenuhi kriteria ilmiah, para ilmuan lebih mengedepankan pelararan induktif (inductive reasoning) ketimbang penalaran deduktif (deductivereasoning). Penalaran deduktif melihat fenomena umum untuk kemudian menarik simpulan yang spesifik. Sebaliknya, penalaran induktif memandang fenomena atau situasi spesifik untuk kemudian menarik simpulan secara keseluruhan. Sejatinya, penalaran induktif menempatkan bukti-bukti spesifik ke dalam relasi idea yang lebih luas. Metode ilmiah umumnya menempatkan fenomena unik dengan kajian spesifik dan detail untuk kemudian merumuskan simpulan umum.
Untuk dapat disebut ilmiah, metode pencarian (method of inquiry) harus berbasis pada bukti-bukti dari objek yang dapat diobservasi, empiris, dan terukur dengan prinsip-prinsip penalaran yang spesifik. Karena itu, metode ilmiah umumnya memuat rangkaian kegiatan koleksi data atau fakta melalui observasi dan eksperimen, kemudian memformulasi dan menguji hipotesis. Sebenarnya apa yang kita bicarakan dengan metode ilmiah merujuk pada: (1) adanya fakta, (2) sifat bebas prasangka, (3) sifat objektif, dan (4) adanya analisa. Ada juga yang mengartikan pendekatan ilmiah sebagai mekanisme untuk memperoleh pengetahuan yang didasarkan pada struktur logis. Pendekatan ilmiah ini memerlukan langkah-langkah pokok:
1) Mengamati
2) Menanya
3) Menalar
4) Mencoba
5) Membentuk jejaring
DAFTAR PUSTAKA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar