KETERLIBATAN AMERIKA SERIKAT DENGAN INDONESIA
Disusun
untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Amerika
Dosen
Pengampuh Dr. Suranto,
M.Pd
Oleh
EVIE
EKA YULIATI (120210302105)
Kelas B
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2014
KATA PENGANTAR
Dengan mengucap puji syukur
kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya, tidak lupa kami
mengucapkan terima kasih kepada pembimbing yang telah bersedia membimbing kami
dalam penyusunan makalah ini, sehingga penyusunan makalah dengan judul “MENGEMBANGKAN
BERPIKIR ILMIAH PADA PESERTA DIDIK DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH” dapat berjalan dengan lancar tanpa
ada halangan suatu apapun. Perencanaan, pelaksanaan dan
penyelesaian makalah sebagai salah satu tugas matakuliah Strategi
Belajar Mengajar.
Penulisan makalah ini berdasarkan
literatur yang ada. Penyusun menyadari akan kemampuan yang sangat terbatas
sehingga dalam penyusunan makalah ini banyak kekurangannya. Namun, makalah yang
disajikan sedikit banyak bermanfaat bagi penyusun khususnya dan mahasiswa lain
pada umumnya.
Penyusun juga menyadari penulisan
makalah ini masih jauh dari sempurna, maka dengan hati terbuka penyusun
menerima segala kritik dan saran yang sifatnya membangun demi kesempurnaan
makalah tersebut.
Jember, Oktober
2014
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman Judul ............................................................................................ i
Kata Pengantar ............................................................................................ ii
Daftar Isi ..................................................................................................... iii
BAB 1
PENDAHULUAN ........................................................................ 1
1.1 Latar Belakang.......................................................................................
1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................. 2
1.3 Tujuan ................................................................................................... 2
BAB 2
PEMBAHASAN ........................................................................... 3
2.1 Definisi Berpikir Ilmiah ........................................................................ 3
2.2 Karakteristik berpikir Ilmiah ................................................................. 5
2.3 Langkah-langkah Berpikir Ilmiah..........................................................
7
2.4 Penerapan Berpikir Ilmiah dalam pembelajaran Sejarah ....................... 10
BAB III
PENUTUP .................................................................................. 23
3.1 Kesimpulan ........................................................................................... 23
3.2 Saran ..................................................................................................... 23
DAFTAR
PUSTAKA .............................................................................. 24
BAB
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pendidikan karakter bukan merupakan wacana baru dalam sistem
pendidikan, karena esensi pendidikan adalah untuk membentuk karakter bangsa.
Begitu juga dengan mata pelajaran sejarah di sekolah-sekolah mempunyai nilai
dan esensi yang disampaikan oleh guru terhadap peserta didik. Kurikulum sebagai
komponen penting dalam pendidikan harus memiliki tujuan dan sasaran yang akan
dicapai, seleksi dan organisasi bahan dan isi pelajaran, bentuk dan kegiatan
belajar dan mengajar, dan akhirnya evaluasi hasil belajar.
Kurikulum 2013 adalah rancangan yang akan menekankan pada
karakter peserta didik dengan mengembangkan dan memperhatikan keragaman
karakteristik peserta didik, kondisi daerah, jenjang dan jenis pendidikan. Mata
pelajaran sejarah mempunyai nilai dalam berbagai aspek seperti mengembangkan
nilai jujur, adil, menghargai, dan demokratis. Nilai dari mata pelajaran
sejarah dapat diambil dari kajian peristiwa masa lalu dan menjadi acuan dalam
memaknai suatu masalah kehidupan demi kemajuan masa depan.
Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan
yang dilengkapi dengan akal dan pikiran. Tanpa akal manusia tidak akan bisa membuat
waduk/bendungan, jalan dan jembatan, rumah-rumah bertingkat dan sebagainya.
Hanya dengan akal dan pikiran, manusia dapat berubah taraf kehidupannya dari
tradisional, berkembang dan mengikuti perkembangan sampai dengan modern.
Akal digunakan manusia untuk berpikir,
berpikir merupakan sebuah kegiatan mental yang menghasilkan
pengetahuan. Jadi apabila manusia benar-benar memaksimalkan fungsi otaknya
untuk berpikir dalam menemukan pengetahuan atau menghasilkan pengetahuan
termasuk kategori berpikir ilmiah. Berpikir ilmiah sebuah kegiatan yang
seringkali dilakukan oleh para ilmuwan. Ilmuwan dalam mengkaji dan meneliti
hubungankausalitas (sebab akibat) antara berbagai macam peristiwa yang
terjadi dalam kehidupan manusia di alam semesta ini menggunakan daya
pikir yang logis analitis serta kritis. Maka dengan kemampuan berpikirnya
manusia bisa mengembangkan pengetahuan, baik ilmu pengetahuan yang bersifat
penyempurna dari ilmu pengetahuan sebelumnya ataupun ilmu pengetahuan yang
bersifat baru.
Ilmu pengetahuan dikatakan ilmiah jika
memiliki metode dan cara yang benar dan bisa dipertanggungjawabkan paling tidak
ditunjang oleh tiga komponen utama : pertama adanya objek, kedua adanya metode
yang digunakan dan ketiga adanya sistematika tertentu. Jadi berpikir
ilmiah merupakan cara berpikir yang memiliki tata cara dan aturan main yang
berlandaskan sistematika tertentu dan benar berdasarkan atas data empiris. Selanjutnya
agar berpikir ilmiah bisa terlaksana dan dilakukan dengan baik dan benar
tentunya harus menggunakan langkah-langkah dalam kerangka berpikir ilmiah.
Kerangka berpikir ilmiah inilah yang penulis jadikan tema pokok dalam
penjelasan isi makalah ini.
1.2 Rumusan Masalah
1)
Apa
pengertian dari Berpikir Ilmiah?
2)
Bagaimana
karakteristik dalam Berpikir Ilmiah?
3)
Bagaimanakah
langkah-langkah dalam Berpikir Ilmiah?
4)
Bagaimanakah
cara mengembangkan Berpikir Ilmiah Pada Peserta didik Dalam Pembelajaran
Sejarah?
1.3 Tujuan
1)
Untuk
mengetahui pengertian dari Berpikir Ilmiah
2)
Untuk
mengetahui dan memahami karakteristik dalam Berpikir Ilmiah
3)
Untuk
mengetahui langkah-langkah dalam Berpikir Ilmiah
4)
Untuk
mengetahui dan memahami cara mengembangkan Berpikir Ilmiah Pada Peserta didik
Dalam Pembelajaran Sejarah
BAB II PEMBAHASAN
1.1
Definisi berpikir Ilmiah
Akal digunakan manusia untuk
berpikir, berpikir merupakan sebuah kegiatan mental yang menghasilkan
pengetahuan. Jadi apabila manusia benar-benar memaksimalkan fungsi
otaknya untuk berpikir dalam menemukan pengetahuan atau menghasilkan
pengetahuan termasuk kategori berpikir ilmiah. Berpikir ilmiah sebuah kegiatan
yang seringkali dilakukan oleh para ilmuwan. Ilmuwan dalam mengkaji dan
meneliti hubungan kausalitas (sebab akibat) antara berbagai macam
peristiwa yang terjadi dalam kehidupan manusia di alam semesta ini
menggunakan daya pikir yang logis analitis serta kritis. Maka dengan
kemampuan berpikirnya manusia bisa mengembangkan pengetahuan, baik ilmu
pengetahuan yang bersifat penyempurna dari ilmu
pengetahuan sebelumnya ataupun ilmu pengetahuan yang bersifat baru.
Sebelum lebih jauh
menjelaskan apa yang dimaksud berpikir ilmiah, ada baiknya lebih dahulu kita
ketahui arti per kata dari kelompok kata tersebut. Pertama kata berpikir.
Berpikir adalah menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan dan memutuskan
sesuatu. Sedangkan menurut Poespoprodjo berpikir adalah suatu aktifitas yang
banyak seluk-beluknya, berlibat-libat, mencakup berbagai unsur dan
langkah-langkah. Menurut Anita Taylor et. Al. berpikir adalah proses penarikan
kesimpulan. Jadi berpikir merupakan sebuah proses tertentu yang dilakukan akal
budi dalam memahami, mempertimbangkan, menganalisa, meneliti, menerangkan dan
memikirkan sesuatu dengan jalan tertentu atau langkah-langkah tertentu sehingga
sampai pada sebuah kesimpulan yang benar.
Sedangkan Ilmiah yakni
bersifat ilmu, secara ilmu pengetahuan, memenuhi syarat kaidah ilmu
pengetahuan. Berpikir ilmiah adalah berpikir rasional dan berpikir empiris.
Bersifat ilmiah apabila ia mengandung kebenaran secara objektif, karena
didukung oleh informasi yang telah teruji kebenarannya dan disajikan secara
mendalam, berkat penalaran dan analisa yang tajam. Berpikir rasional adalah
berpikir menggunakan dan mengandalkan otak atau rasio atau akal budi manusia
sedangkan berpikir empiris berpikir dengan melihat realitas empiris, bukti
nyata atau fakta nyata yang terjadi di lingkungan yang ada melalui panca indera
manusia.
Proses pembelajaran dapat dipadankan dengan suatu proses ilmiah. Karena itu Kurikulum 2013 mengamanatkan esensi
pendekatan ilmiah dalam pembelajaran. Pendekatan ilmiah diyakini sebagai titian
emas perkembangan dan pengembangan sikap, keterampilan, dan pengetahuan peserta
didik. Dalam pendekatan atau proses kerja yang memenuhi kriteria ilmiah, para
ilmuan lebih mengedepankan pelararan induktif (inductive reasoning)
ketimbang penalaran deduktif (deductivereasoning). Penalaran deduktif melihat fenomena umum untuk kemudian
menarik simpulan yang spesifik. Sebaliknya, penalaran induktif memandang
fenomena atau situasi spesifik untuk kemudian menarik simpulan secara
keseluruhan. Sejatinya, penalaran induktif menempatkan bukti-bukti spesifik ke
dalam relasi idea yang lebih luas. Metode ilmiah umumnya menempatkan fenomena
unik dengan kajian spesifik dan detail untuk kemudian merumuskan simpulan umum.
Metode ilmiah merujuk pada teknik-teknik
investigasi atas suatu atau beberapa fenomena atau gejala, memperoleh pengetahuan baru, atau mengoreksi dan
memadukan pengetahuan sebelumnya. Untuk dapat disebut ilmiah, metode pencarian
(method of inquiry) harus berbasis
pada bukti-bukti dari objek yang dapat diobservasi, empiris, dan terukur dengan prinsip-prinsip penalaran yang
spesifik. Karena itu, metode ilmiah umumnya memuat serangkaian aktivitas
pengumpulan data
melalui observasi atau ekperimen, mengolah
informasi atau data, menganalisis, kemudian memformulasi, dan menguji hipotesis.
Berfikir ilmiah adalah berfikir yang logis dan empiris.
Logis: masuk akal, empiris: Dibahas secara mendalam berdasarkan fakta yang
dapat dipertanggung jawabkan. (Hillway,1956). Berpikir ilmiah adalah
menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan, memutuskan, mengembangkan dsb.
secara ilmu pengetahuan (berdasarkan prinsip-prinsip ilmu pengethuan. Atau
menggunakan prinsip-prinsip logis terhadap
penemuan, pengesahan dan penjelasan kebenaran.
Menurut Salam (1997:139) Pengertian berpikir ilmiah
1. Proses atau aktivitas manusia
untuk menemukan/ mendapatkan ilmu.
2. Proses berpikir untuk sampai pada
suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan.
3. Sarana berpikir ilmiah.
4. Sarana berpikir ilmiah merupakan
alat yang membantu kegiatan ilmiah dalam berbagai langkah yang harus ditempuh.
5. Tanpa penguasaan sarana berpikir
ilmiah kita tidak akan dapat melaksanakan kegiatan berpikir ilmiah yang baik.
6. Merupakan alat bagi metode ilmiah
dalam melakukan fungsinya dengan baik.
7. Mempunyai metode tersendiri yang
berbeda dengan metode ilmiah dalam mendapatkan pengetahuannya sebab fungsi
sarana berpikir ilmiah adalah membantu proses metode ilmiah.
Jadi memang tidak
semua berpikir akan mengahasilkan pengetahuan dan ilmu dan juga tidak semua
berpikir disebut berpikir ilmiah. Karena berpikir ilmiah memiliki aturan dan
kaidah tersendiri yang harus diikuti oleh para pemikir dan ilmuwan sehingga
proses berpikir mereka bisa dikatakan sebagai produk ilmu pengetahuan dan
bermanfaat bagi khalayak ramai dan manusia pada umumnya.
1.2 Karakteristik
Berpikir Ilmiah
Pendekatan ilmiah adalah pendekatan
disipliner dan pendekatan ilmu pengetahuan yang fungsional terhadap masalah
tertentu. (Kamus Besar Bahasa Indonesia; PN Balai Pustaka, 1989). Pendekatan
ilmiah wujudnya adalah metode ilmiah. Metode ilmiah merupakan prosedur dalam
mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi ilmu merupakan pengetahuan yang
didapat lewat metode ilmiah.
Menurut Checkland (1993), berdasarkan
sejarah perkembangan ilmu, didapatkan tiga karakteristik utama dari pendekatan
ilmiah, yaitu:
1.
Reductionism
2.
Repeatability
3.
Refutation
Reductionism adalah pendekatan yang
mereduksi kompleksitas permasalahan menjadi bagian-bagian yang lebih kecil,
sehingga dapat dengan mudah diamati dan diteliti. Pendekatan analitikal adalah
nama lain dari reductionism, yaitu mencoba untuk mencari unsur-unsur yang
menjelaskan fenomena tersebut dengan hukum sebab akibat. Asumsi dari
reductionism ini adalah bahwa fenomena keseluruhan dapat dijelaskan dengan
mengetahui fenomena dari unsur-unsurnya. Ada satu istilah yang sering digunakan
dalam hal ini, yaitu keseluruhan adalah merupakan hasil penjumlahan dari
unsur-unsurnya. Oleh karena itu, berfikir linier adalah juga merupakan nama
lain dari reductionism.
Sifat kedua dari ilmu adalah
repeatability, yaitu suatu pengetahuan disebut ilmu, bila pengetahuan tersebut
dapat dicheck dengan mengulang eksperimen atau penelitian yang dilakukan oleh
orang lain di tempat dan waktu yang berbeda. Sifat ini akan menghasilkan suatu
pengetahuan yang bebas dari subyektifitas, emosi, dan kepentingan. Ini
didasarkan pada pemahaman bahwa ilmu adalah pengetahuan milik umum, sehingga
setiap orang yang berkepentingan harus dapat mengecheck kebenarannya dengan
mengulang eksperimen atau penelitian yang dilakukan.
Sifat ilmu yang ketiga adalah refutation.
Sifat ini mensyaratkan bahwa suatu ilmu harus memuat informasi yang dapat
ditolak kebenarannya oleh orang lain. Suatu pernyataan bahwa besok mungkin
hujan atau pun tidak, memuat informasi yang tidak layak untuk disebut ilmu,
karena tidak dapat ditolak. Ilmu adalah pengetahuan yang memiliki resiko untuk
ditolak, sehingga ilmu adalah pengetahuan yang dapat berkembang, sebagai contoh
Teori Newton ditolak oleh Eisntein sehingga menghasilkan teori baru tentang
relativitas.)
Metode ilmiah merupakan ekspresi cara
bekerja pikiran. Sistematika dalam metode ilmiah sesungguhnya merupakan
manifestasi dari alur berpikir yang dipergunakan untuk menganalisis suatu
permasalahan. Alur berpikir dalam metode ilmiah memberi pedoman kepada para
ilmuwan dalam memecahkan persoalan menurut integritas berpikir deduktif dan
induktif. Berfikir deduktif adalah proses pengambilan kesimpulan berdasarkan
premis-premis yang kebenarannya telah ditentukan. Metode deduktif menurut kamus
umum Bahasa Indonesia adalah yang dimulai dari hal-hal yang bersifat umum
kemudian ditarik kesimpulan kepada yang khusus. Sedangkan berfikir induktif
adalah penalaran yang mengambil contoh-contoh khusus yang khas untuk kemudian
diambil kesimpulan yang lebih umum. Metode induktif menurut kamus umum Bahasa
Indonesia adalah metode yang digunakan menarik kesimpulan dari hal yang khusus
untuk menuju kepada kesimpulan bersifat umum
Metode ilmiah merupakan gabungan dari
pendekatan rasional dengan pendekatan empiris. Secara rasional maka ilmu
menyusun pengetahuan secara konsisten dan komulatif, sedangkan secara empiris
ilmu memisahkan antara pengetahuan yang sesuai fakta dengan yang tidak. Alur
berfikir yang tercakup dalam metode ilmiah dapat dijabarkan dalam beberapa
langkah yang mencerminkan tahap-tahap dalam kegiatan ilmiah. Kerangka berfikir
ilmiah yang berintikan proses logico-hypotetico-verifikasi ini pada dasarnya
terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut.
1.
Perumusan masalah.
2.
Penyusunan kerangka berfikir dalam penyususnan
hipotesis.
3.
Perumusan hipotesis
4.
Pengujian hipotesis
5.
Penarikan kesimpulan
Keseluruhan langkah ini harus ditempuh
agar suatu penelaahan dapat disebut ilmiah. Hubungan langkah yang satu dengan
yang lainnya bersifat dinamis dengan proses pengkajian ilmiah yang tidak semata
mengandalkan penalaran melainkan juga imajinasi dan kreativitas.
Langkah-langkah tersebut harus dianggap sebagai patokan utama walaupun dalam
penelitian yang sesungguhnya mungkin saja berkembang berbagai variasi sesuai
dengan bidang dan permasalahan yang diteliti.
1.3 Langkah-langkah Berpikir Ilmiah
Bagaimanapun juga berpikir
ilmiah tetap menggunakan atau memakai proses berpikir ilmiah sebagai salah satu
syarat untuk dikatakan bahwa apa yang dipikirkan termasuk dalam kerangka
berpikir ilmiah. Adapun proses berpikir ilmiah menurut Sudjana menempuh langkah-langkah
tertentu yang disanggah oleh tiga unsur pokok, yakni pengajuan masalah,
perumusan hipotesis, dan verifikasi data.
Menurut Jujun ada lima
langkah dalam kerangka berpikir ilmiah. Pertama merumuskan masalah, kedua
menyusun kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis, ketiga merumuskan
hipotesis, keempat menguji hipotesis dan langkah terakhir adalah menarik suatu
kesimpulan. Demikian pula menurut Nazir penelitian menggunakan metode ilmiah
sekurang-kurangnya dilakukan dengan langkah-langkah berikut : (1) merumuskan
serta mendefinisikan masalah, (2) mengadakan studi kepustakaan, (3)
memformulasikan hipotesa, (4) menentukan model untuk menguji hipotesa, (5)
mengumpulkan data, (6) menyusun, menganalisa dan memberikan interpretasi, (7)
membuat generalisasi kesimpulan.
Jadi dari pendapat tersebut
dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya langkah-langkah atau taraf berpikir ilmiah
dimulai dengan munculnya sebuah masalah yang kemudian disusun dalam suatu
bentuk rumusan masalah, selanjutnya memberikan suatu solusi pemecahannya dalam
bentuk jawaban atau kesimpulan yang bersifat sementara terhadap pertanyaan atau
permasalahan yang diajukan, setelah itu menentukan cara yang benar untuk
menguji hipotesis dengan mengumpulkan data-data dan fakta-fakta empiris yang
relevan dengan hipotesis yang diajukan sehingga akan menampakkan apakah benar
terdapat fakta dan data nyata tersebut atau tidak. Terakhir dapat ditarik
sebuah kesimpulan apakah betul sebuah hipotesis yang telah diajukan itu ditolak
atau bahkan diterima, berdasarkan data dan fakta yang ada, bukan
berlandaskan terhadap opini atau asumsi.
Berikut penjelasan
langkah-langkah berpikir ilmiah dari dengan didukung pendapat para ahli.
Langkah pertama dalam
kerangka berpikir ilmiah adalah perumusan masalah. Perumusan masalah merupakan
hulu dari penelitian, dan merupakan langkah yang penting dan pekerjaan yang
sulit dalam penelitian ilmiah. Penting karena rumusan masalah adalah ibarat
pondasi rumah atau bangunan, tempat berpijak awal, apabila salah menentukan dan
tidak jelas batasan dalam melakukan akan menyulitkan proses selanjutnya.
Diantaranya akan menyulitkan seseorang atau pembaca dalam memahami kejelasan
judul, sehingga membuat pembaca memahaminya dengan multi tafsir, oleh karena
itu kejelasan judul perlu dituangkan dalam perumusan masalah. Perumusan masalah
merupakan pedoman dasar yang kuat bagi pelaksanaan penelitian. Khususnya untuk
menyusun butir-butir pertanyaan dalam alat (instrumen), angket, pedoman
wawancara, pedoman menelusur dokumen dan sebagainya dan membatasi
permasalahan yang akan diteliti.
Dalam perumusan masalah
seorang peneliti dituntut untuk teliti dan cermat menentukan batasan-batasan
sebuah masalah yang akan diteliti sehingga tidak membuat kabur permasalahan
yang diteliti. Perumusan masalah umumnya dan biasanya disusun dalam bentuk
kalimat tanya, rumusan harus jelas dan berisi implikasi adanya data untuk
memecahkan atau menyelesaikan masalah, rumusan masalah juga harus merupakan
dasar dalam membuat hipotesa dan menjadi dasar bagi judul suatu kegiatan penelitian.
Langkah berikutnya perumusan
hipotesis. "Hypo" artinya dibawah dan "thesa"
artinya kebenaran. Dalam bahasa Indonesia dituliskan hipotesa, dan berkembang
menjadi hipotesis. Hipotesis merupakan jawaban sementara atau dugaan terhadap
pertanyaan yang diajukan yang materinya merupakan kesimpulan dari kerangka
berpikir yang dikembangkan.
Pendapat lain mengatakan
bahwa hipotesis adalah jawaban sementara atas pertanyaan penelitian yang
diajukan terhadap masalah yang telah dirumuskan. Oleh karena itulah, suatu
hipotesis mesti dikembang dari suatu teori terpercaya. Jika hipotesis itu telah
teruji oleh data empirik dan ternyata benar, maka jadilah hipotesa itu menjadi
teori atau tesis. Karena berdasarkan isi dan rumusannya hipotesis dapat
dibedakan menjadi dua jenis, yaitu jenis hipotesis alternatif (Ha) dan
hipotesis nol (Ho).
Hipotesis alternatif atau
hipotesis kerja menyatakan adanya hubungan antara dua variabel atau lebih, atau
menyatakan adanya perbedaan dalam hal tertentu pada kelompok yang berbeda. Sedangkan
hipotesis nol (Ho) adalah kebalikan dari hipotesis alternatif, yaitu menyatakan
tidak adanya hubungan atau tidak adanya perbedaan antara dua variabel atau
lebih.
Namun biasanya dalam
penelitian deskriptif biasanya hipotesis bertujuan untuk membuat deskripsi
mengenai hal yang diteliti, bukan bertujuan untuk menguji hipotesis. Setelah
perumusan hipotesis langkah selanjutnya adalah pengujian hipotesis. Pengujian
hipotesis merupakan pengumpulan fakta-fakta yang relevan dengan hipotesis yang
diajukan untuk memperlihatkan apakah terdapat fakta-fakta yang mendukung
hipotesis tersebut atau tidak. Setiap hipotesis dapat diuji kebenarannya tentu
saja dengan menggunakan bukti-bukti empiris serta teknik analisis yang secermat
mungkin, karena dengan demikian halnya, maka suatu hipotesis akan menentukan
arah dan fokus upaya pengumpulan dan penganalisaan data.
Jadi hipotesis adalah usaha
untuk mengumpulkan bukti-bukti yang relevan dan berhubungan serta mendukung
terhadap hipotesis yang telah diajukan sehingga bisa teruji kebenaran hipotesis
tersebut atau tidak dan hal ini sangat penting untuk dilakukan karena tanpa ada
proses pengujian hipotesis dalam sebuah penelitian akan sulit penelitian
tersebut dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.
Langkah terakhir dalam
kerangka berpikir ilmiah adalah penarikan kesimpulan. Kesimpulan merupakan
salah satu faktor yang penting dalam sebuah proses penelitian, kenapa demikian,
karena dengan kesimpulan yang ada dalam suatu penelitian akan menjawab
permasalahan yang ada dalam penelitian. Kesimpulan itu berupa natijah hasil
dari penafsiran dan pembahasan data yang diperoleh dalam penelitian, sebagai
jawaban atas pertanyaan yang diajukan dalam perumusan masalah.
2.4
Contoh penerapan pendekatan Ilmiah dalam pembelajaran Sejarah
Untuk dapat disebut ilmiah, metode pencarian
(method of inquiry) harus berbasis pada bukti-bukti dari objek yang
dapat diobservasi, empiris, dan terukur dengan prinsip-prinsip penalaran yang
spesifik. Karena itu, metode ilmiah umumnya memuat rangkaian kegiatan koleksi
data atau fakta melalui observasi dan eksperimen, kemudian memformulasi dan
menguji hipotesis. Sebenarnya apa yang kita bicarakan dengan metode ilmiah
merujuk pada: (1) adanya fakta, (2) sifat bebas prasangka, (3) sifat objektif,
dan (4) adanya analisa. Dengan metode ilmiah seperti ini diharapkan kita akan
mempunya sifat. Selanjutnya secara sederhana pendekatan ilmiah merupakan suatu
cara atau mekanisme untuk mendapatkan pengetahuan dengan prosedur yang
didasarkan pada suatu metode ilmiah. Ada juga yang mengartikan pendekatan
ilmiah sebagai mekanisme untuk memperoleh pengetahuan yang didasarkan pada
struktur logis. Pendekatan ilmiah ini memerlukan langkah-langkah pokok:
1)
Mengamati
2)
Menanya
3)
Menalar
4)
Mencoba
5)
Membentuk jejaring
Langkah-langkah di atas boleh dikatakan
sebagai pembelajaran terhadap pengetahuan ilmiah yang diatur oleh
pertimbangan-pertimbangan logis dalam sejarah. Karena yang dikehendaki adalah
jawaban mengenai fakta-fakta sejarah, maka pendekatan dengan langkah-langkah tersebut
dikatakan sangat erat dengan metode ilmiah. Langkah-langkah Pembelajaran Sejarah dengan Pendekatan Ilmiah
Proses pembelajaran pada Kurikulum 2013
dilaksanakan menggunakan pendekatan ilmiah. Proses pembelajaran menyentuh tiga
ranah, yaitu sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Dalam proses pembelajaran
berbasis pendekatan ilmiah, ranah sikap menggamit transformasi substansi atau
materi ajar agar peserta didik “tahu mengapa.” Ranah keterampilan menggamit transformasi
substansi atau materi ajar agar peserta didik “tahu bagaimana”. Ranah
pengetahuan menggamit transformasi substansi atau materi ajar agar peserta
didik “tahu apa.” Hasil akhirnya adalah peningkatan dan keseimbangan antara kemampuan
untuk menjadi manusia yang baik (soft skills) dan manusia yang memiliki kecakapan
dan pengetahuan untuk hidup secara layak (hard skills) dari peserta
didik yang meliputi aspek kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan. Kurikulum
2013 menekankan pada dimensi pedagogik modern dalam pembelajaran, yaitu
menggunakan pendekatan ilmiah. Pendekatan ilmiah (scientific approach)
dalam pembelajaran sebagaimana dimaksud meliputi mengamati, menanya, mencoba,
mengolah, menyajikan, menyimpulkan, dan mencipta untuk semua mata pelajaran.
Pendekatan ilmiah pembelajaran sejarah disajikan berikut ini.
1. Mengamati
Metode mengamati mengutamakan kebermaknaan
proses pembelajaran (meaningfull learning). Metode ini memiliki keunggulan
tertentu, seperti menyajikan media obyek secara nyata, peserta didik senang dan
tertantang, dan mudah pelaksanaannya. Tentu saja kegiatan mengamati dalam rangka
pembelajaran ini biasanya memerlukan waktu persiapan yang lama dan matang,
biaya dan tenaga relatif banyak, dan jika tidak terkendali akan mengaburkan makna
serta tujuan pembelajaran.
Dalam pembelajaran sejarah, pengamatan
dilakukan pada objek sejarah yang berupa situs sejarah. Oleh karena sejarah itu
adalah sesuatu yang sudah terjadi, dalam pembelajaran bisa ditampilkan dalam
bentuk media; media video, gambar dan seterusnya. Dalam tema akulturasi Hindu
Buddha, misalnya dapat ditampilkan gambar candi Borobudur, candi Prambanan.
Kegiatan mengamati dalam pembelajaran dilakukan dengan menempuh langkah-langkah
seperti berikut ini.
1. Menentukan
objek apa yang akan diobservasi
2. Membuat
pedoman observasi sesuai dengan lingkup objek yang akan diobservasi
3. Menentukan
secara jelas data-data apa yang perlu diobservasi, baik primer maupun sekunder
4. Menentukan
di mana tempat objek yang akan diobservasi
5. Menentukan
secara jelas bagaimana observasi akan dilakukan untuk mengumpulkan data agar
berjalan mudah dan lancer
6. Menentukan
cara dan melakukan pencatatan atas hasil observasi , seperti menggunakan buku
catatan, kamera, tape recorder, video perekam, dan alatalat tulis lainnya.
2. Menanya
Guru yang efektif mampu menginspirasi
peserta didik untuk meningkatkan dan mengembangkan ranah sikap, keterampilan,
dan pengetahuannya. Pada saat guru bertanya, pada saat itu pula dia membimbing
atau memandu peserta didiknya belajar dengan baik. Ketika guru menjawab
pertanyaan peserta didiknya, ketika itu pula dia mendorong asuhannya itu untuk
menjadi penyimak dan pembelajar yang baik. Artinya guru dapat menumbuhkan sikap
ingin tahu siswa, yang diekspresikan dalam bentuk pertanyaan. Misalnya: Kenapa
bentuk candi Borobudur dan Prambanan itu tidak sama? Apakah seni bangun candi
itu asli Indonesia atau ada pengaruh dari luar? Diusahakan setelah ada
pengamatan, yang bertanya bukan guru, tetapi yang bertanya peserta didik. Berikut
tip-tip fungsi bertanya:
1. Membangkitkan
rasa ingin tahu, minat, dan perhatian peserta didik tentang suatu tema atau
topik pembelajaran.
2. Mendorong
dan menginspirasi peserta didik untuk aktif belajar, serta mengembangkan
pertanyaan dari dan untuk dirinya sendiri.
3. Mendiagnosis
kesulitan belajar peserta didik sekaligus menyampaikan ancangan untuk mencari
solusinya.
4. Menstrukturkan
tugas-tugas dan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menunjukkan
sikap, keterampilan, dan pemahamannya atas substansi pembelajaran yang
diberikan.
5. Membangkitkan
keterampilan peserta didik dalam berbicara, mengajukan pertanyaan, dan memberi
jawaban secara logis, sistematis, dan menggunakan bahasa yang baik dan benar.
6. Mendorong
partisipasi peserta didik dalam berdiskusi, berargumen, mengembangkan kemampuan
berpikir, dan menarik simpulan.
7. Membangun
sikap keterbukaan untuk saling memberi dan menerima pendapat atau gagasan,
memperkaya kosa kata, serta mengembangkan toleransi sosial dalam hidup
berkelompok.
8. Membiasakan
peserta didik berpikir spontan dan cepat, serta sigap dalam merespon persoalan
yang tiba-tiba muncul.
9. Melatih
kesantunan dalam berbicara dan membangkitkan kemampuan berempati satu sama
lain.
10. Bobot
pertanyaan yang menggambarkan tingkatan kognitif yang lebih rendah hingga yang
lebih tinggi.
3. Menalar
Istilah “menalar” dalam kerangka proses
pembelajaran dengan pendekatan ilmiah yang dianut dalam Kurikulum 2013 untuk
menggambarkan bahwa guru dan peserta didik merupakan pelaku aktif. Titik
tekannya tentu dalam banyak hal dan situasi peserta didik harus lebih aktif
daripada guru. Penalaran adalah proses berfikir yang logis dan sistematis atas
fakta-kata empiris yang dapat diobservasi untuk memperoleh simpulan berupa pengetahuan.
Penalaran dimaksud merupakan penalaran ilmiah, meski penakaran nonilmiah tidak
selalu tidak bermanfaat.
Terdapat dua cara menalar, yaitu
penalaran induktif dan penalaran deduktif. Penalaran induktif merupakan cara
menalar dengan menarik simpulan dari fenomena atau atribut-atribut khusus untuk
hal-hal yang bersifat umum. Jadi, menalar secara induktif adalah proses penarikan
simpulan dari kasuskasus yang bersifat nyata secara individual atau spesifik
menjadi simpulan yang bersifat umum. Kegiatan menalar secara induktif lebih
banyak berpijak pada observasi inderawi atau pengalaman empirik. Dalam pembelajaran
sejarah, peristiwa sejarah bersifat unik. Oleh karena itu karena keunikannya
itulah, maka tidak bisa ditarik kesimpulan/digeneralisasi. Yang dapat digeneral
adalah gejalanya saja. Ada lagi cara menalar kontekstual, yang menganggap bahwa
bahwa peristiwa sejarah harus diambil benang merahnya dengan peristiwa
kekinian/kontemporer.
Contoh:
_
Deduktif: bangsa Indonesia tidak mau dijajah bangsa asing, buktinya ada perlawanan/perang
Diponegoro, Hasannudin, Pattimura
_
Induktif: diberbagai daerah ada perlawanan/perang Diponegoro, Hasannudin,
Pattimura, pertanda bahwa bangsa Indonesia tidak mau dijajah.
_
Unik: perlawanan/perang Diponegoro, Hasannudin, Pattimura itu tidak sama
satu sama lain, karena pada peristiwa itu memiliki latar belakang dan setting
yang berbeda. Jadi ketiga perlawanan/perang itu tidak sama satu dengan yang
lain.
_
Kontekstual: peristiwa Tanjung Priok yang menggambarkan akan dibongkarnya
makam ulama, menemui protes besar dari masyarakat, mestinya tidak perlu
terjadi. Karena meletusnya perlawanan/perang Diponegoro karena Belanda mau
membuat jalan, dimana jalan yang akan dibuat itu melewati makam leluhur
Diponegoro.
b.
Analogi dalam Pembelajaran
Selama proses pembelajaran, guru dan peserta
didik sering kali menemukan fenomena yang bersifat analog atau memiliki persamaan.
Dengan demikian, guru dan peserta didik adakalanya menalar secara analogis.
Analogi adalah suatu proses penalaran dalam pembelajaran dengan cara membandingkan
sifat esensial yang mempunyai kesamaan atau persamaan. Berpikir analogis sangat
penting dalam pembelajaran, karena hal itu akan mempertajam daya nalar peserta
didik. Seperti halnya penalaran, analogi terdiri dari dua jenis, yaitu analogi
induktif dan analogi deduktif. Kedua analogi itu dijelaskan berikut ini.
Analogi induktif disusun berdasarkan
persamaan yang ada pada dua fenomena atau gejala. Atas dasar persamaan dua
gejala atau fenomena itu ditarik simpulan bahwa apa yang ada pada fenomena atau
gejala pertama terjadi juga pada fenomena atau gejala kedua. Analogi induktif
merupakan suatu “metode menalar” yang sangat bermanfaat untuk membuat suatu
simpulan yang dapat diterima berdasarkan pada persamaan yang terbukti terdapat
pada dua fenomena atau gejala khusus yang diperbandingkan.
Contoh:
Hakekat
Pergerakan Nasional bagi peserta didik adalah jiwa nasionalisme dan ketekunan
dalam belajar. Peserta didik adalah generasi muda yang harus memiliki jiwa
nasionalisme dan harus giat belajar.
Analogi deklaratif merupakan suatu
“metode menalar” untuk menjelaskan atau menegaskan sesuatu fenomena atau gejala
yang belum dikenal atau masih samar, dengan sesuatu yang sudah dikenal. Analogi
deklaratif ini sangat bermanfaat karena ide-ide baru, fenomena, atau gejala
menjadi dikenal atau dapat diterima apabila dihubungkan dengan hal-hal yang
sudah diketahui secara nyata dan dipercayai.
Contoh:
Proklamasi
kemerdekaan bangsa Indonesia dapat dilaksanakan karena adanya sinergitas,
saling menghargai, sikap pantang menyerah antara golongan muda dan golongan
tua. Begitu pula tercapainya suatu prestasi disekolah tidak terlepas dari sinergitas,
saling menghargai, sikap pantang menyerah dari dewan guru, peserta didik, dan
seluruh stake holder sekolah.
c.
Hubungan Antar fenomena
Seperti halnya penalaran dan analogi,
kemampuan menghubungkan antar fenomena atau gejala sangat penting dalam proses
pembelajaran, karena hal itu akan mempertajam daya nalar peserta didik. Di
sinilah esensi bahwa guru dan peserta didik dituntut mampu memaknai hubungan
antar fenomena atau gejala, khususnya hubungan sebab-akibat.
Hubungan sebab-akibat diambil dengan menghubungkan
satu atau beberapa fakta yang satu dengan datu atau beberapa fakta yang lain.
Suatu simpulan yang menjadi sebab dari satu atau beberapa fakta itu atau dapat
juga menjadi akibat dari satu atau beberapa fakta tersebut. Penalaran
sebab-akibat ini masuk dalam ranah penalaran induktif, yang disebut dengan
penalaran induktif sebab-akibat. Penalaran induksi sebab akibat terdiri dari tiga
jenis.
1.
Hubungan sebab–akibat. Pada penalaran
hubungan sebab-akibat, hal-hal yang menjadi sebab dikemukakan terlebih dahulu,
kemudian ditarik simpulan yang berupa akibat.
Contoh:
Sehubungan
adanya pembuatan jalan oleh Belanda yang melewati makam leluhur Diponegoro,
maka pecahlah perang Diponegoro melawan Belanda 1825 – 1830.
2.
Hubungan akibat–sebab. Pada penalaran
hubungan akibat-sebab, hal-hal yang menjadi akibat dikemukakan terlebih dahulu,
selanjutnya ditarik simpulan yang merupakan penyebabnya.
Contoh
:
Perang
Diponegoro 1825 – 1830 melawan Belanda, sampai-sampai Belanda mengalami
kerugian besar, dan nyaris dikalahkan, disebabkan Belanda membuat jalan yang
melewati makam leluhur Diponegoro.
3.
Hubungan sebab–akibat 1 – akibat 2. Pada
penalaran hubungan sebab-akibat 1–akibat 2, suatu penyebab dapat menimbulkan serangkaian
akibat. Akibat yang pertama menjadi penyebab, sehingga menimbulkan akibat
kedua. Akibat kedua menjadi penyebab sehingga menimbulkan akibat ketiga, dan seterusnya.
Contoh:
Perjuang
bangsa Indonesia melalui Pergerakan Nasional, mengakibatkan diproklasikan
kemerdekaan. Akibat proklamasi kemerdekaan datanglah Sekutu yaitu Inggris dan
Belanda datang ke Indonesia . Kedatangan Sekutu yang berkeinginan menjaga
status quo, tentu tidak diharapkan oleh pemuda Indonesia, terjadilah perang.
4.
Mencoba
Untuk memperoleh hasil belajar yang
nyata atau otentik, peserta didik harus mencoba atau melakukan percobaan,
terutama untuk materi atau substansi yang sesuai. Pada mata pelajaran sejarah,
misalnya, peserta didik harus memahami kaitan fakta-fakta sejarah yang dikaitkan
dengan kehidupan sehari-hari. Peserta didik pun harus memiliki keterampilan
proses untuk mengembangkan pengetahuan fakta sejarah, serta mampu menggunakan
metode ilmiah dan bersikap ilmiah untuk memecahkan masalah-masalah yang
dihadapinya sehari-hari.
Kegiatan ini merujuk pada semboyan kuno:
historia vitae magistra , belajar sejarah agar bijaksana. Hal ini
dimaksudkan bahwa belajar sejarah, seseorang yang mempelajari sejarah, termasuk
peserta didik, diharapkan dapat mengambil pelajaran, dapat mengambil hikmah
untuk dipakai dalam kehidupan sehari-hari dari peristiwa sejarah. Semua
peristiwa sejarah tentu memiliki nilai yang dapat member inspirasi untuk
mengembangkan sikap, ketrampilan, dan pengetahuan peserta didik. Sebut saja
dari peristiwa perkelaian antar pelajar yang akhir-akhir ini sering terjadi.
Perkelaian itu sebenarnya sudah tidak baik, karena tidak hanya melanggar
aturan, tetapi bahkan melanggar norma kehidupan.
Melanggar aturan, melanggar norma
kehidupan adalah sesuatu yang harus dihindari, harus dicegah, jangan sampai
peserta didik sekarang terkena virus negative tersebut. Jadilah peserta didik
yang taat aturan, memiliki martabat yang menjunjung tinggi kemanusiaan, dapat
merefleksikan kehidupan yang positif dalam kehihudupan sehari-hari dan memiliki
daya piker yang cerdas.
Jejaring Pembelajaran atau Pembelajaran
Kolaboratif
Apa yang dimaksud dengan pembelajaran
kolaboratif? Pembelajaran kolaboratif merupakan suatu filsafat personal, lebih
dari sekadar sekadar teknik pembelajaran di kelas-kelas sekolah. Kolaborasi
esensinya merupakan filsafat interaksi dan gaya hidup manusia yang menempatkan
dan memaknai kerjasama sebagai struktur interaksi yang dirancang secara baik
dan disengaja rupa untuk memudahkan usaha kolektif dalam rangka mencapai tujuan
bersama.
Pada pembelajaran kolaboratif kewenangan
guru lebih bersifat direktif atau manajer belajar, sebaliknya, peserta didiklah
yang harus lebih aktif. Jika pembelajaran kolaboratif diposisikan sebagai satu
falsafah peribadi, maka ia menyentuh tentang identitas peserta didik terutama
jika mereka berhubungan atau berinteraksi dengan yang lain atau guru. Dalam
situasi kolaboratif itu, peserta didik berinteraksi dengan empati, saling menghormati,
dan menerima kekurangan atau kelebihan masing-masing. Dengan cara semacam ini
akan tumbuh rasa aman, sehingga memungkin peserta didik menghadapi aneka
perubahan dan tntutan belajar secara bersama-sama.
Ada empat sifat kelas atau pembelajaran
kolaboratif. Dua sifat berkenaan dengan perubahan hubungan
antara guru dan peserta didik. Sifat ketiga berkaitan dengan pendekatan baru
dari penyampaian guru selama proses pembelajaran. Sifat keempat menyatakan isi
kelas atau pembelajaran kolaboratif.
a.
Guru dan peserta didik saling
berbagi informasi. Dengan pembelajaran kolaboratif, peserta didik memiliki
ruang gerak untuk menilai dan membina ilmu pengetahuan, pengalaman
personal, bahasa komunikasi, strategi dan konsep pembelajaran sesuai
dengan teori, serta menautkan kondisi sosiobudaya dengan situasi
pembelajaran. Di sini, peran guru lebih banyak sebagai pembimbing dan
manajer belajar ketimbang memberi instruksi dan mengawasi secara rijid.
Contoh:
Jika guru mengajarkan topik “hidup bersama secara damai.” Peserta didik yang mempunyai
pengalaman yang berkaitan dengan topik tersebut berpeluang menyatakan sesuatu
pada sesi pembelajaran, berbagi idea, dan memberi garisgaris besar arus
komunikasi antar peserta didik. Jika peserta didik memahami dan melihat
fenomena nyata kehidupan bersama yang damai itu, pengalaman dan pengetahuannya
dihargai dan dapat dibagikan dalam jaringan pembelajaran mereka. Mereka pun akan
termotivasi untuk melihat dan mendengar. Di sini peserta didik juga dapat merumuskan
kaitan antara proses pembelajaran yang sedang dilakukan dengan dunia
sebenarnya.
b. Berbagi tugas dan kewenangan. Pada
pembelajaran atau kelas kolaboratif, guru berbagi tugas dan kewenangan
dengan peserta didik, khususnya untuk hal-hal tertentu. Cara ini memungkinan
peserta didik menimba pengalaman mereka sendiri, berbagi strategi dan informasi,
menghormati antarsesa, mendoorong tumbuhnya ide-ide cerdas, terlibat dalam pemikiran
kreatif dan kritis serta memupuk dan menggalakkan mereka mengambil peran secara
terbuka dan bermakna.
c. Guru sebagai mediator.Pada
pembelajaran atau kelas kolaboratif, guru berperan sebagai mediator atau
perantara. Guru berperan membantu menghubungkan informasi baru
dengan pengalaman yang ada serta membantu peserta didik jika mereka
mengalami kebutuan dan bersedia menunjukkan cara bagaimana mereka
memiliki kesungguhan untuk belajar.
d. Kelompok peserta didik yang
heterogen. Sikap, keterampilan, dan pengetahuan peserta didk yang tumbuh dan
berkembang sangat penting untuk memperkaya pembelajaran di kelas.
Pada kelas kolaboratif peserta didikdapat menunjukkan kemampuan dan
keterampilan mereka, berbagi informasi,serta mendengar atau membahas
sumbangan informasi dari peserta didik lainnya. Dengan cara seperti ini
akan muncul “keseragaman” di dalam heterogenitas peserta didik.
Contoh Pembelajaran Kolaboratif
Guru ingin mengajarkan tentang konsep, penggolongan
sifat, fakta, atau mengulangi informasi tentang objek. Untuk keperluan
pembelajaran ini dia menggunakan media sortir kartu (card sort).
Prosedurnya dapat dilakukan seperti berikut ini.
·
Kepada peserta didik diberikan kartu indeks
yang memuat informasi atau contoh yang cocok dengan satu atau lebih katagori.
·
Peserta didik diminta untuk mencari
temannya dan menemukan orang yang memiliki kartu dengan katagori yang sama.
·
Berikan kepada peserta didik yang kartu
katagorinya sama menyajikan sendiri kepada rekanhya.
·
Selama masing-masing katagori
dipresentasikan oleh peserta didik, buatlah catatan dengan kata kunci (point)
dari pembelajaran tersebut yang dirasakan penting.
b. Macam-macam Pembelajaran
Kolaboratif
Banyak merode yang dipakai dalam pembelajaran
atau kelas kolaboratif. Beberapa di antaranya dijelaskan berikut ini.
_
JP = Jigsaw Proscedure. Pembelajaran dilakukan dengan cara
peserta didik sebagai anggota suatu kelompok diberi tugas yang berbeda-beda mengenai
suatu pokok bahasan. Agar masing-masing peserta didik anggota dapat memahami
keseluruhan pokok bahasan, tes diberikan dengan materi yang menyeluruh. Penilaian
didasari pada rata-rata skor tes kelompok.
_
STAD = Student Team Achievement Divisions.Peserta didik dalam suatu kelas
dibagi menjadi beberapa kelompok kecil. Anggota-anggota dalam setiap kelompok
bertindak saling membelajarkan. Fokusnya adalah keberhasilan seorang akan
berpengaruh terhadap keberhasilan kelompok dan demikian pula keberhasilan kelompok
akan berpengaruh terhadap keberhasilan individu peserta didik lainnya.
Penilaian didasari pada pencapaian hasil belajar individual maupun kelompok
peserta didik.
_
CI = Complex Instruction.Titik tekan metode ini adalam
pelaksanaan suatu proyek yang berorientasi pada penemuan, khususnya dalam
bidang sains, matematika, dan ilmu pengetahuan sosial. Fokusnya adalah menumbuhkembangkan
ketertarikan semua peserta didiksebagai anggota kelompok terhadap pokok bahasan.
Metode ini umumnya digunakan dalam pembelajaran yang bersifat bilingual (menggunakan
dua bahasa) dan di antara para peserta didik yang sangat heterogen. Penilaian
didasari pada proses dan hasil kerja kelompok.
_
TAI = Team Accelerated Instruction. Metodeini merupakan kombinasi antara
pembelajaran kooperatif/kolaboratif dengan pembelajaran individual. Secara
bertahap, setiap peserta didik sebagai anggota kelompok diberi soal-soal yang
harus mereka kerjakan sendiri terlebih dulu. Setelah itu dilaksanakan penilaian
bersama-sama dalam kelompok. Jika soal tahap pertama telah diselesaikan dengan
benar, setiap peserta didik mengerjakan soal-soal berikutnya. Namun jika
seorang peserta didik belum dapat menyelesaikan soal tahap pertama dengan
benar, ia harus menyelesaikan soal lain pada tahap yang sama. Setiap tahapan
soal disusun berdasarkan tingkat kesukaran soal. Penilaian didasari pada hasil belajar
individual maupun kelompok.
_
CLS = Cooperative Learning Stuctures. Pada penerapan metode pembelajaran
ini setiap kelompok dibentuk dengan anggota dua peserta didik (berpasangan).
Seorang peserta didik bertindak sebagai tutor dan yang lain menjadi tutee.
Tutor mengajukan pertanyaan yang harus dijawab oleh tutee. Bila
jawaban tutee benar, ia memperoleh poin atau skor yang telah ditetapkan
terlebih dulu. Dalam selang waktu yang juga telah ditetapkan sebelumnya, kedua
peserta didik yang saling berpasangan itu berganti peran.
_
LT = Learning Together. Pada metode ini kelompok-kelompok sekelas beranggotakan
peserta didik yang beragam kemampuannya. Tiap kelompok bekerjasama untuk
menyelesaikan tugas yang diberikan oleh guru. Satu kelompok hanya menerima dan
mengerjakan satu set lembar tugas. Penilaian didasarkan pada hasil kerja
kelompok.
_
TGT = Teams-Games-Tournament. Pada metode ini, setelah belajar bersama
kelompoknya sendiri, para anggota suatu kelompok akan berlomba dengan anggota
kelompok lain sesuai dengan tingkat kemampuan masing-masing. Penilaian didasari
pada jumlah nilai yang diperoleh kelompok peserta didik.
_
GI = Group Investigation. Pada metode ini semua anggota kelompok dituntut
untuk merencanakan suatu penelitian beserta perencanaan pemecahan masalah yang
dihadapi. Kelompok menentukan apa saja yang akan dikerjakan dan siapa saja yang
akan melaksanakannya berikut bagaimana perencanaan penyajiannya di depan forum
kelas. Penilaian didasari pada proses dan hasil kerja kelompok.
_
AC = Academic-Constructive Controversy. Pada metode ini setiap anggota
kelompok dituntut kemampuannya untuk berada dalam situasi konflik intelektual
yang dikembangkan berdasarkan hasil belajar masingmasing, baik bersama anggota
sekelompok maupun dengan anggota kelompok lain. Kegiatan pembelajaran ini
mengutamakan pencapaian dan pengembangan kualitas pemecahan masalah, pemikiran
kritis, pertimbangan, hubungan antarpribadi, kesehatan psikis dan keselarasan. Penilaian
didasarkan pada kemampuan setiap anggota maupun kelompok mempertahankan posisi
yang dipilihnya.
_
CIRC = Cooperative Integrated Reading and Composition. Pada metode pembelajaran
ini mirip dengan TAI. Metode pembelajaran ini menekankan pembelajaran membaca,
menulis dan tata bahasa. Dalam pembelajaran ini, para peserta didik saling
menilai kemampuan membaca, menulis dan tata bahasa, baik secara tertulis maupun
lisan di dalam kelompoknya.
c. Pemanfaatan Internet
Pemanfaatan
internet sangat dianjurkan dalam pembelajaran atau kelas kolaboratif. Karena
memang, internet merupakan salah satu jejaring pembelajaran dengan akses
dan ketersediaan informasi yang luas dan mudah. Saat ini internet telah
menyediakan diri sebagai referensi yang murah dan mudah bagi peserta
didik atau siapa saja yang hendak mengubah wajah dunia. Penggunaan
internet disarakan makin mendesak sejalan denan perkembangan pengetahuan
terjadi secara eksponensial. Masa depan adalah milik peserta didik yang memiliki
akses hampir ke seluruh informasi tanpa batas dan mereka yang mampu
memanfaatkan informasi diterima secepat mungkin.
BAB
III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Proses pembelajaran dapat dipadankan dengan suatu proses ilmiah. Karena itu Kurikulum 2013 mengamanatkan esensi
pendekatan ilmiah dalam pembelajaran. Pendekatan ilmiah diyakini sebagai titian
emas perkembangan dan pengembangan sikap, keterampilan, dan pengetahuan peserta
didik. Dalam pendekatan atau proses kerja yang memenuhi kriteria ilmiah, para
ilmuan lebih mengedepankan pelararan induktif (inductive reasoning)
ketimbang penalaran deduktif (deductivereasoning). Penalaran deduktif melihat fenomena umum untuk kemudian
menarik simpulan yang spesifik. Sebaliknya, penalaran induktif memandang fenomena
atau situasi spesifik untuk kemudian menarik simpulan secara keseluruhan.
Sejatinya, penalaran induktif menempatkan bukti-bukti spesifik ke dalam relasi
idea yang lebih luas. Metode ilmiah umumnya menempatkan fenomena unik dengan
kajian spesifik dan detail untuk kemudian merumuskan simpulan umum.
Untuk dapat disebut ilmiah, metode
pencarian (method of inquiry) harus berbasis pada bukti-bukti dari objek
yang dapat diobservasi, empiris, dan terukur dengan prinsip-prinsip penalaran
yang spesifik. Karena itu, metode ilmiah umumnya memuat rangkaian kegiatan
koleksi data atau fakta melalui observasi dan eksperimen, kemudian memformulasi
dan menguji hipotesis. Sebenarnya apa yang kita bicarakan dengan metode ilmiah
merujuk pada: (1) adanya fakta, (2) sifat bebas prasangka, (3) sifat objektif,
dan (4) adanya analisa. Ada juga yang mengartikan pendekatan ilmiah sebagai
mekanisme untuk memperoleh pengetahuan yang didasarkan pada struktur logis.
Pendekatan ilmiah ini memerlukan langkah-langkah pokok:
1)
Mengamati
2)
Menanya
3)
Menalar
4)
Mencoba
5)
Membentuk jejaring
DAFTAR
PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar